Garam, bumbu dapur serbaguna yang hampir selalu hadir dalam setiap masakan, tak hanya sekadar penyedap rasa. Praktik mencicipi garam sebelum menyantap hidangan utama, yang oleh sebagian kalangan diyakini sebagai sunnah Rasulullah SAW, menimbulkan perdebatan panjang antara kepercayaan tradisional dan validitas hadis. Artikel ini akan mengupas tuntas klaim tersebut, menelaah berbagai sumber hadis, pendapat ulama, dan perspektif sains mengenai manfaat garam bagi kesehatan.
Klaim Anjuran Mencicipi Garam: Sebuah Telaah Hadis
Beredar luas anggapan bahwa mencicipi garam sebelum makan merupakan adab makan yang dianjurkan Rasulullah SAW. Klaim ini seringkali dikaitkan dengan buku-buku rujukan keagamaan, salah satunya karya Imam Al-Ghazali, "Makan Minum dan Memuliakan Tamu". Buku tersebut memang menjabarkan adab makan Rasulullah SAW, termasuk membaca basmalah sebelum makan dan alhamdulillah setelahnya, makan dengan tangan kanan, serta mengawali dan mengakhiri makan dengan garam. Namun, perlu ditekankan bahwa penggunaan garam sebagai "pembuka" dan "penutup" makan dalam konteks ini tidak secara eksplisit menyebutkan mengenai mencicipi garam sebelum makan. Perlu dibedakan antara penggunaan garam sebagai bumbu penyedap dalam hidangan dan praktik mencicipi garam secara terpisah sebelum makan.
Lebih lanjut, penelitian mendalam terhadap hadis-hadis yang berkaitan dengan garam menunjukkan adanya perbedaan interpretasi dan tingkat keabsahan. Mustafar Mohd Suki dalam karyanya, "40 Kisah Palsu Tetapi Masyhur", menetapkan hadis yang menyebutkan anjuran mencicipi garam sebelum makan sebagai hadis palsu atau lemah (dha’if). Hadis tersebut, yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad bin Amir dan ayahnya – yang dikenal sebagai perawi hadis batil dari Ahlul Bait – berbunyi, "Wahai Ali, hendaklah kamu (makan) garam, sesungguhnya ia adalah penawar dari 70 jenis penyakit. Penyakit yang paling ringan (yang akan diobati) adalah kusta, sopak dan gila." Imam Ibnu Al Jauzi dalam "Al-Maudhu’at", Imam Az Zahabi dalam "Talkhis Al Madhu’at", dan Imam As Syaukani dalam "Al Fawaid al-Majmu’ah" juga mencantumkan hadis ini sebagai hadis palsu.
Meskipun hadis tersebut lemah, beberapa hadis lain menyebutkan peran penting garam dalam kehidupan sehari-hari, namun tidak secara langsung mengaitkannya dengan praktik mencicipi garam sebelum makan. Ibnu Majah dalam Sunan-nya meriwayatkan hadis marfu’ dari Anas RA yang menyatakan, "Tuan lauk kalian adalah garam." (HR Ibnu Majah). Hadis ini lebih menekankan peran garam sebagai penyedap dan penambah cita rasa makanan, bukan sebagai ritual sebelum makan. Hadis lain dalam Musnad Al-Bazzar menyebutkan, "Kalian di antara manusia nyaris seperti garam dalam makanan, makanan tidak baik kecuali dengan garam." (HR Al Haitsami). Pernyataan ini juga lebih mengarah pada pentingnya garam sebagai bumbu masakan, bukan sebagai anjuran konsumsi sebelum makan. Al-Baghawi dalam tafsirnya meriwayatkan hadis marfu’ dari Abdullah bin Umar yang menyebutkan bahwa Allah menurunkan empat berkah dari langit ke bumi: besi, api, air, dan garam. Namun, hadis ini dikategorikan sebagai hadis mauquf, yang artinya hanya sampai pada perkataan sahabat, bukan langsung dari Rasulullah SAW.
Manfaat Garam: Perspektif Kedokteran dan Tradisi
Meskipun hadis yang mendukung praktik mencicipi garam sebelum makan lemah, manfaat garam bagi kesehatan telah diakui sejak zaman dahulu. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Ibnu Sina, dan pakar pengobatan tradisional lainnya telah mencatat khasiat garam dalam pengobatan berbagai penyakit. Buku "Halal-Haram Ruqyah: Tuntunan Syariah Mengatasi Sihir, Gangguan Jin dan Berbagai Penyakit Rohani dan Jasmani" karya Musdar Bustamam menjelaskan penggunaan garam sebagai penawar racun. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah dalam "Ath Thibb An-Nabawi" menyebutkan fungsi garam dalam menetralkan racun. Ibnu Sina juga berpendapat bahwa garam dapat menetralkan racun sengatan kalajengking.
Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ath-Thabrani menceritakan Rasulullah SAW yang digigit kalajengking saat salat. Beliau kemudian meminta air dan garam, lalu mengoleskannya sambil membaca surah Al-Kafirun, Al-Falaq, dan An-Nas. Hadis ini menunjukkan penggunaan garam sebagai bagian dari pengobatan tradisional, dimana garam dianggap dapat menetralisir racun yang bersifat panas dengan sifatnya yang dingin.
Dari perspektif sains modern, garam (natrium klorida) memang memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan cairan tubuh, menjalankan fungsi saraf dan otot, dan mengatur tekanan darah. Namun, konsumsi garam yang berlebihan dapat berdampak negatif bagi kesehatan, seperti hipertensi, penyakit jantung, dan stroke. Oleh karena itu, mengonsumsi garam secara bijak dan sesuai anjuran kesehatan sangat penting.
Kesimpulan:
Kesimpulannya, tidak ada bukti kuat dari hadis shahih yang mendukung praktik mencicipi garam sebelum makan sebagai sunnah Rasulullah SAW. Hadis-hadis yang menyebutkan garam lebih menekankan peran pentingnya sebagai bumbu masakan dan dalam pengobatan tradisional. Meskipun garam memiliki manfaat kesehatan, konsumsinya harus tetap seimbang dan sesuai anjuran medis. Penting untuk membedakan antara penggunaan garam sebagai bumbu dan praktik mencicipi garam secara terpisah sebelum makan, serta memahami perbedaan antara hadis shahih, hasan, dan dha’if dalam memahami ajaran agama. Lebih bijak untuk berpegang pada hadis-hadis shahih dan mengacu pada pengetahuan medis terkini dalam menjaga kesehatan. Praktik mencicipi garam sebelum makan lebih tepat diinterpretasikan sebagai tradisi lokal atau kepercayaan turun-temurun, bukan sebagai ajaran agama yang sahih. Oleh karena itu, perlu kehati-hatian dalam menerima dan menyebarkan informasi keagamaan tanpa validasi yang memadai dari sumber terpercaya.