Sunan Bonang, salah satu dari Wali Songo yang berjasa besar dalam penyebaran agama Islam di Jawa, wafat pada tahun 1525 Masehi. Namun, hingga kini, lokasi pasti peristirahatan terakhirnya masih menjadi misteri yang membingungkan para sejarawan dan peneliti. Ketiadaan bukti-bukti arkeologis dan historis yang kuat menyebabkan munculnya beberapa versi lokasi makam, yang sebagian besar bersumber dari cerita lisan turun-temurun di masyarakat. Setidaknya empat lokasi diklaim sebagai tempat peristirahatan terakhir Sunan Bonang: Tuban, Lasem (Rembang), Tambak Kramat (Pulau Bawean), dan Singkal (Kediri).
Dari keempat lokasi tersebut, kompleks pemakaman di Tuban paling dikenal luas dan menjadi tujuan utama ziarah para peziarah. Namun, klaim ini tidak serta-merta menghapus misteri yang menyelimuti keberadaan makam Sunan Bonang sesungguhnya. Di Singkal, Kediri, misalnya, terdapat petilasan Sunan Bonang yang menandakan beliau pernah berdakwah di wilayah tersebut. Keberadaan petilasan ini, meskipun tidak secara langsung menunjukkan lokasi makam, tetap memperkuat narasi tentang pergerakan dan pengaruh Sunan Bonang di berbagai wilayah Jawa.
Perdebatan mengenai lokasi makam Sunan Bonang semakin rumit karena adanya narasi yang saling bertentangan. Rizem Aizid, dalam bukunya "Jagat Batin Sunan Bonang: Biografi, Peranan, Laku Spiritual, dan Ajarannya," mencatat bahwa lokasi makam di Tuban merupakan versi yang paling mendekati kebenaran berdasarkan berbagai sumber sejarah dan cerita rakyat. Namun, narasi ini pun tidak lepas dari kisah-kisah dramatis yang memperkuat aura mistis di sekitar sosok Sunan Bonang.
Kisah tersebut menceritakan perebutan lokasi pemakaman Sunan Bonang oleh para muridnya dari berbagai daerah. Murid-murid dari Tuban menginginkan Sunan Bonang dimakamkan di tanah kelahirannya. Sementara itu, murid-murid dari Bawean, tempat Sunan Bonang wafat, bersikukuh agar beliau dimakamkan di pulau tersebut. Perselisihan ini semakin meruncing dengan munculnya keinginan dari murid-murid asal Madura dan Surabaya yang menginginkan Sunan Bonang dimakamkan di kompleks pemakaman Sunan Ampel di Surabaya.
Alasan murid-murid Bawean cukup beralasan. Mengangkut jenazah Sunan Bonang ke Tuban atau Surabaya membutuhkan waktu yang cukup lama, terutama karena harus menyeberangi laut. Perdebatan tidak hanya berhenti pada lokasi pemakaman, tetapi juga meluas hingga pada kain kafan. Murid-murid dari Madura dan Surabaya, yang datang terlambat, membawa kain kafan sendiri meskipun jenazah sudah dikafani oleh murid-murid dari Bawean. Mereka tetap memaksakan kehendak mereka dengan membungkus jenazah dengan kain kafan yang mereka bawa.
Dalam sebuah peristiwa yang sarat dengan nuansa mistis, murid-murid dari Madura dan Surabaya menggunakan ilmu sirep—ilmu yang dapat membuat orang tertidur lelap—untuk membawa jenazah Sunan Bonang ke Surabaya. Namun, dalam perjalanan, satu lembar kain kafan tertinggal. Saat kapal mereka melewati perairan Tuban, terjadi peristiwa aneh: kapal tersebut tiba-tiba berhenti dan tidak dapat bergerak. Peristiwa ini dianggap sebagai pertanda, dan akhirnya jenazah Sunan Bonang dimakamkan di Tuban.
Yang lebih mengejutkan, di Bawean, kain kafan yang tertinggal tersebut ditemukan bersama sebuah jenazah. Para santri Bawean kemudian memakamkan jenazah tersebut dengan penuh penghormatan. Kejadian ini semakin memperkuat misteri seputar lokasi makam Sunan Bonang, dan menimbulkan pertanyaan apakah terdapat dua makam Sunan Bonang atau hanya satu.
Meskipun terdapat dua lokasi makam yang diyakini berdasarkan cerita tutur, makam di Tuban umumnya dianggap sebagai makam asli Sunan Bonang. Namun, cerita-cerita di atas menunjukkan betapa kompleks dan rumitnya upaya untuk mengungkap kebenaran sejarah, terutama ketika sumber-sumber sejarah tertulis terbatas dan sebagian besar informasi bersumber dari tradisi lisan yang rentan terhadap interpretasi dan perubahan seiring berjalannya waktu.
Kurangnya bukti arkeologis yang kuat untuk mendukung klaim lokasi makam di Tuban, Lasem, Bawean, atau Singkal, semakin memperkuat misteri ini. Penelitian lebih lanjut, baik dari segi arkeologi, sejarah lisan, maupun studi literatur, sangat diperlukan untuk mengungkap kebenaran di balik misteri lokasi makam Sunan Bonang. Penggunaan metode ilmiah yang teliti dan komprehensif, serta kolaborasi antar berbagai disiplin ilmu, akan sangat membantu dalam mengurai benang kusut sejarah ini.
Selain itu, penting untuk memahami konteks sosial dan budaya di balik cerita-cerita rakyat yang terkait dengan Sunan Bonang. Cerita-cerita tersebut tidak hanya sekadar narasi sejarah, tetapi juga mengandung nilai-nilai religius, moral, dan sosial yang diwariskan secara turun-temurun. Dengan memahami konteks ini, kita dapat lebih memahami mengapa terdapat beberapa versi lokasi makam Sunan Bonang dan bagaimana cerita-cerita tersebut berperan dalam membentuk identitas dan keyakinan masyarakat.
Kesimpulannya, misteri lokasi makam Sunan Bonang tetap menjadi tantangan bagi para sejarawan dan peneliti. Meskipun makam di Tuban lebih populer dan dianggap sebagai makam asli, keberadaan cerita-cerita alternatif di Bawean, Lasem, dan Singkal menunjukkan kompleksitas sejarah dan pentingnya penelitian lebih lanjut untuk mengungkap kebenaran yang sesungguhnya. Ketiadaan bukti arkeologis yang meyakinkan dan dominasi cerita lisan yang rentan terhadap interpretasi membuat misteri ini tetap menjadi teka-teki yang menarik untuk dikaji lebih mendalam. Penelitian yang lebih komprehensif dan multidisiplin sangat dibutuhkan untuk mengungkap tabir misteri makam Sunan Bonang dan memberikan pemahaman yang lebih akurat tentang sejarah penyebaran Islam di Jawa.