Oman, negara mayoritas Muslim di Timur Tengah, kerap menampilkan citra luar yang kontras dengan kekayaannya yang sesungguhnya. Berbeda dengan tetangganya seperti Dubai dan Arab Saudi yang dihiasi pencakar langit menjulang dan resor mewah, Oman justru menampilkan wajah pedesaan yang tenang. Namun, di balik kesederhanaan itu tersimpan potensi ekonomi yang signifikan, menjadikan negara ini salah satu yang terkaya di kawasan Arab.
Letak geografis Oman di pantai tenggara Jazirah Arab, di pertemuan Teluk Persia dan Laut Arab, telah membentuk karakteristik ekonominya. Seperti yang dijelaskan dalam Encyclopedia Britannica, Oman adalah negara agraris dan perikanan, dengan perdagangan luar negeri memainkan peran penting bagi penduduk pesisir. Namun, tulang punggung perekonomian Oman tak lain adalah sektor minyak dan gas alam. Penemuan minyak dalam jumlah komersial pada tahun 1964 dan ekspor perdana pada tahun 1967 menandai babak baru dalam sejarah ekonomi negara ini. Sejak saat itu, produksi dan ekspor minyak bumi meningkat pesat, mendominasi lanskap ekonomi dan memberikan kontribusi signifikan terhadap PDB. Sektor minyak bumi menyumbang sekitar dua perlima dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan sekitar tiga perempat dari pendapatan pemerintah.
Meskipun minyak dan gas alam menjadi pilar utama perekonomian, Oman juga berupaya mengembangkan sektor-sektor lain. Pertanian, perikanan, dan manufaktur non-minyak bumi turut berkontribusi, meskipun dalam skala yang lebih kecil dibandingkan sektor energi. Prestasi ekonomi Oman terlihat jelas dalam peringkat PDB per kapita. Oman konsisten masuk dalam daftar 10 negara terkaya di Arab, menunjukkan tingkat kesejahteraan yang tinggi bagi penduduknya. Proyeksi Kementerian Keuangan Oman, seperti yang dilansir Oman Observer, memperkirakan PDB Oman dengan harga konstan akan mencapai OMR 38,39 miliar pada akhir tahun 2024, dan meningkat menjadi OMR 39,43 miliar pada tahun 2025. Angka-angka ini menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang stabil dan berkelanjutan.
Kekayaan Oman juga tercermin dalam kekuatan mata uangnya, rial Oman (OMR). Diterbitkan oleh Bank Sentral Oman yang didirikan pada tahun 1974, rial Oman menggantikan rupee India dan kini menempati posisi ketiga sebagai mata uang terkuat di dunia, menurut data Forbes per 10 Januari 2025. Nilai tukar 1 OMR setara dengan 2.60 USD atau sekitar Rp 42.000 (kurs saat berita ini ditulis). Forbes India, dalam laporannya, menghubungkan kekuatan rial Oman dengan cadangan minyak yang signifikan dan kebijakan moneter yang terikat pada dolar AS.
Di luar aspek ekonomi, Oman juga menunjukkan komitmen terhadap kesejahteraan sosial penduduknya. Pasca peristiwa Arab Spring pada tahun 2010-2011, pemerintah Oman meningkatkan investasi dalam program-program kesejahteraan. Puncaknya adalah dikeluarkannya Keputusan Kerajaan Nomor 52/2023 pada 19 Juli 2023 oleh Sultan Haitham bin Tariq, yang mengesahkan Undang-Undang Perlindungan Sosial. Undang-undang ini, yang dikembangkan dengan dukungan Organisasi Buruh Internasional (ILO), mereformasi sistem perlindungan sosial di Oman dan merupakan bagian dari program pemerintah Tawazun (kini Estidamah) untuk keseimbangan fiskal. ILO memuji visi ambisius dan holistik ini yang menyelaraskan reformasi ekonomi dengan keadilan sosial.
Namun, di tengah kemajuan ekonomi dan kesejahteraan sosial, Oman juga menghadapi tantangan sosial. Fenomena pengemisan, meskipun tidak separah di negara lain, tetap menjadi perhatian. Data pemerintah yang dilansir Times of Oman menunjukkan bahwa 80 persen pengemis di Oman adalah ekspatriat dan migran ilegal, sementara hanya kurang dari 20 persen yang merupakan warga negara Oman. Yang mengejutkan, investigasi lebih lanjut menunjukkan bahwa sebagian besar pengemis tersebut tidak benar-benar membutuhkan bantuan. Laporan Oman Observer pada tahun 2022 menyebutkan bahwa dari 188 kasus pengemisan di kalangan warga Oman, hanya 10 kasus yang menjalani investigasi sosial, mengindikasikan bahwa sebagian besar kasus tersebut tidak didorong oleh kemiskinan. Meskipun mengemis merupakan tindakan ilegal di Oman dan dapat dikenai hukuman karena berpotensi mengganggu stabilitas sosial, pemerintah menekankan perlakuan yang adil dan manusiawi bagi mereka yang tertangkap. Belakangan ini, Oman juga meluncurkan kampanye anti-mengemis di Muscat dengan slogan-slogan yang mengajak masyarakat untuk berkontribusi positif.
Kesederhanaan yang ditampilkan Oman, dengan minimnya gedung pencakar langit dan gaya hidup masyarakat yang relatif sederhana, telah memunculkan julukan "negara yang pura-pura miskin". Namun, ini lebih mencerminkan nilai-nilai budaya dan sosial masyarakat Oman yang menjunjung tinggi adat istiadat dan solidaritas sosial. Mayoritas penduduk Oman beragama Islam, dengan komposisi sekitar 95 persen Muslim (45 persen Sunni, 45 persen Ibadi, dan 5 persen Syiah), sisanya menganut agama Hindu, Buddha, dan Kristen.
Kekayaan budaya Oman juga tak dapat dipungkiri. Sejumlah situs budaya di Oman telah diakui oleh UNESCO sebagai Warisan Dunia, termasuk Sistem Irigasi Aflaj, Kota Tua di Qalhat, Situs Arkeologi Bat, Al-Khutm, dan Al-Ayn, Benteng Bahla, dan Negeri Kemenyan (Land of Frankincense). Beberapa situs lainnya masih dalam daftar tentatif untuk dipertimbangkan sebagai Warisan Dunia.
Kesimpulannya, Oman adalah negara dengan kontras yang menarik. Kekayaan ekonomi yang signifikan, ditopang oleh sektor minyak dan gas alam, serta mata uang yang kuat, berdampingan dengan kesederhanaan yang tercermin dalam arsitektur dan gaya hidup masyarakatnya. Komitmen terhadap kesejahteraan sosial dan pelestarian budaya menunjukkan upaya Oman untuk menyeimbangkan kemajuan ekonomi dengan nilai-nilai tradisional. Meskipun menghadapi tantangan sosial seperti pengemisan, Oman terus berupaya membangun masa depan yang lebih baik bagi rakyatnya, dengan tetap mempertahankan identitas dan karakteristik uniknya sebagai negara yang kaya akan budaya dan sejarah.