Penggunaan batu nisan sebagai penanda makam telah menjadi praktik umum dalam tradisi pemakaman di Indonesia, termasuk di kalangan masyarakat Muslim. Lebih dari sekadar penanda lokasi, nisan kerap dianggap sebagai bentuk penghormatan terakhir bagi yang telah meninggal dunia. Inskripsi yang terukir di atasnya, umumnya memuat nama lengkap almarhum/almarhumah, silsilah keluarga (nasab), tanggal dan tempat lahir, serta tanggal dan tempat wafat, berfungsi sebagai identitas yang memudahkan keluarga dan kerabat dalam mengenali makam. Namun, di balik praktik yang sudah berlangsung turun-temurun ini, terdapat perdebatan fikih yang perlu dipahami terkait hukum pemasangan dan model batu nisan dalam konteks Islam.
Perbedaan Pendapat Ulama Mengenai Hukum Batu Nisan
Hukum pemasangan batu nisan dalam Islam menjadi salah satu isu yang diperdebatkan oleh para ulama. Perbedaan pendapat ini terutama muncul dalam penafsiran hadits dan konteks praktik keagamaan. Kitab Fiqhul Islam wa Adillatuhu Juz 2 karya Wahbah Az-Zuhaili, misalnya, mencatat perbedaan pandangan antara mazhab Maliki, Hanafi, dan Hambali.
Mazhab Maliki, dalam pandangannya yang lebih konservatif, menyatakan bahwa memasang batu nisan hukumnya makruh, bahkan tindakan sekadar menulis nama jenazah di atas kuburan pun dilarang. Dasar hukumnya merujuk pada hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Muslim: "Rasulullah SAW melarang mengecat, menulis, atau membangun di atas kuburan." Larangan ini, menurut mazhab Maliki, mencakup segala bentuk penambahan atau modifikasi pada kuburan yang dapat dianggap sebagai bentuk berlebihan atau penghormatan yang melampaui batas. Lebih jauh, mazhab ini juga melarang penulisan ayat Al-Qur’an di atas nisan untuk menjaga kehormatan ayat suci dan menghindari niat riya’ (pamer).
Sebaliknya, mazhab Hanafi dan Hambali memiliki pandangan yang lebih permisif. Kedua mazhab ini memperbolehkan penggunaan batu nisan dan penulisan nama di atasnya, terutama dengan tujuan praktis, yaitu untuk menjaga agar lokasi kuburan tidak hilang dan memudahkan pengenalan. Argumentasi mereka bersandar pada hadits Rasulullah SAW yang menandai kuburan Utsman bin Madz’un dengan sebuah batu. Dalam riwayat tersebut, Rasulullah SAW bersabda: "Aku memberi tanda pada kuburan saudaraku dan aku akan menguburkan bersamanya orang yang meninggal dari keluargaku." Hadits ini diinterpretasikan sebagai indikasi bahwa memberi tanda pada kuburan untuk tujuan praktis, seperti mempermudah identifikasi lokasi, bukan hanya diperbolehkan, tetapi bahkan dianjurkan. As-Syarbini Al-Iqna pada Hamisy Tuhfatul Habib alal Khatib, sebagaimana dikutip oleh NU Online, menjelaskan lebih lanjut tentang hal ini, menekankan aspek praktis penandaan kuburan sebagai alasan pembolehan. (Catatan: Teks Arab yang diberikan dalam sumber asli tidak dapat diterjemahkan secara langsung karena kualitasnya yang buruk dan tidak terbaca).
Interpretasi dan Konteks Praktis
Perbedaan pendapat ini menunjukkan kerumitan dalam memahami hukum fikih terkait batu nisan. Perbedaan interpretasi terhadap hadits dan penekanan pada aspek-aspek tertentu—baik aspek kehati-hatian (mazhab Maliki) maupun aspek kemudahan dan kepraktisan (mazhab Hanafi dan Hambali)—menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Penting untuk dipahami bahwa kedua pandangan ini sama-sama berakar pada ajaran Islam dan tidak ada yang secara mutlak salah.
Dalam praktiknya, di Indonesia, penggunaan batu nisan telah menjadi bagian integral dari tradisi pemakaman Muslim. Model batu nisan pun beragam, mencerminkan kekayaan budaya lokal dan pengaruh Islam. Bentuk-bentuk yang umum ditemukan antara lain bentuk pipih, kerucut tegak, dan persegi tegak. Bahan yang digunakan pun bervariasi, mulai dari batu alam hingga kayu, umumnya dengan desain yang sederhana dan tidak berlebihan, sesuai dengan ajaran Islam yang menekankan kesederhanaan dan menghindari sikap berlebihan dalam hal duniawi.
Model Batu Nisan dan Unsur Budaya Lokal
Menariknya, batu nisan di Indonesia seringkali menampilkan perpaduan antara unsur budaya lokal dan pengaruh Islam. Seperti yang dijelaskan dalam buku Explore Sejarah Indonesia Jilid 1 untuk SMA/MA Kelas X oleh Abdurakhman dan Arif Pradono, nisan bukan hanya sekadar batu, melainkan penanda yang sarat makna. Penggunaan huruf Jawa Kuno dan huruf Arab pada ukiran nisan menjadi contoh nyata perpaduan tersebut. Hal ini menunjukkan bagaimana tradisi pemakaman Muslim di Indonesia telah beradaptasi dan berintegrasi dengan budaya lokal, menghasilkan bentuk ekspresi yang unik.
Hukum Ukiran dan Dekorasi pada Batu Nisan
Hukum mengukir nama dan informasi lain pada batu nisan juga menjadi pertimbangan penting. Seperti yang dijelaskan dalam Fiqhul Islam wa Adillatuhu Juz 2, mazhab Maliki memperbolehkan ukiran asalkan tujuannya semata-mata sebagai penanda lokasi makam agar mudah dikenali. Namun, jika ukiran tersebut dimaksudkan untuk pamer atau berbangga diri, maka hal itu tidak diperbolehkan. Hal ini menekankan pentingnya niat dan tujuan di balik tindakan tersebut.
Lebih lanjut, kitab tersebut juga menyinggung larangan membuat kuburan yang menyerupai kebiasaan kaum kafir (tasyabbuh). Oleh karena itu, model batu nisan yang mengandung unsur-unsur yang dianggap meniru tradisi pemakaman non-Islam juga perlu dihindari.
Kesimpulan: Mencari Keseimbangan Antara Tradisi dan Hukum
Perdebatan mengenai hukum batu nisan dalam Islam menunjukkan kompleksitas dalam mengaplikasikan ajaran agama dalam konteks budaya dan praktik sosial. Tidak ada satu kesimpulan tunggal yang dapat diterima secara universal. Namun, pemahaman yang komprehensif terhadap perbedaan pendapat ulama, konteks budaya lokal, dan niat di balik tindakan tersebut menjadi kunci dalam menentukan model dan praktik pemakaman yang sesuai dengan ajaran Islam. Penting bagi umat Muslim untuk senantiasa berpegang pada prinsip kesederhanaan, menghindari sikap berlebihan, dan menjaga kehormatan ajaran agama dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam tradisi pemakaman. Pada akhirnya, Wallahu a’lam (hanya Allah yang Maha Mengetahui) merupakan pernyataan yang tepat untuk mengakhiri diskusi ini, mengingat kerumitan dan perbedaan interpretasi yang ada. Umat Islam dianjurkan untuk selalu bermusyawarah dengan ulama dan tokoh agama yang terpercaya untuk mendapatkan panduan yang sesuai dengan konteks dan situasi masing-masing.