Kesetiaan dan kasih sayang dalam ikatan pernikahan diuji, tak hanya dalam suka cita, namun juga dalam cobaan, salah satunya ketika salah satu pasangan jatuh sakit. Dalam Islam, peran dan tanggung jawab suami dan istri dalam merawat pasangan yang sakit memiliki landasan yang kuat dalam ajaran agama, mengarah pada pemahaman tentang pahala dan kewajiban yang tak terpisahkan. Perilaku seorang istri dalam merawat suami yang sakit, dan sebaliknya, menjadi cerminan keimanan dan ketakwaan mereka.
Kewajiban Istri dalam Merawat Suami Sakit: Sebuah Ujian Ketaatan
Seberapa besar pengorbanan seorang istri dalam merawat suami yang sakit menjadi ukuran keikhlasan dan kesetiaannya. Kepedulian yang tulus, yang diwujudkan dalam bentuk pelayanan dan dukungan penuh, merupakan manifestasi dari penghormatan dan kasih sayang yang mendalam. Sebaliknya, ketidakpedulian atau bahkan penelantaran suami yang sakit merupakan bentuk kedurhakaan yang berpotensi mendatangkan laknat Allah SWT. Hal ini bukan sekadar ungkapan normatif, melainkan sebuah peringatan serius yang tersirat dalam ajaran Islam.
Masykur Arif Rahman, dalam karyanya "Istri yang Paling Dibenci Allah Sejak Malam Pertama," mengutip hadits Anas bin Malik yang menggambarkan betapa besarnya hak suami atas istrinya. Hadits tersebut menceritakan percakapan para sahabat Rasulullah SAW yang mempertanyakan kewajaran sujud kepada sesama manusia. Rasulullah SAW menjelaskan bahwa sujud hanya pantas untuk Allah SWT. Namun, beliau menambahkan, "Sekiranya seseorang boleh sujud kepada orang lain, tentu akan Aku suruh seorang istri sujud kepada suaminya karena besarnya hak suami atas istrinya."
Hadits tersebut kemudian melanjutkan dengan gambaran yang sangat kuat: "Sekiranya suami menderita luka dari ujung kaki sampai ujung kepalanya, berbau busuk dan nanah meleleh pada tubuhnya, kemudian istrinya datang kepadanya sampai menjilatinya sampai kering maka bukti seperti itu belum dapat dikatakan menunaikan hak suaminya (sepenuhnya)." (HR. Ahmad dan Nasa’i).
Hadits ini bukan sekadar hiperbola, melainkan sebuah metafora yang menggambarkan betapa besarnya tuntutan pengorbanan dan pelayanan seorang istri kepada suaminya, terutama saat ia sakit. Meskipun telah memberikan pelayanan terbaik, hadits ini menyiratkan bahwa kewajiban seorang istri kepada suami yang sakit masih belum sepenuhnya terpenuhi. Bayangkan betapa besarnya dosa dan siksa yang akan diterima oleh seorang istri yang justru mengabaikan atau bahkan menelantarkan suaminya yang sedang menderita sakit. Perilaku semacam ini jelas bertentangan dengan nilai-nilai luhur dalam Islam yang menekankan kasih sayang, kepedulian, dan kesetiaan dalam ikatan pernikahan.
Bukan Sekadar Kewajiban, Melainkan Manifestasi Cinta dan Iman
Merawat suami yang sakit bukanlah sekadar pemenuhan kewajiban, melainkan sebuah kesempatan untuk menunjukkan kasih sayang, kesabaran, dan keikhlasan yang tulus. Perilaku ini mencerminkan keimanan seorang istri yang memahami hak dan kewajiban dalam rumah tangga berdasarkan ajaran Islam. Dalam merawat suami yang sakit, seorang istri bukan hanya melakukan pekerjaan fisik, namun juga memberikan dukungan emosional dan spiritual yang sangat penting bagi kesembuhan suami.
Perlu dipahami bahwa "merawat" dalam konteks ini jauh lebih luas daripada sekadar memberikan obat dan makanan. Merawat meliputi memberikan perhatian, kesabaran, mendengarkan keluhan, memberikan dukungan moral, dan menciptakan suasana yang nyaman dan tenang bagi suami agar ia dapat fokus pada proses penyembuhan. Ini menunjukkan betapa dalamnya makna kesetiaan dan kasih sayang dalam Islam.
Jika Istri yang Sakit: Kewajiban Suami yang Tak Boleh Diabaikan
Namun, peran dan tanggung jawab dalam merawat pasangan sakit tidak hanya berlaku satu arah. Jika istri yang jatuh sakit, maka suami memiliki kewajiban yang sama, bahkan lebih, untuk merawatnya dengan penuh kasih sayang dan perhatian. Buku "Pedoman Ilahiah dalam Berumah Tangga" karya Muhammad Albahi dkk, menekankan pentingnya peran suami dalam merawat istri yang sakit. Suami tidak boleh memaksanya untuk mengurus rumah tangga, melainkan memberikan dukungan penuh dan membebaskannya dari segala beban pekerjaan rumah tangga.
Contoh teladan datang dari kisah Utsman bin Affan yang merawat putrinya, yang juga merupakan putri Rasulullah SAW, saat beliau sakit. Rasulullah SAW bahkan melarang Utsman ikut serta dalam Perang Badar karena harus merawat putrinya yang sakit. Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari menyebutkan bahwa Nabi SAW bersabda, "Kamu tetap mendapatkan pahala seperti orang yang ikut terlibat dalam perang Badar dan panahnya." Ini menunjukkan betapa besarnya pahala yang akan diterima oleh suami yang merawat istri yang sakit, bahkan dibandingkan dengan pahala jihad di medan perang.
Kasih Sayang dan Kesetiaan: Landasan Rumah Tangga yang Kokoh
Kisah Utsman bin Affan ini menjadi bukti nyata bahwa merawat pasangan yang sakit, baik suami maupun istri, merupakan amalan yang sangat mulia dan mendapatkan pahala yang besar di sisi Allah SWT. Hal ini juga berlaku ketika istri sedang hamil atau melahirkan. Suami sebaiknya membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga, sebagai bentuk kasih sayang dan penghormatan terhadap istri.
Kesimpulannya, merawat pasangan yang sakit bukan sekedar tugas atau kewajiban belaka, melainkan sebuah manifestasi dari kasih sayang, kesetiaan, dan keimanan yang kuat. Baik suami maupun istri harus saling mendukung dan menyayangi dalam keadaan sakit maupun sehat. Perilaku ini akan membuat ikatan pernikahan semakin kuat dan harmonis, serta mendatangkan pahala yang besar di sisi Allah SWT. Semoga kita semua diberikan kekuatan dan kesabaran dalam menghadapi cobaan ini dan selalu menjalankan peran kita sebagai suami dan istri dengan sebaik-baiknya. Perilaku yang dijiwai oleh iman dan takwa akan membawa kedamaian dan keberkahan dalam rumah tangga.