ERAMADANI.COM – M Ngalimun (45 tahun), pemilik warung tegal (warteg) di Kawasan Pancoran, Jakarta Selatan, sibuk memotong cabai sembari menunggu pelanggan datang. Waktunya berlimpah untuk mengerjakan pekerjaan lain karena dagangannya sepi pelanggan sejak PPKM darurat berlaku pada 3 Juli 2021 lalu.
“Kadang-kadang, kami satu jam saja enggak melayani satu orang pun,” ujarnya lirih kepada CNNIndonesia.com, Selasa (27/7).
Tak heran, omzet dagangannya pun anjlok 50 persen. Pasalnya, Kawasan Pancoran yang dulunya tak pernah lepas dari lalu lalang pekerja kantor, kini terbilang lengang. Hanya ada warga sekitar, pedagang, dan ojek online yang melintas. Kondisi serupa juga dialami oleh sesama pemilik warteg di kawasan itu.
“Pendapatan sehari cuma Rp500 ribu-Rp600 ribu pas PPKM ini, biasanya bisa Rp1 juta lebih. Semuanya, (pemilik warteg) tidak saya doang,” imbuhnya.
Terdengar nada pasrah saat ia mengaku harus menombok kerugian yang dideritanya dari tabungan, alih-alih mengantongi untung selama PPKM darurat. Ibaratnya, besar pasak daripada tiang.
Dalam sebulan, ia harus mengeluarkan biaya sewa toko Rp1,5 juta, ditambah tarif listrik Rp100 ribu dan air Rp150 ribu, sehingga totalnya Rp1,75 juta. Tentunya, pendapatan dari warteg tidak menutupi semua biaya operasional itu.
“Kalau kerugian, kami pasti ada kerugian. Saya terus terang sejak 3 Juli sampai hari ini, nombok sudah Rp1,5 juta. Malah nombok. Makanya, saya seharusnya tanggal 2 Agustus, bayar kontrakan, saya bilang saya nunggak dulu bulan ini,” ungkapnya.
Kondisi itu memaksa Ngalimun untuk mengurangi pekerjanya dua orang. Ia memilih untuk memasak hingga melayani pembeli sendiri dibantu sang istri, sehingga bisa bertahan.
Menurutnya, ini pilihan pahit ketimbang tutup warung karena ia harus menafkahi anak semata wayangnya yang masih duduk di bangku SMK. “Saya mau mundur (tutup warung) tapi anak saya masih sekolah,” katanya.
Kondisi Ngalimun bisa dibilang lebih mujur karena banyak pedagang warteg yang memilih tutup sementara hingga gulung tikar. Ia menuturkan umumnya pedagang menyewa toko selama setahun, sehingga beban operasionalnya lebih berat.
Padahal, biaya sewa warung bisa mencapai Rp20 juta -Rp40 juta per tahun tergantung lokasinya.
Karenanya, berbagai strategi bertahan ia coba demi keluarganya. Selain mengerjakan semuanya sendiri, ia juga mengurangi kuantitas lauk pauk sampai setengahnya. Misalnya, lauk kacang panjang dulunya bisa mencapai 1 kilogram (Kg) kini hanya setengah kilogram.
Harapannya, bantuan dari pemerintah segera cair sehingga bisa meringankan bebannya. Pria yang sudah membuka usaha warteg sejak 1998 ini mengaku belum menerima bantuan apapun selama PPKM darurat. Ia hanya menerima bantuan tunai UMKM sebanyak tiga kali, itu pun tahun lalu.
“Semenjak PPKM ini belum terima apa-apa, enggak ada istilahnya, kayak beras. PPKM darurat katanya ada ini itu, tapi saya belum pernah terima. Ini saja, (bantuan sosial tunai/BST) harusnya keluar Rp300 ribu, kata orang keluarnya Rp600 ribu, tapi punya saya belum keluar,” imbuhnya.
Karenanya, ia berharap PPKM darurat segera berakhir, sehingga pelanggannya bisa kembali meskipun belum seramai sebelum pandemi covid-19.
Selama PPKM darurat, ia mengaku masih ada sejumlah pelanggan yang memilih makan di tempat ketimbang dibawa pulang. Meski berarti ‘kucing-kucingan’ dengan petugas yang berkeliling mengawasi.
Kondisi serupa dialami oleh Iis (21). Penjaga warteg di belakang Gedung SMESCO, Jakarta Selatan, itu mengaku konsumen berkurang hingga 50 persen. Raut sedih tampak di wajahnya saat bercerita kondisi warteg mendadak sepi ditinggal pelanggan yang mayoritas pekerja proyek hingga pegawai kantor.
“Semenjak PPKM darurat kemarin agak berkurang pendapatan soalnya orang yang biasa lewat jadi jarang, terus orang-orang sebagian pada pulang kampung. Sehari itu omzetnya turun setengah,” katanya.
Karena pelanggan sepi, ia juga masih membiarkan sejumlah pembeli makan di tempat asal masih jaga jarak. Biasanya, kata dia, dua hingga tiga orang saja sedangkan mayoritas pelanggan memilih untuk membungkus lauk pauk.
Dengan aturan baru makan di warteg 20 menit, ia memprediksi mayoritas pelanggan tetap memilih membungkus makanan.
“Kayaknya susah ya, kan orang makan enggak harus buru-buru, jadi kebanyakan orang enggak mau (makan di tempat). Kebanyakan masih bungkus daripada makan di sini,” tutur dia.
Ironisnya, ia terpaksa membuang sisa makanan yang tidak habis terjual. Padahal, ia sudah mengurangi porsi masakan menyesuaikan dengan berkurangnya pelanggan. “Kalau enggak habis ya kadang dibuang, seringnya dibuang,” imbuhnya.
Menariknya, Iis mengaku kadang jadi tempat curahan hati (curhat) para pelanggan tetap yang pendapatannya juga berkurang akibat pandemi. Menurutnya, pelanggan kini lebih irit dengan hanya membeli lauk saja. Karenanya, ia berharap pandemi ini segera selesai sehingga perekonomian kembali normal.
“Bedanya terasa, orang-orang pendapatan berkurang jadi makannya agak ngirit, kadang beli lauk doang, nasi masak sendiri. Pada ngeluh juga, beli lauk aja mbak, ngirit, begitu,” katanya menirukan keluhan pelanggan.
Sebelumnya, Ketua Komunitas Warteg Indonesia (Kowantara) Mukroni mengatakan penurunan omzet pedagang warteg mencapai 50 persen sampai 90 persen.
Ia memberi gambaran, omzet yang semula bisa mencapai Rp3 juta sampai Rp4 juta, kini turun hanya sekitar Rp300 ribu per hari. Kondisi ini terjadi sejak pandemi covid-19 mewabah hingga saat ini di era PPKM Level 4.
“Bahkan banyak rekan-rekan kami yang harus mengundurkan diri dari usaha ini alias tutup dan kerugiannya juga lumayan, Mungkin ada 50 persen yang tutup, usahanya alami kebangkrutan,” tuturnya. dilansir dari CNNIndonesia.com