ERAMADANI.COM – Dalam enam paragraf dr. Rukmono Siswihanto mengonfirmasi apa yang sudah selama sebulan terakhir ini diperingatkan banyak orang: stok oksigen untuk rumah sakit habis.
Rukmono bersurat pada berbagai pihak untuk mengabarkan jika ada kebutuhan oksigen setelah Sabtu (3/7) pukul 18.00 WIB, RS Sardjito yang dipimpinnya tak akan bisa berbuat apa-apa. Dalam 24 jam setelah tenggat dalam surat itu, 63 orang yang dirawat meninggal dunia.
Yogyakarta has fallen.
Selain oksigen, stok obat, vitamin, bahkan susu kaleng juga langka karena jadi rebutan orang. Harga naik pesat dan sekarang habis di mana-mana.
Situasi pasti akan bertambah buruk. Per Senin (5/7) kemarin, Indonesia kembali mencatat rekor ganda: kasus positif mencapai 29.745 dengan angka kematian hingga 558 jiwa. Ujian berat bangsa ini sudah berlangsung sedikitnya 15 bulan terakhir.
Dilansir dari CNNIndonesia.com, penyakit menular menurut WHO berpeluang muncul di mana saja. Tingkat eksploitasi alam yang masif berpotensi menciptakan mutasi virus yang pada saat yang salah di tempat yang salah bisa berkembang menjadi wabah mematikan.
Saat kutukan ini terjadi di Wuhan akhir 2019, tidak banyak negara di dunia yang siap menerima konsekuensinya.
Tetapi sebenarnya, saat itu posisi Indonesia tidak terlalu buruk. Pernah mengelola wabah flu burung, flu babi dan SARS jadi pengalaman berharga dalam menyiapkan sistem dan manajemen wabah berikutnya.
Ujian dimulai ketika para pejabat puncak mengecilkan ancaman wabah, menjadikannya bahan tertawaan dan kemudian membantah keberadaannya.
Sebagaimana Presiden Donald Trump saat memimpin AS di tengah pandemi, perilaku sebagian pejabat puncak di Indonesia mencerminkan prinsip antisains. Seperti Presiden Trump, para pejabat ini juga menjadi cobaan berat bagi bangsa Indonesia.
Desakan mengarusutamakan keselamatan nyawa dan mementingkan isu kesehatan tersisih.
Pesan yang didorong adalah bahwa meski Covid mematikan, ekonomi harus tetap berjalan. Menteri Koordinator Perekonomian dipilih menjadi panglima pandemi, tak seperti negara lain yang umumnya menempatkan Menteri Kesehatan di posisi terdepan. Dan lahir lah kampanye “New Normal”.
Kampanye ini menormalisasi Covid sebagai penyakit yang bisa ditaklukkan sambil bekerja seperti biasa, berwisata, makan-makan, kumpul-kumpul, menggelar upacara, hajat kawinan dan lain-lainnya. Semua boleh asalkan menegakkan protokol kesehatan, yang prinsipnya justru seringkali berbanding terbalik dengan berbagai kegiatan di atas.
Sebelum Singapura memutuskan menjadikan Covid sebagai penyakit yang akan jadi endemik, perilaku orang Indonesia sudah lebih dulu menganggap Covid sejenis wabah flu biasa.
Akibatnya ribuan nakes terinfeksi dan ratusan diantaranya kemudian meninggal dunia. Tetapi usulan Pemda DKI untuk menarik rem darurat agar faskes tak terlanjur kolaps ditolak.
Tak ada kapasitas terbatas untuk fasilitas kesehatan, Menteri Kordinator Perekonomian Airlangga Hartarto membantah. Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Percepatan Ekonomi Nasional ini mengatakan “… Pemerintah sudah mempunyai dana yang cukup” untuk mengatasi membanjirnya kasus baru.
Sampai mendaratnya sebuah kapal di Dermaga Tanjung Intan Cilacap (25/4). 13 ABK kapal itu positif Covid, satu dalam kondisi kepayahan bernafas.
