Peristiwa Isra Miraj, perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha dalam semalam, merupakan tonggak penting dalam sejarah Islam. Peristiwa yang diabadikan dalam Al-Quran surat Al-Isra ayat 1 ini menandai titik kulminasi dari perjalanan spiritual Nabi dan menjadi momentum penetapan salat lima waktu sebagai rukun Islam yang fundamental. Ayat tersebut berbunyi: (Terjemahan ayat Al-Isra 1 dalam bahasa Indonesia yang baik dan baku perlu disertakan di sini, bukan teks arab yang tidak terbaca dengan baik). Ayat ini mengukuhkan keajaiban perjalanan tersebut dan menegaskan kebesaran Allah SWT.
Isra Miraj tidak hanya menandai perjalanan fisik yang menakjubkan, tetapi juga perjalanan spiritual yang mendalam. Puncak perjalanan ini adalah perintah langsung dari Allah SWT untuk mendirikan salat lima waktu. Namun, perintah awal yang diterima Nabi Muhammad SAW bukanlah lima waktu, melainkan lima puluh waktu salat setiap harinya. Beban yang demikian berat tentu akan sangat memberatkan umat manusia. Di sinilah peran Nabi Musa AS menjadi krusial dalam sejarah peradaban Islam.
Berbagai riwayat hadis mengisahkan bagaimana Nabi Musa AS, nabi ulul azmi yang telah memimpin Bani Israil, berperan sebagai perantara dalam meringankan beban salat tersebut. Salah satu riwayat yang paling dikenal berasal dari hadis Bukhari yang diriwayatkan oleh Malik bin Sha’sha’ah RA. Hadis ini melukiskan sebuah dialog yang intens antara Nabi Muhammad SAW dan Nabi Musa AS, sebuah percakapan yang berpusat pada keprihatinan akan kemampuan umat manusia untuk menjalankan salat sebanyak lima puluh waktu.
Hadis tersebut secara ringkas menceritakan bagaimana Nabi Muhammad SAW, setelah menerima perintah salat lima puluh waktu, menemui Nabi Musa AS untuk berdiskusi. Nabi Musa AS, dengan kebijaksanaan dan pengalamannya memimpin Bani Israil, langsung menyatakan keraguannya akan kemampuan umat untuk melaksanakan salat sebanyak itu. Beliau menasehati Nabi Muhammad SAW untuk memohon keringanan kepada Allah SWT.
Berikut rekonstruksi narasi hadis tersebut dalam bahasa Indonesia yang lebih lugas dan detail, menghindari penyederhanaan yang mungkin menghilangkan nuansa penting:
"Setelah menerima wahyu tentang kewajiban salat lima puluh waktu setiap hari, aku (Nabi Muhammad SAW) kembali dan menemui Nabi Musa AS. Beliau bertanya, ‘Wahai Muhammad, apa yang telah diperintahkan kepadamu oleh Tuhanmu?’ Aku menjawab, ‘Aku diperintahkan untuk mendirikan salat lima puluh waktu setiap hari.’ Mendengar itu, Nabi Musa AS berkata, ‘Wahai Muhammad, sungguh berat sekali beban ini bagi umatmu. Mereka tidak akan mampu menjalankannya. Demi Allah, aku telah mencoba menerapkannya kepada umatku, Bani Israil, namun mereka tidak sanggup. Kembalilah kepada Tuhanmu dan mohonlah keringanan untuk umatmu.’"
Nabi Muhammad SAW, dengan penuh ketaatan, kembali kepada Allah SWT dan memohon keringanan. Allah SWT kemudian menurunkan keringanan berupa pengurangan sepuluh waktu salat. Namun, Nabi Musa AS kembali menasehati Nabi Muhammad SAW untuk memohon keringanan lagi, mengingat beratnya beban tersebut bagi umat. Proses ini terulang beberapa kali, hingga akhirnya Allah SWT menetapkan jumlah salat menjadi lima waktu.
Perlu ditekankan bahwa proses permohonan keringanan ini bukan menunjukkan kelemahan Nabi Muhammad SAW, melainkan mencerminkan kepedulian beliau yang mendalam terhadap umatnya. Beliau selalu mengutamakan kemudahan dan kelancaran dalam menjalankan ibadah bagi seluruh umatnya, sesuai dengan sifat rahmatan lil-‘alamin yang melekat pada diri beliau.
Hadis ini juga menekankan hikmah di balik pengurangan jumlah salat. Meskipun jumlah salat dikurangi menjadi lima waktu, pahala yang diperoleh tetap setara dengan pahala mendirikan salat lima puluh waktu. Ini merupakan bentuk karunia dan rahmat Allah SWT yang luar biasa bagi umat Islam. Hadis tersebut menerangkan: "Hai Muhammad! Salat yang Kuwajibkan adalah lima kali dalam sehari semalam. Pahala tiap-tiap salat itu Aku gandakan sepuluh kali lipat. Maka dari itu, mendirikan salat lima kali sama saja dengan mendirikan salat lima puluh kali."
Lebih jauh lagi, hadis ini juga mengandung pesan moral yang sangat berharga. Hadis tersebut menjelaskan tentang pahala yang besar bagi seseorang yang berniat melakukan kebaikan, meskipun ia belum sempat melakukannya. Hal ini menunjukkan bahwa niat baik merupakan hal yang sangat penting dan mendapatkan ganjaran dari Allah SWT. Sebaliknya, hadis ini juga mengingatkan akan konsekuensi dari perbuatan buruk, bahkan hanya sekedar niat buruk saja.
Peran Nabi Musa AS dalam peristiwa ini tidak hanya sekedar sebagai perantara, tetapi juga sebagai teladan dalam hal kepedulian terhadap sesama dan keberanian untuk menyampaikan kebenaran. Beliau tidak ragu untuk menyampaikan pendapatnya kepada Nabi Muhammad SAW, meskipun hal itu menyangkut perintah langsung dari Allah SWT. Sikap ini menunjukkan keikhlasan dan kecintaannya yang tulus terhadap umat manusia.
Kesimpulannya, peristiwa pengurangan jumlah salat dari lima puluh waktu menjadi lima waktu merupakan bukti nyata dari kasih sayang dan rahmat Allah SWT kepada umat manusia. Peran Nabi Musa AS dalam peristiwa ini menjadi sebuah pelajaran berharga tentang pentingnya kepedulian, kebijaksanaan, dan keberanian dalam menyampaikan kebenaran demi kemaslahatan umat. Hadis ini juga memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang makna ibadah dan pentingnya niat baik dalam setiap perbuatan. Peristiwa Isra Miraj dan penetapan salat lima waktu, dengan perannya Nabi Musa AS, merupakan bagian integral dari ajaran Islam yang senantiasa relevan sepanjang zaman. Ia mengajarkan kita tentang pentingnya keseimbangan antara tuntutan ibadah dan kemampuan manusia, serta menunjukkan betapa besarnya rahmat Allah SWT bagi hamba-Nya yang taat dan berikhtiar.