Jakarta, 22 Januari 2025 – Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), dengan tegas membentangkan garis batas antara peran Nahdlatul Ulama sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan dengan aktivitas bisnis. Dalam pidato pembukaan Kongres Pendidikan NU 2025 di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Gus Yahya menekankan bahwa NU bukanlah entitas yang mengejar keuntungan semata, melainkan organisasi ulama yang berkhidmat untuk ummat.
"Saya ingatkan, NU adalah organisasi ulama, bukan organisasi bisnis," tegas Gus Yahya di hadapan para peserta kongres. Pernyataan ini disampaikan sebagai respons terhadap usulan keterlibatan perguruan tinggi Nahdlatul Ulama (PTNU) dan lembaga-lembaga NU lainnya dalam pengelolaan sektor pertambangan. Usulan tersebut, menurut Gus Yahya, perlu dikaji ulang dan ditempatkan dalam konteks yang tepat agar tidak menyimpang dari jati diri NU.
Gus Yahya secara lugas menggarisbawahi dua pilar utama pengabdian NU: pendidikan dan pengasuhan masyarakat. "Pesantren, sebagai jantung NU, adalah wujud nyata dari khidmah, layanan utama yang berpusat pada dua arena ini: khidmatul ‘ilm (pelayanan ilmu) dan riayatul ummah (pengasuhan umat)," jelasnya. Kedua pilar ini, menurutnya, merupakan ruh dan inti dari keberadaan NU, dan segala aktivitas organisasi harus berorientasi pada penguatan dan pengembangannya.
Lebih lanjut, Gus Yahya menjelaskan bahwa aktivitas-aktivitas di luar dua pilar utama tersebut, termasuk kegiatan ekonomi yang bertujuan untuk mencari pemasukan, hanyalah bersifat penunjang. "Kegiatan-kegiatan lain, termasuk yang bertujuan mencari pemasukan, hanyalah pelengkap untuk mendukung khidmah utama kami," tegasnya. Ia menekankan pentingnya menjaga keseimbangan agar kegiatan ekonomi tidak mendominasi dan menggeser fokus utama NU dari peran utamanya dalam pendidikan dan pengasuhan masyarakat.
Pengalaman NU dalam pengelolaan sektor pertambangan, yang pernah diberikan konsesi oleh pemerintah, menjadi contoh kasus yang diangkat Gus Yahya. Ia mengakui bahwa pemberian konsesi tersebut telah menginspirasi banyak pengurus NU di berbagai tingkatan untuk mencari peluang usaha serupa demi pembiayaan kegiatan organisasi secara mandiri. Namun, Gus Yahya mengingatkan agar semangat kemandirian finansial tidak boleh mengaburkan identitas dan misi utama NU.
"Ketika pemerintah memberikan konsesi tambang kepada NU, hal itu menginspirasi banyak pengurus untuk mencari peluang serupa. Ini dinamika yang positif karena ada keinginan membiayai kegiatan organisasi secara mandiri. Tapi, saya ingatkan bahwa NU bukan organisasi bisnis," ungkapnya. Pernyataan ini sekaligus menjadi penegasan kembali bahwa keberhasilan finansial tidak boleh menjadi ukuran utama keberhasilan NU. Ukuran keberhasilan yang sesungguhnya adalah sejauh mana NU mampu menjalankan amanah utamanya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memberikan pengasuhan sosial kepada masyarakat.
Gus Yahya menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara kegiatan ekonomi dan aktivitas inti NU. Ia mengingatkan agar setiap kegiatan ekonomi yang dilakukan harus selalu berada dalam koridor penunjang, tidak boleh sebaliknya, di mana kegiatan inti NU menjadi subordinat bagi kepentingan ekonomi. "NU adalah wadah khidmah ulama kepada masyarakat. Jika ada usaha ekonomi, itu harus mendukung tanggung jawab utama kami di pendidikan dan kemasyarakatan, bukan sebaliknya," tegasnya.
Pernyataan Gus Yahya ini bukan sekadar seruan moral, melainkan juga sebuah strategi untuk menjaga keberlanjutan dan integritas NU. Dengan populasi jamaah yang sangat besar dan tersebar di seluruh Indonesia, NU memiliki potensi yang sangat besar dalam berbagai sektor, termasuk ekonomi. Namun, potensi tersebut harus dikelola dengan bijak dan bertanggung jawab, tanpa mengorbankan misi utama organisasi sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan.
Pernyataan ini juga dapat diinterpretasikan sebagai bentuk antisipasi terhadap potensi penyimpangan yang mungkin terjadi akibat keterlibatan NU dalam sektor-sektor bisnis yang kompleks dan rentan terhadap korupsi. Dengan menegaskan kembali komitmen NU pada pendidikan dan pengasuhan masyarakat, Gus Yahya secara tidak langsung memberikan batasan yang jelas terhadap aktivitas bisnis yang dilakukan oleh lembaga-lembaga di bawah naungan NU.
Lebih jauh, pernyataan Gus Yahya ini dapat dilihat sebagai upaya untuk menjaga agar NU tetap relevan dan dipercaya oleh masyarakat. Di tengah arus globalisasi dan modernisasi yang begitu cepat, NU dituntut untuk mampu beradaptasi dan berinovasi tanpa kehilangan jati dirinya. Dengan menekankan kembali pada nilai-nilai dasar dan misi utamanya, NU diharapkan dapat tetap menjadi organisasi yang dipercaya dan dihormati oleh masyarakat Indonesia.
Kongres Pendidikan NU 2025 sendiri menjadi momentum yang tepat bagi Gus Yahya untuk menyampaikan pesan penting ini. Kongres tersebut merupakan forum penting bagi para pemangku kepentingan NU untuk merumuskan strategi dan kebijakan pendidikan ke depan. Dengan menekankan kembali pada peran utama NU dalam pendidikan dan pengasuhan masyarakat, Gus Yahya berharap agar seluruh elemen NU dapat bersatu padu dalam mewujudkan cita-cita luhur organisasi tersebut.
Pernyataan Gus Yahya juga dapat dimaknai sebagai sebuah pesan kepada seluruh pengurus dan anggota NU di seluruh tingkatan, untuk selalu mengedepankan nilai-nilai integritas dan transparansi dalam setiap aktivitas, termasuk kegiatan ekonomi. Dengan demikian, NU dapat terhindar dari potensi konflik kepentingan dan menjaga kredibilitasnya di mata masyarakat.
Kesimpulannya, pernyataan Gus Yahya tentang NU sebagai organisasi ulama, bukan organisasi bisnis, merupakan penegasan penting yang perlu dipahami dan diimplementasikan oleh seluruh elemen NU. Pernyataan ini bukan sekadar retorika, melainkan sebuah komitmen untuk menjaga integritas dan keberlanjutan NU dalam menjalankan misi utamanya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memberikan pengasuhan sosial kepada masyarakat. Fokus pada pendidikan dan pengasuhan masyarakat, dengan kegiatan ekonomi sebagai penunjang, merupakan kunci keberhasilan NU dalam menghadapi tantangan zaman dan tetap relevan bagi masyarakat Indonesia. Pernyataan ini juga menjadi pedoman penting bagi pengelolaan sumber daya dan potensi yang dimiliki NU agar tetap sejalan dengan nilai-nilai dasar organisasi dan tidak terjerumus pada praktik-praktik yang bertentangan dengan prinsip-prinsip keagamaan dan kemasyarakatan.