Pergantian tahun, khususnya malam pergantian tahun Masehi, menjadi momen perayaan besar bagi sebagian besar masyarakat dunia. Namun, bagi umat Islam, perayaan ini memicu pertanyaan mendasar: bagaimana hukum merayakan tahun baru Masehi dalam Islam? Perbedaan sistem penanggalan – kalender Hijriah yang berbasis bulan dalam Islam dan kalender Masehi yang berbasis matahari – menjadi latar belakang perdebatan ini. Artikel ini akan mengkaji secara mendalam hukum perayaan Tahun Baru Masehi berdasarkan referensi keagamaan dan pandangan ulama kontemporer.
Tasyabbuh: Meniru Kebiasaan Non-Muslim sebagai Landasan Hukum
Meskipun tidak terdapat dalil eksplisit dalam Al-Quran maupun Hadits yang secara spesifik melarang perayaan Tahun Baru Masehi, para ulama merujuk pada konsep tasyabbuh sebagai landasan hukumnya. Tasyabbuh, yang berarti meniru kebiasaan atau perilaku non-Muslim, dianggap sebagai tindakan yang perlu dihindari dalam Islam. Hal ini didasarkan pada beberapa ayat Al-Quran dan Hadits.
Ayat Al-Baqarah ayat 120, yang sering dikutip dalam konteks ini, berbunyi: "Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah rela kepadamu (Nabi Muhammad) sehingga engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah, "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)." Sungguh, jika engkau mengikuti hawa nafsu mereka setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu, tidak ada bagimu pelindung dan penolong dari (azab) Allah." Ayat ini menekankan pentingnya berpegang teguh pada ajaran Islam dan menghindari meniru agama lain.
Hadits Nabi Muhammad SAW yang berbunyi, "Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka," (HR Abu Daud) juga memperkuat larangan tasyabbuh. Hadits ini secara tegas memperingatkan bahaya meniru kebiasaan suatu kelompok, khususnya jika kebiasaan tersebut bertentangan dengan ajaran Islam.
Berbagai kitab rujukan fikih Islam, seperti Ihyaa ‘Ulumuddin, Faydhul Qodir, Hasyiyah al Jamal ala al Minhaaj, Al Mi’yar al Ma’riby, dan Ar Raudhah, juga membahas isu ini. Kitab-kitab tersebut secara umum sepakat bahwa perayaan Tahun Baru Masehi termasuk dalam kategori tasyabbuh, karena perayaan tersebut berakar pada tradisi Romawi yang dikaitkan dengan Kaisar Julius Caesar dan kalender matahari yang ia ciptakan. Perayaan 1 Januari sebagai awal tahun Masehi merupakan tradisi yang tidak memiliki akar dalam ajaran Islam.
Bid’ah: Inovasi yang Tidak Berlandaskan Sunnah
Selain tasyabbuh, konsep bid’ah juga relevan dalam membahas hukum perayaan Tahun Baru Masehi. Bid’ah merujuk pada inovasi atau praktik baru dalam agama yang tidak berlandaskan pada Al-Quran, Sunnah, dan ijma’ (kesepakatan ulama). Perayaan Tahun Baru Masehi, yang tidak memiliki contoh dalam sejarah Islam awal (salafus shalih), dapat dianggap sebagai bid’ah oleh sebagian ulama. Ibnu Taimiyah RA, salah satu ulama besar Islam, bahkan secara tegas menyatakan bahwa perayaan tersebut tidak pernah ada dalam ajaran Islam dan termasuk dalam kategori bid’ah.
Pendapat ini diperkuat oleh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan dalam kitabnya, At-Tauhid Lish-Shaffil Awwal Al-Aliy Syaikhul Islam. Beliau menjelaskan bahwa kegiatan yang khusus dirayakan pada hari raya non-Muslim, termasuk makanan, pakaian, dan kebiasaan tertentu, tidak halal bagi kaum muslimin untuk ditiru.
Pandangan Ulama Kontemporer: Fleksibilitas dan Penekanan pada Muhasabah
Meskipun terdapat pandangan yang tegas melarang perayaan Tahun Baru Masehi, terdapat pula pandangan yang lebih fleksibel dari ulama kontemporer. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH M Cholil Nafis, misalnya, menyatakan bahwa tidak ada dalil khusus dalam Islam yang secara eksplisit melarang perayaan Tahun Baru Masehi. Pelarangan tersebut lebih didasarkan pada prinsip tasyabbuh dan bid’ah yang telah dijelaskan sebelumnya.
Kiai Cholil menekankan pentingnya konteks dan niat dalam merayakan Tahun Baru Masehi. Beliau tidak melarang perayaan tersebut selama tidak dilakukan secara berlebihan, boros, atau mengganggu ketenangan orang banyak. Perayaan yang dilakukan secara sederhana dan tidak menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat, menurut beliau, diperbolehkan. Lebih lanjut, beliau menyarankan agar umat Islam mengisi pergantian tahun dengan kegiatan yang lebih bermanfaat, seperti muhasabah (evaluasi diri), introspeksi, dan berdoa kepada Allah SWT. Hal ini sejalan dengan ajaran Islam yang menekankan pentingnya peningkatan spiritual dan perbaikan diri.
Kesimpulan: Menyeimbangkan Tradisi dan Syariat
Perdebatan seputar hukum perayaan Tahun Baru Masehi dalam Islam menunjukkan kompleksitas dalam mengaplikasikan ajaran agama dalam konteks modern. Meskipun terdapat dasar hukum yang kuat untuk menghindari tasyabbuh dan bid’ah, pandangan ulama kontemporer menawarkan fleksibilitas dengan menekankan pentingnya niat, konteks, dan menghindari tindakan yang berlebihan. Umat Islam perlu bijak dalam menyikapi perayaan ini, dengan tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip dasar Islam dan menghindari tindakan yang dapat mengarah pada peniruan budaya non-Islam secara berlebihan. Lebih bijak lagi jika momen pergantian tahun dimanfaatkan untuk introspeksi diri, merencanakan kebaikan di tahun yang akan datang, dan memperkuat hubungan dengan Sang Pencipta. Perayaan yang bermakna dan bermanfaat bagi diri sendiri dan lingkungan sekitar jauh lebih bernilai daripada sekadar mengikuti tradisi tanpa pemahaman yang mendalam. Perlu diingat bahwa inti ajaran Islam adalah mencari keridaan Allah SWT, dan setiap tindakan harus diukur berdasarkan kesesuaiannya dengan syariat Islam.