Mereka ternyata membawa varian Delta yang di India menyebabkan bencana kemanusiaan karena faskes kolaps dan pada puncaknya menginfeksi 400 ribu orang (8/5) dan menewaskan 6000 orang (10/6) dalam sehari.
Varian setan ini punya daya sebar lebih ganas hingga 60 persen dibanding varian Alpha yang pertama kali diidentifikasi di Inggris. Sedikitnya ditemukan di 77 negara dan menurut direktur Institut Alergi dan Penyakit Menular AS, Dr Anthony Fauci, menjadi “ancaman terberat” Amerika dalam menghentikan pandemi.
Delta sukses menjelajah Cilacap kemudian Kudus, Bangkalan dan tentu saja, Jakarta. New normal berubah jadi new nightmare.
Varian Delta menormalisasi kabar buruk dan berita duka cita yang datang hampir tiap saat melalui media sosial dan aplikasi grup obrolan.
Setelah apa yang terjadi di India, bahkan AS saja begitu seram prediksinya, kenapa pemerintah kita tidak juga siap?
Karena keliru prediksi, kata Menko Marinves Luhut Panjaitan. Pemerintah luput meramalkan setelah Juni akan terjadi lonjakan kasus baru. Masih
Tentu saja selain Tuhan tidak ada yang benar tahu apa yang akan terjadi hari ini atau lusa, apalagi di masa depan. Tetapi para pejabat sesungguhnya tak kekurangan saran, analisis dan usulan dari ilmuwan baik dari dalam maupun luar pemerintahan.
Persoalannya adalah ketika saran itu tak diwaro atau bahkan dianggap menakut-nakuti. Sejak saran memberlakukan lockdown April tahun lalu hingga desakan me-lockdown total Pulau Jawa tahun ini, nasib saran-saran itu umumnya berakhir di media dan layar televisi.
Memperbesar kapasitas tes dan pelacakan misalnya, yang sudah disuarakan sejak awal pandemi, belum naik signifikan dibanding kegawatan kasus. Yang dibutuhkan kini, sekitar 500 ribuan. Yang sudah ada baru 100 ribuan sudah termasuk antigen. Sukur mengatrol angka testing ini sudah masuk target PPKM Darurat.
Target lain: menurunkan angka kasus di bawah 10 ribu per hari dan tingkat positif di bawah 10 persen, sekarang angka ini masih setidaknya 3 sampai 4 kali lipatnya.
Apakah realistis dicapai?
Target-target jauh dari capaian realistis sudah berkali-kali didengungkan. Pandemi selesai dalam dua minggu, kata seorang Menteri tahun lalu. Juli sudah selesai pandemi, kata pejabat lainnya. Pandemi selesai begitu musim kemarau datang, juga salah satu klaim gagal yang sempat didengungkan tahun lalu.
Kenyataannya kita sekarang berada dalam krisis kesehatan terburuk sepanjang umur republik.
Mencapai target adalah hal penting. Tapi lebih bermakna mengubah sikap-sikap yang berlawanan dengan upaya mencapai target itu sendiri.
Seperti kampanye wisata ke Raja Ampat, persis saat rekor baru kasus harian tercatat. Memperdebatkan istilah “faskes kolaps” versus “over kapasitas” persis saat RS jelas kekurangan stok oksigen dan kamar rawat langka bahkan APD pun diadakan dengan galang donasi.
Ujian terberat, sebenarnya mungkin bukan pandeminya tetapi justru pada sikap-sikap para petinggi negara yang antisains. Riset vaksin, uji klinis obat, memberantas hoaks dan kelompok covidiot perlu dimulai dari para pemuka pemerintahan di pusat dan daerah.
Tidak ada negara di dunia yang berhasil melalui pandemi, tanpa menjadikan ilmu pengetahuan dan ilmuwan sebagai rujukan terdepan.
Kalau pejabat Indonesia tak bisa berubah, mungkin kita akan mengalami ujian berat selamanya.