Jakarta, 22 November 2024 – Di tengah gejolak konflik yang berkepanjangan di Timur Tengah, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan menyerukan Nahdlatul Ulama (NU) untuk mengambil peran kepemimpinan dalam upaya perdamaian regional. Seruan tersebut disampaikan Luhut dalam sebuah diskusi panel bertajuk "Humanitarian Islam dan Pendekatan Lintas Agama terhadap Perdamaian di Timur Tengah" yang diselenggarakan di Aula Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Jakarta. Luhut menekankan potensi besar NU, sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia dan dunia, untuk menjadi aktor kunci dalam meredakan konflik yang telah menimbulkan dampak ekonomi global yang signifikan, termasuk bagi Indonesia.
Luhut, dalam paparannya, mengungkapkan kekhawatiran mendalam terhadap dampak ekonomi konflik Timur Tengah yang meluas. Ia memproyeksikan berbagai skenario negatif bagi perekonomian Indonesia, jika konflik berlanjut dan bahkan meningkat eskalasinya. "Ekspor kita berpotensi menurun drastis akibat perlambatan ekonomi global yang dipicu oleh ketidakstabilan politik di Timur Tengah," tegas Luhut. "Kenaikan harga komoditas, terutama minyak, akan memicu peningkatan impor dan berujung pada inflasi yang tinggi. Hal ini akan berdampak pada penurunan daya beli masyarakat dan konsumsi rumah tangga."
Lebih lanjut, Luhut menjelaskan bahwa ketidakpastian ekonomi global yang disebabkan oleh konflik akan mendorong arus modal keluar (capital outflow) dan menurunkan minat investasi asing di Indonesia. Kondisi ini, menurutnya, akan semakin memperberat upaya pemerintah dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional, termasuk Visi Indonesia Emas 2045. "Target pemerintahan Presiden Prabowo pun akan terancam," imbuhnya.
Luhut mengingatkan bahwa Indonesia, sebagai negara dengan populasi muslim terbesar dan ekonomi terbesar di dunia yang menganut sistem demokrasi, memiliki tanggung jawab moral dan strategis untuk aktif berkontribusi dalam upaya perdamaian di Timur Tengah. "Namun, upaya ini tidak akan efektif tanpa kepemimpinan yang kuat dan terorganisir," ujarnya. Ia melihat NU sebagai organisasi yang paling tepat untuk memimpin inisiatif ini, mengingat jangkauan pengaruhnya yang luas, baik di dalam negeri maupun di kancah internasional.
"Dengan jumlah anggota lebih dari 100 juta, NU memiliki kekuatan politik dan sosial yang jauh melampaui organisasi Islam lainnya, bahkan mencapai 18 kali lipat dari Ikhwanul Muslimin di Mesir," kata Luhut. "Kekuatan ini harus dimanfaatkan secara optimal untuk mendorong perdamaian melalui pendekatan humanitarian Islam dan kerja sama lintas agama. Inisiatif ini harus melibatkan berbagai pihak, baik pemerintah, organisasi masyarakat sipil, maupun tokoh-tokoh agama dari berbagai latar belakang."
Pendapat Luhut ini sejalan dengan rekam jejak NU dalam berbagai forum global yang mempromosikan perdamaian. Keikutsertaan NU dalam Konferensi Islam Asia Afrika tahun 1965 dan kerja sama aktif dalam Religion of Twenty (R20) di G20 menunjukkan komitmen organisasi ini terhadap perdamaian dunia. Luhut meyakini bahwa pengalaman dan jaringan internasional NU dapat menjadi modal berharga dalam upaya perdamaian di Timur Tengah.
Sementara itu, Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) mengakui kompleksitas konflik Timur Tengah yang tidak hanya melibatkan faktor agama, tetapi juga ekonomi dan politik. "Agama memang menjadi salah satu faktor utama konflik, namun tidak selalu menjadi faktor paling utama," kata Gus Yahya. Ia mencontohkan klaim kepemilikan tanah oleh Zionisme yang berlandaskan wacana agama. "Hal ini menunjukkan betapa pentingnya memahami konteks keagamaan dalam menyelesaikan konflik," tambahnya.
Gus Yahya menekankan perlunya pembenahan wawasan keagamaan di tingkat masyarakat agar upaya perdamaian dapat lebih efektif dan berkelanjutan. "Perjanjian damai antara pemerintah Mesir dan Israel, misalnya, dapat saja tercapai, tetapi jika masyarakatnya belum memahami dan menerima perjanjian tersebut, akan muncul perlawanan dari dalam," jelasnya. Oleh karena itu, menurut Gus Yahya, upaya perdamaian harus mencakup pendekatan holistik yang memperhatikan aspek keagamaan, ekonomi, dan politik secara terintegrasi.
Diskusi panel tersebut juga menghadirkan berbagai narasumber terkemuka, antara lain rohaniawan Katolik Prof. Franz Magnis Suseno SJ, CEO Center for Shared Civilization Values (CSCV) C Holland Taylor, Staf Ahli Kementerian Luar Negeri Muchsin Shihab, dan rohaniawan Protestan Martin Lukito Sinaga. Kehadiran para tokoh agama dari berbagai latar belakang ini semakin memperkuat pesan tentang pentingnya pendekatan lintas agama dalam upaya perdamaian di Timur Tengah.
Kesimpulannya, seruan Luhut Binsar Pandjaitan untuk NU memimpin upaya perdamaian di Timur Tengah didasari oleh keprihatinan atas dampak ekonomi konflik yang meluas ke Indonesia. Potensi NU sebagai organisasi Islam terbesar di dunia dengan jaringan internasional yang luas, serta rekam jejaknya dalam mempromosikan perdamaian, menjadi alasan utama di balik seruan tersebut. Namun, upaya perdamaian yang efektif membutuhkan pendekatan holistik yang mempertimbangkan aspek keagamaan, ekonomi, dan politik secara terintegrasi, sebagaimana yang ditekankan oleh Gus Yahya. Tantangan ke depan terletak pada bagaimana NU dapat mengoptimalkan potensi dan pengaruhnya untuk merajut perdamaian di Timur Tengah dan mencegah dampak negatif yang lebih besar bagi Indonesia dan dunia. Peran aktif Indonesia sebagai negara demokrasi muslim terbesar dunia dalam upaya perdamaian ini sangat dinantikan.