Opini berjudul “Konseptualisasi Memori Kolektif Masyarakat Indonesia Terhadap Pandemi”
Oleh: Rizky Aldi Danusa
(Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta)
ERAMADANI.COM, DENPASAR – Pandemi pada umumnya bukanlah hal yang asing bagi masyarakat dunia. Mengingat pada masa-masa sebelumnya telah terjadi hal serupa namun dalam bentuk yang berbeda.
Sejarah mencatat terdapat 5 peristiwa pandemi terburuk yang pernah terjadi di dunia. Keberadaan peristiwa itu menjadi atribut tersendiri bagi masyarakat dunia untuk menyikapi pandemi saat ini.
Namun bagaimana dengan masyarakat Indonesia? Bisa dikatakan suatu negara ataupun kelompok sosial mampu kokoh dengan adanya pengalaman di masa lampau terhadap peristiwa yang serupa walaupun terbilang tak sama.
Keberadaan ingatan bersama atau yang disebut memori kolektif berdiri di samping kenyataan mengenai pengetahuan, gambar, narasi, nilai-nilai dan ide-ide yang terpatri pada suatu kelompok sosial.
Ingatan mengenai pandemi bagi masyarakat Indonesia merupakan ingatan hitam yang tidak terlihat.
Menilik peristiwa sebelum negara ini dibentuk ketika Indonesia bernama Hindia-Belanda, pandemi 1918-19 (flu Spanyol) turut menyerang Indonesia dengan adanya laporan excess death (angka kematian di atas rata-rata).
Sepanjang tahun-tahun kelam itu, media lokal menggambarkannya dengan sebutan suara-suara dari kubur pada laman koran Bataviaasch Nieuwsblad yang terbit di Batavia (Jakarta pada masa ini).
Penanganan yang terbilang terlambat dan tidak diketahuinya langkah efektif dalam menghadapi pandemi membuat penduduk Hindia-Belanda membutuhkan satu tahun untuk mencapai kekebalan kelompok (herd immunity).
Ingatan Terhadap Pandemi Menjadi Memori Tumpul Masyarakat Indonesia
Pengetahuan bersama atas pandemi sebelumnya yang jauh dari ingatan masyarakat Indonesia menjadikan pandemi 1918-19 itu sebagai wabah yang terlupakan dan hanya berdiri sebagai memori tumpul dalam ingatan masyarakat Indonesia.
Adanya pandemi Covid-19 membawa masyarakat Indonesia menghadap pada sudut pandang baru.
Nantinya membentuk kerangka atau pondasi dalam konsep memori kolektif (ingatan bersama) yang mengeksplorasi kejadian kelam ini sebagai pengetahuan di masa yang akan datang.
Perspektif baru yang muncul menjadi bekal pengetahuan untuk dibangun, dibagikan, dan diteruskan kepada generasi selanjutnya.
Dalam skala kecil maupun besar, seperti yang dikatakan oleh Halbwachs dalam bukunya yang berjudul “Les cadre sociaux de la memoire”.
Karakter masyarakat Indonesia dalam menghadapi wabah lambat laun mulai bertransformasi dalam hubungannya dengan nilai-nilai tradisional pendahulu mereka.
Sebagai contoh, titik wujud ingatan orang Jawa mengenai wabah terbentuk ketika kolera menyerang di masa penjajahan.
Hal itu membuat masyarakat Jawa secara umum membangun rumah bersama dengan tempat mencuci tangan di depan rumah mereka.
Rumah jawa tradisional memiliki wadah air berupa kendi di depan rumah yang diperuntukkan mencuci tangan sebelum masuk rumah.
Kumpulan narasi yang telah terjadi di tengah pandemi ini menjadi bekal utama bagi masyarakat Indonesia untuk menatap ke depan.
Perbedaan pandangan yang terjadi pada setiap bangsa dalam menghadapi perang melawan wabah bukanlah hal yang harus dijadikan kambing hitam terus menerus.
Karena hal tersebut merupakan bentuk dari kecakapan yang didapat melalui pengalaman pada kondisi yang hampir serupa di masa lalu.
Memori yang telah terkumpul sudah barang tentu menjadi formulir yang merupakan titik wujud bahwa kita bisa menghadapi situasi seperti ini tanpa harus berputus asa. (NET)