Nahdlatul Ulama (NU), di usia 102 tahun, menghadapi tantangan yang jauh lebih kompleks dibandingkan masa-masa sebelumnya. Perkembangan zaman, khususnya era digital, telah menghadirkan dinamika baru yang signifikan. Jika sebelumnya relasi NU difokuskan pada interaksi dengan negara (NU vis-à-vis Negara), seperti yang diulas Andre-C. Feillard dalam karyanya, kini dimensi baru muncul: NU vis-à-vis netizen, atau warga internet. Kompleksitas ini menuntut adaptasi dan strategi moderasi yang cermat dari organisasi keagamaan terbesar di Indonesia ini.
NU dan Negara: Sebuah Dialog Dinamis Sepanjang Sejarah
Hubungan NU dengan negara telah mengalami pasang surut sepanjang sejarah. Dari masa pra-kemerdekaan hingga era reformasi, melewati Orde Lama dan Orde Baru, serta enam kepemimpinan presiden yang berbeda, interaksi ini selalu diwarnai dinamika yang dipengaruhi oleh kebijakan negara terhadap NU dan respons NU terhadap kebijakan tersebut. Dinamika ini, pada dasarnya, merupakan hal yang wajar dalam interaksi sosial antara dua entitas yang berbeda, namun dengan konteks dan kepentingan yang saling berkaitan.
Perluasan akses internet dan media sosial di Indonesia, sebagaimana data "We Are Social" tahun 2024 yang mencatat 185,3 juta pengguna internet dan 139 juta pengguna media sosial, telah mengubah lanskap interaksi ini secara fundamental. NU, sebagai organisasi publik, kini menjadi objek yang terpapar luas di ranah digital, dibaca dan dinilai oleh siapa pun tanpa batas geografis. Strategi komunikasi dan relasi yang konvensional, yang efektif dalam interaksi dengan negara, tidak lagi cukup memadai dalam berinteraksi dengan netizen. Menavigasi "lautan netizen" ini membutuhkan kejelian, strategi, dan pemahaman yang mendalam terhadap dinamika digital.
NU dan Negara: Model Dialog yang Moderat
Diskusi mengenai hubungan NU dan negara selalu relevan, mengingat peran dan pengaruh NU sebagai organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan terbesar di Indonesia. Pandangan dan sikap NU secara signifikan memengaruhi dinamika politik dan kenegaraan. Era reformasi 1998, dengan sistem demokrasi yang dianut, telah mengubah format ideal relasi ini. Berbeda dengan era Orde Baru yang otoriter selama 32 tahun, demokrasi menuntut ruang dialog yang lebih terbuka dan kritis antara masyarakat sipil dan negara.
Kerangka relasi negara versus masyarakat sipil yang diusulkan Simone Chambers dan Jeffrey Kopstein (2008) dalam The Oxford Handbook of Political Theory menawarkan enam skema: pemisahan, konfrontasi, dukungan, dialog, kemitraan, dan eksklusi. Dalam konteks NU dan negara, skema "masyarakat sipil dalam dialog dengan negara" (civil society in dialogue with the state) merupakan pendekatan yang paling moderat dan relevan. Gagasan NU yang berkonfrontasi dengan negara, dalam konteks demokrasi saat ini, terlihat kurang realistis dan bahkan kontraproduktif.
Demokrasi meniscayakan ruang publik yang dinamis, di mana masyarakat sipil berperan sebagai penyeimbang penting. Mengutip Habermas, Chambers dan Kopstein menekankan bahwa kebebasan berpendapat dan berserikat saja tidak cukup; tanggung jawab masyarakat sipil untuk menjaga ruang publik yang sehat dan konstruktif juga krusial. NU, sebagai representasi signifikan masyarakat sipil, memiliki peran vital dalam membangun dialog yang konstruktif dengan negara. Posisi NU adalah rekat, namun tidak lekat; NU menjadi jembatan aspirasi masyarakat, memberikan masukan dan koreksi kebijakan negara, tanpa kehilangan identitas dan independensi sebagai entitas yang berbeda dari negara.
Kolaborasi NU dengan negara, khususnya dalam pemberdayaan masyarakat, menunjukkan peran penting NU sebagai supporting system pemerintah dalam membangun masyarakat dari akar rumput. Kerja sama ini berorientasi pada kemaslahatan bersama dan menunjukkan komitmen NU terhadap pembangunan nasional.
NU dan Netizen: Menavigasi Ruang Publik Digital
Arena digital menghadirkan tantangan baru bagi NU. Meskipun NU dan jamaahnya telah menunjukkan adaptasi yang cukup baik dengan memanfaatkan platform digital untuk komunikasi dan dakwah, percakapan publik mengenai NU di ranah digital menuntut pendekatan yang berbeda. Respons cepat dan luas publik terhadap pandangan, sikap, dan tindakan NU – termasuk tokoh-tokoh yang berafiliasi dengan NU – seringkali memicu perdebatan dan bahkan polemik.
Terminologi internal NU, seperti "sami’na wa atha’na" (kami mendengar dan kami patuh), tidak selalu berlaku dalam konteks percakapan netizen yang lebih bebas dan beragam. Norma-norma etika digital, termasuk Fatwa MUI No. 24 Tahun 2017 tentang etika bermedia sosial, menjadi penting untuk dipedomani. Mencari aktor "invisible hand" di balik narasi negatif terhadap NU di media sosial kurang relevan, karena banyak komentar publik muncul dari persepsi umum atau common sense, bukan selalu dari pihak yang secara sengaja ingin menjatuhkan NU.
Dalam konteks ini, moderasi menjadi kunci. Sikap tengah (i’tidal), objektif, dan berorientasi pada common good dalam merespons isu publik di ranah digital sangat penting untuk menghindari polemik yang tidak perlu. Spirit "Resolusi Jihad" Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, yang menekankan pada perjuangan mempertahankan agama dan kedaulatan NKRI, dapat menjadi pedoman dalam berinteraksi di ruang digital. Moderasi ini bukan sekadar strategi komunikasi, melainkan juga refleksi dari komitmen NU terhadap nilai-nilai Islam yang rahmatan lil-‘alamin dan perjuangan untuk maslahat Indonesia. Selamat Harlah ke-102 NU, semoga NU terus berperan sebagai pilar moderasi dan pembangunan bangsa.