Jakarta, 16 Januari 2025 – Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Publik (LBHAP) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah bersiap melaporkan pihak yang bertanggung jawab atas pembangunan pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di pesisir utara Kabupaten Tangerang ke Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia (Mabes Polri). Langkah tegas ini diambil menyusul kegagalan upaya somasi terbuka yang dilayangkan LBHAP PP Muhammadiyah kepada pihak yang diduga bertanggung jawab atas pembangunan pagar tersebut. Ketidakresponsifan terhadap somasi tersebut, menurut LBHAP, menjadi pemicu pelaporan ke jalur hukum.
Ketua Riset dan Advokasi Publik LBHAP PP Muhammadiyah, Gufroni, menyatakan bahwa laporan resmi akan segera diajukan ke Mabes Polri. Meskipun Gufroni belum secara eksplisit menunjuk pihak-pihak yang akan dilaporkan, ia menegaskan bahwa pelaporan akan dilakukan dalam waktu dekat, diperkirakan antara hari Kamis atau Jumat, 17 atau 18 Januari 2025. "Sesuai rencana, apabila dalam tenggat waktu somasi tidak ada yang membongkar pagar bambu tersebut, kami akan segera membuat laporan atau pengaduan ke Mabes Polri," tegas Gufroni kepada awak media, mengutip pernyataan sebelumnya yang disampaikan kepada CNN Indonesia.
Pembangunan pagar laut yang membentang di 16 desa yang tersebar di 6 kecamatan di Kabupaten Tangerang ini telah menimbulkan gejolak dan keresahan di kalangan masyarakat, khususnya nelayan tradisional. LBHAP PP Muhammadiyah menilai pembangunan pagar tersebut sebagai tindakan sewenang-wenang yang merugikan banyak pihak dan melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Dalam somasi terbuka yang dilayangkan pada Senin, 13 Januari 2025, LBHAP PP Muhammadiyah menuntut agar pihak yang bertanggung jawab segera membongkar dan membersihkan pagar bambu tersebut dalam waktu 72 jam. Somasi tersebut secara tegas menekankan pelanggaran yang ditimbulkan oleh pembangunan pagar tersebut, antara lain:
-
Pelanggaran Hak Akses Publik terhadap Laut: Pembangunan pagar sepanjang 30,16 kilometer secara efektif membatasi dan menghalangi akses publik terhadap laut, merampas hak-hak dasar masyarakat untuk memanfaatkan sumber daya laut yang merupakan bagian dari kekayaan alam negara. Hal ini merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip keadilan dan kesetaraan akses terhadap sumber daya alam.
-
Kerugian Bagi Nelayan Tradisional: Ribuan nelayan tradisional di wilayah tersebut terdampak langsung dari pembangunan pagar ini. Aktivitas penangkapan ikan mereka terhambat, bahkan terhenti sama sekali, mengancam mata pencaharian dan kesejahteraan mereka. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa sekitar 3.888 nelayan dan 500-an penangkar kerang terdampak secara signifikan. Hal ini menimbulkan kerugian ekonomi yang besar dan berpotensi memicu konflik sosial.
-
Pelanggaran Peraturan Perundang-undangan: Pembangunan pagar laut tersebut dilakukan tanpa izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Ketiadaan izin ini menunjukkan adanya pelanggaran hukum yang serius dan perlu ditindak tegas oleh aparat penegak hukum. Proses pembangunan yang dilakukan tanpa mengindahkan prosedur perizinan yang berlaku mengindikasikan adanya upaya untuk menghindari pengawasan dan pertanggungjawaban hukum.
-
Potensi Kerusakan Lingkungan: Meskipun Jaringan Rakyat Pantura (JRP) mengklaim pembangunan pagar tersebut bertujuan untuk mencegah abrasi, klaim ini masih perlu diverifikasi dan dikaji secara mendalam oleh pihak berwenang. Belum ada bukti ilmiah yang kuat yang mendukung klaim tersebut, dan bahkan ada potensi kerusakan lingkungan yang lebih besar akibat pembangunan pagar tersebut. Penggunaan material bambu dalam jumlah besar juga menimbulkan pertanyaan tentang dampak lingkungan jangka panjangnya.
Pemerintah Kabupaten Tangerang telah merespon pembangunan pagar ini dengan menyegel pagar tersebut. Langkah ini menunjukkan adanya pengakuan atas pelanggaran yang terjadi. Namun, penyegelan saja tidak cukup untuk menyelesaikan masalah yang kompleks ini. LBHAP PP Muhammadiyah menilai perlu adanya penegakan hukum yang tegas untuk memberikan efek jera dan mencegah kejadian serupa di masa mendatang.
Kasus ini menyoroti pentingnya pengawasan dan penegakan hukum dalam pengelolaan ruang laut di Indonesia. Pembangunan infrastruktur di wilayah pesisir harus dilakukan dengan memperhatikan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi, serta senantiasa mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketiadaan transparansi dan akuntabilitas dalam proses pembangunan infrastruktur di wilayah pesisir dapat menimbulkan konflik dan kerugian yang signifikan bagi masyarakat.
Pelaporan ke Mabes Polri oleh LBHAP PP Muhammadiyah diharapkan dapat mengungkap pihak-pihak yang bertanggung jawab atas pembangunan pagar laut tersebut, serta menuntut pertanggungjawaban hukum atas kerugian yang ditimbulkan. Kasus ini juga menjadi momentum untuk memperkuat pengawasan dan penegakan hukum dalam pengelolaan ruang laut, demi melindungi hak-hak masyarakat dan kelestarian lingkungan. Proses hukum yang transparan dan adil diharapkan dapat memberikan keadilan bagi nelayan dan masyarakat yang terdampak, serta mencegah terulangnya kejadian serupa di masa mendatang. Publik menantikan perkembangan selanjutnya dari laporan yang akan diajukan LBHAP PP Muhammadiyah ke Mabes Polri dan berharap agar kasus ini dapat diselesaikan secara tuntas dan berkeadilan. Perlindungan terhadap hak-hak nelayan dan akses publik terhadap laut merupakan hal yang krusial dan tidak dapat dikompromikan. Semoga penegak hukum dapat bertindak tegas dan profesional dalam menangani kasus ini.