Pernyataan bahwa orang miskin masuk surga lebih dulu daripada orang kaya kerap beredar di tengah masyarakat. Klaim ini bersandar pada beberapa hadits yang perlu dikaji secara mendalam dan komprehensif untuk memahami konteks dan implikasinya. Artikel ini akan mengupas hadits-hadits tersebut, menganalisis perbedaan penafsiran, dan menekankan pentingnya memahami makna sebenarnya di balik pernyataan tersebut, bukan sekadar interpretasi literal.
Sejumlah hadits menyebutkan keutamaan bagi orang miskin dalam konteks kehidupan akhirat. Salah satu hadits yang sering dikutip diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Hurairah RA, dan dipaparkan Imam Ibnu Katsir dalam kitab An-Nihayah fi al-Fitan wa al-Malahim. Hadits ini menyebutkan bahwa orang miskin muslim akan masuk surga lebih dulu daripada orang kaya muslim. Perbedaan waktu masuk surga ini dijelaskan dalam beberapa versi hadits. Ada yang menyebutkan selisih waktu setengah hari, yang dianalogikan dengan 500 tahun kehidupan dunia. Versi lain menyebutkan selisih waktu sejauh empat puluh musim gugur, sebagaimana diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar RA dari Rasulullah SAW. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah juga meriwayatkan hadits serupa dengan redaksi yang lebih panjang, dengan jalur periwayatan yang kembali kepada Abu Hurairah RA. At-Tirmidzi bahkan menilai hadits ini sebagai hasan shahih.
Perbedaan redaksi dan angka dalam berbagai riwayat ini menuntut kehati-hatian dalam penafsiran. Angka-angka tersebut, baik 500 tahun atau 40 musim gugur, mungkin lebih tepat dipahami sebagai metafora yang menggambarkan perbedaan signifikan, bukan perbedaan waktu yang literal. Perbedaan waktu masuk surga bukan berarti orang kaya akan selamanya tertahan di luar surga, melainkan lebih kepada penekanan pada aspek spiritual dan ujian yang mungkin dihadapi masing-masing kelompok.
Pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa orang miskin diklaim masuk surga lebih dulu? Imam Ibnu Katsir menukil hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad melalui jalur Ibnu Abbas RA. Hadits ini menceritakan dua orang mukmin, satu kaya dan satu miskin, yang bertemu di pintu surga. Orang miskin langsung masuk, sementara orang kaya ditahan. Orang miskin kemudian bertanya kepada orang kaya tentang penahanannya. Orang kaya menjawab bahwa ia mengalami penahanan yang berat dan mengerikan, digambarkan dengan keringat yang bercucuran, sehingga analogi ribuan unta yang makan tumbuhan masam dan minum keringatnya pun tak akan cukup untuk menghilangkan dahaganya.
Namun, perlu dicatat bahwa Syaikh Ahmad Syakir menilai isnad (sanad atau jalur periwayatan) hadits ini bermasalah. Ini berarti keaslian dan kesahihan hadits ini perlu dikaji lebih lanjut oleh para ahli hadits. Kita perlu berhati-hati dalam menerima hadits ini sebagai bukti yang mutlak dan sahih.
Lebih jauh lagi, beberapa hadits menyebutkan bahwa mayoritas penghuni surga adalah orang miskin. Hadits ini diriwayatkan dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dari jalur Abu Utsman an-Nahdi dari Usamah bin Zaid. Rasulullah SAW bersabda bahwa beliau melihat pintu surga dan mayoritas yang memasukinya adalah orang miskin, sementara mayoritas penghuni neraka adalah perempuan. Riwayat serupa juga terdapat dalam Shahih Bukhari melalui jalur Maslamah bin Zarir, dan diriwayatkan pula oleh Abdurrazzaq.
Hadits-hadits ini perlu diinterpretasikan dengan bijak. Pernyataan "mayoritas" tidak berarti orang kaya seluruhnya masuk neraka. Pernyataan ini lebih menekankan pada potensi kesulitan yang dihadapi orang kaya dalam menjalani kehidupan spiritual. Kekayaan dapat menjadi ujian tersendiri, membuat seseorang terlena dan melupakan kewajiban spiritualnya. Kemiskinan, di sisi lain, dapat menjadi ujian yang berbeda, menguji kesabaran, keikhlasan, dan ketawakalan seseorang kepada Allah SWT.
Kesimpulannya, pernyataan "orang miskin masuk surga lebih dulu" perlu dipahami dalam konteksnya. Hadits-hadits yang terkait perlu dikaji secara kritis, memperhatikan perbedaan redaksi dan penilaian para ahli hadits terhadap kesahihannya. Angka-angka yang disebutkan mungkin lebih bersifat metaforis daripada literal. Pernyataan ini bukan untuk membenarkan diskriminasi atau meremehkan usaha orang kaya untuk meraih surga. Sebaliknya, pernyataan ini lebih menekankan pada pentingnya kerendahan hati, keikhlasan, dan ketawakalan kepada Allah SWT, baik bagi orang kaya maupun orang miskin, sebagai kunci utama untuk meraih ridho-Nya dan mencapai kehidupan akhirat yang bahagia.
Penting untuk diingat bahwa jalan menuju surga terbuka untuk semua orang, tanpa memandang status sosial ekonomi. Amalan saleh, ketaatan kepada Allah SWT, dan keikhlasan dalam beribadah adalah faktor penentu utama. Kekayaan dapat menjadi ujian, tetapi kemiskinan pun dapat menjadi ujian yang tak kalah berat. Yang terpenting adalah bagaimana kita memanfaatkan apa yang kita miliki, baik harta maupun kesempatan, untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan berbuat kebaikan kepada sesama. Wallahu a’lam bisshawab.