Kisah Abdul Muthalib, kakek Rasulullah SAW, merupakan salah satu episode penting dalam sejarah awal Islam yang sarat dengan nilai-nilai keimanan, pengorbanan, dan hikmah Ilahi. Diceritakan dalam Sirah Nabawiyah Ibnu Ishaq, yang kemudian disyarah dan tahqiq oleh Ibnu Hisyam, kisah ini mengungkap sebuah nazar yang hampir berujung pada pengorbanan seorang putra, Abdullah, ayahanda Rasulullah SAW. Nazar yang berawal dari sebuah sumur, berlanjut menjadi ujian iman yang mengguncang Makkah, dan berakhir dengan sebuah hikmah yang hingga kini masih menjadi renungan.
Bermula dari keberhasilan Abdul Muthalib dalam menggali kembali sumur Zamzam, sumber air kehidupan di tengah gersangnya Makkah. Keberhasilan ini, yang diperoleh setelah bernegosiasi dengan suku-suku Quraisy, memicu sebuah nazar di hati Abdul Muthalib. Ia berjanji kepada Allah SWT, bahwa jika ia dikaruniai sepuluh orang anak yang dapat ia lindungi, ia akan menyembelih salah seorang dari mereka sebagai kurban di sisi Ka’bah. Janji ini bukan sekadar sumpah serapah, melainkan sebuah ikrar yang lahir dari kedalaman hati seorang yang menyadari nikmat dan kuasa Ilahi.
Waktu berlalu, dan Abdul Muthalib dikaruniai sepuluh orang putra. Ketika anak-anaknya telah dewasa, ia pun mengutarakan nazarnya yang dahsyat itu. Bukan dengan paksaan, melainkan dengan penjelasan yang bijak, ia menyampaikan niatnya untuk menunaikan janji kepada Allah SWT. Anak-anaknya, yang telah tumbuh di bawah didikan seorang ayah yang bijaksana dan beriman, menerima nazar tersebut dengan penuh ketaatan dan kerendahan hati. Mereka bertanya, "Apa yang harus kami lakukan, Ayahanda?"
Abdul Muthalib, dengan kecerdasannya, mengajukan metode pengundian yang adil. Setiap anak menulis namanya pada sebuah dadu, kemudian dadu-dadu tersebut akan diundi. Proses pengundian ini tidak dilakukan secara sembarangan. Abdul Muthalib memilih untuk melakukan pengundian di dekat patung Hubal, berhala utama kaum Quraisy saat itu. Ironisnya, pengundian ini menggunakan tujuh dadu yang biasanya digunakan untuk menentukan siapa yang bertanggung jawab atas diyat (tebusan darah) dalam sengketa antar suku. Pemilihan tempat dan alat ini mungkin mengandung makna simbolik, menggambarkan bagaimana Abdul Muthalib, seorang tokoh penting Quraisy, menantang tradisi jahiliyah dengan nazarnya yang monoteistik.
Penjaga dadu, yang dipercaya untuk menjalankan proses pengundian, melakukan tugasnya. Dan hasilnya mengejutkan banyak pihak. Nama yang keluar adalah Abdullah, putra kesayangan Abdul Muthalib. Abdullah, yang kelak akan menjadi ayahanda Rasulullah SAW, terpilih untuk dikorbankan. Bayangan pedih seorang ayah yang harus mengorbankan putra tercintanya memenuhi suasana Makkah.
Berita ini dengan cepat menyebar di kalangan suku Quraisy. Reaksi mereka beragam. Ada yang terkejut, ada yang cemas, dan ada yang berusaha mencegah Abdul Muthalib melaksanakan nazarnya. Mereka mempertanyakan tindakan tersebut, mengatakan, "Demi Allah, engkau tidak boleh membunuhnya sampai kapan pun hingga engkau memberi argumen kuat atas tindakanmu itu. Jika engkau tetap ngotot menyembelihnya, pastilah setiap orang akan menyembelih anaknya. Lalu bagaimana jadinya manusia nanti?" Peringatan ini bukan tanpa alasan, karena tindakan tersebut berpotensi memicu kekacauan sosial yang luar biasa. Beberapa di antara mereka bahkan menawarkan tebusan agar Abdul Muthalib mengurungkan niatnya. Anak-anak Abdul Muthalib sendiri juga berusaha mencegah ayahnya, memohon agar ia mencari solusi lain.
Di tengah dilema yang pelik ini, Abdul Muthalib memutuskan untuk mencari pertimbangan dari seorang peramal di Madinah. Perjalanan panjang ditempuhnya untuk bertemu dengan peramal tersebut, yang saat itu berada di Khaybar. Setelah menceritakan nazar dan hasil pengundian, peramal wanita itu memberikan saran yang bijaksana. Ia menyarankan agar Abdul Muthalib mengganti Abdullah dengan sepuluh ekor unta, dan melakukan pengundian kembali. Jika nama Abdullah masih keluar, jumlah unta ditambah sepuluh ekor lagi, dan seterusnya, hingga nama unta yang keluar. Untalah yang kemudian akan disembelih sebagai pengganti Abdullah.
Kembali ke Makkah, Abdul Muthalib melaksanakan saran peramal tersebut. Pengundian dilakukan berulang kali. Anehnya, setiap kali dadu dikocok, nama Abdullah yang keluar. Jumlah unta pun terus bertambah, sepuluh, dua puluh, tiga puluh, dan seterusnya, hingga mencapai seratus ekor. Baru setelah seratus ekor unta menjadi taruhan, nama unta yang akhirnya keluar. Namun, Abdul Muthalib, yang telah merasakan keajaiban dan campur tangan Ilahi dalam proses ini, belum merasa puas. Ia berkata, "Tidak! Demi Allah, hingga aku mengocok kotak dadu ini hingga tiga kali."
Tiga kali pengundian dilakukan, dan setiap kali nama unta yang keluar. Akhirnya, seratus ekor unta itu disembelih, dan dagingnya dibagikan kepada seluruh penduduk Makkah. Tidak ada hewan buas yang berani mendekat, hanya manusia yang diperbolehkan memakan daging unta tersebut. Ini menjadi bukti nyata akan kekuasaan dan perlindungan Allah SWT.
Kisah nazar Abdul Muthalib bukan sekadar cerita sejarah semata. Ia merupakan sebuah pelajaran berharga tentang keimanan, pengorbanan, dan hikmah Ilahi. Nazar yang hampir berujung pada tragedi, berubah menjadi sebuah peristiwa yang mengagungkan nama Allah SWT dan memperlihatkan kebesaran-Nya. Pengundian berulang kali yang selalu menghasilkan nama Abdullah, kemudian beralih ke unta, menunjukkan campur tangan Ilahi yang melindungi Abdullah dan menguji keimanan Abdul Muthalib. Seratus unta yang disembelih menjadi simbol pengorbanan yang diterima Allah SWT, dan dagingnya yang dibagikan kepada penduduk Makkah menjadi simbol berkah dan rahmat.
Kisah ini juga menggambarkan bagaimana tradisi jahiliyah, yang diwakili oleh patung Hubal dan penggunaan dadu untuk menyelesaikan sengketa, bertemu dan berhadapan dengan keimanan yang tulus. Abdul Muthalib, meskipun berada di tengah budaya jahiliyah, tetap teguh pada nazarnya dan mencari jalan keluar yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Ia tidak hanya menjalankan nazarnya, tetapi juga menunjukkan kebijaksanaan dan keadilan dalam prosesnya. Kisah ini mengajarkan kita tentang pentingnya menepati janji kepada Allah SWT, meskipun hal itu membutuhkan pengorbanan yang besar. Namun, Allah SWT selalu memberikan jalan keluar dan hikmah di balik setiap ujian yang dihadapi hamba-Nya yang beriman. Wallahu a’lam.