Sunan Bonang, Raden Maulana Makdum Ibrahim, salah satu Wali Songo yang berjasa besar dalam penyebaran Islam di Jawa, hingga kini meninggalkan teka-teki besar: di mana letak makamnya yang sebenarnya? Meskipun kiprahnya dalam menyebarkan ajaran Islam dengan pendekatan kultural yang unik—mengabungkan syariat dengan kearifan lokal Jawa—telah terukir dengan tinta emas dalam sejarah Nusantara, lokasi peristirahatannya terakhir masih menjadi perdebatan sengit yang membelah keyakinan masyarakat hingga saat ini.
Lahir pada tahun 1465 Masehi dan wafat sekitar tahun 1525 Masehi pada usia sekitar 60 tahun, putra Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila (putri Arya Teja, Bupati Tuban) ini meninggalkan warisan spiritual yang tak ternilai. Namun, jejak fisik terakhirnya—makamnya—ternyata jauh lebih sulit dilacak daripada jejak dakwahnya. Dua lokasi utama menjadi pusat perdebatan: Tuban dan Pulau Bawean. Ketiadaan bukti arkeologis atau dokumen sejarah yang sahih semakin memperkeruh suasana, menjadikan kisah lokasi makam Sunan Bonang sebagai misteri yang membingungkan, yang hanya bersandar pada transmisi lisan turun-temurun dan interpretasi beragam sumber sejarah yang seringkali saling bertentangan.
Klaim Tuban sebagai lokasi makam Sunan Bonang didasarkan pada beberapa argumen. Tuban merupakan tempat kelahiran dan pusat dakwah Sunan Bonang. Keterikatan emosional dan historis yang kuat antara Sunan Bonang dengan Tuban menjadi landasan kuat bagi keyakinan ini. Hingga kini, banyak peziarah yang berbondong-bondong mengunjungi lokasi yang diyakini sebagai makam Sunan Bonang di Tuban, menunjukkan kuatnya kepercayaan masyarakat terhadap klaim ini. Mereka datang bukan hanya dari Jawa Timur, tetapi juga dari berbagai penjuru Nusantara, bahkan mancanegara, untuk berziarah dan mendoakan salah satu tokoh penting dalam sejarah Islam di Indonesia.
Di sisi lain, Pulau Bawean juga mengklaim sebagai tempat peristirahatan terakhir Sunan Bonang. Narasi yang berkembang menyebutkan bahwa Sunan Bonang wafat di Pulau Bawean. Cerita rakyat setempat bahkan mewarnai kisah ini dengan nuansa magis dan mistis. Salah satu versi cerita yang populer menceritakan perdebatan sengit antara para santri Sunan Bonang dari Tuban dan Bawean mengenai lokasi pemakaman. Santri Tuban, dengan alasan kuatnya ikatan Sunan Bonang dengan Tuban, menginginkan jenazah beliau dimakamkan di kota kelahirannya. Sebaliknya, santri Bawean bersikukuh bahwa Sunan Bonang harus dimakamkan di tempat wafatnya, yaitu Pulau Bawean.
Kebuntuan perdebatan ini kemudian memunculkan sebuah kisah yang kental dengan unsur mistis. Konon, santri Tuban diam-diam mengambil jenazah Sunan Bonang di tengah malam dengan bantuan mantra untuk membuat santri Bawean tertidur lelap. Ironisnya, yang berhasil mereka bawa hanyalah kain kafan Sunan Bonang. Akibatnya, kedua kelompok santri tersebut sama-sama mengklaim telah memakamkan Sunan Bonang di tempat masing-masing, memperkuat dualisme klaim lokasi makam hingga saat ini. Kisah ini, meskipun sarat dengan unsur legenda, menunjukkan betapa kuatnya keyakinan masing-masing pihak dan betapa rumitnya mengurai benang kusut sejarah di balik misteri ini.
Lebih jauh lagi, beberapa sumber bahkan menyebutkan empat lokasi yang diyakini sebagai makam Sunan Bonang. Ketidakpastian ini semakin mengaburkan jejak sejarah dan memperumit upaya untuk mengungkap kebenaran di balik misteri lokasi makam Sunan Bonang. Kurangnya dokumentasi sejarah yang memadai dan ketergantungan pada cerita lisan membuat penetapan lokasi makam yang pasti menjadi tantangan yang sangat besar.
Tradisi berziarah ke makam Sunan Bonang, baik di Tuban maupun di lokasi lain yang diyakini sebagai makam beliau, telah berlangsung selama berabad-abad. Pada awalnya, kunjungan peziarah cenderung terpusat pada bulan-bulan tertentu yang dianggap sakral dalam kalender Islam, seperti Muharram, Rabiul Awal, Rajab, Syawal, dan Zulkaidah. Namun, seiring berjalannya waktu, tradisi berziarah ini semakin meluas dan tidak lagi terbatas pada bulan-bulan tersebut. Hampir setiap bulan, rombongan peziarah datang untuk menghormati dan mengenang jasa-jasa Sunan Bonang dalam menyebarkan agama Islam di Jawa. Ziarah ke makam Sunan Bonang seringkali dipadukan dengan kunjungan ke makam Wali Songo lainnya, sebagai bentuk penghormatan dan pembelajaran nilai-nilai spiritual yang diajarkan oleh para wali.
Keberadaan dua—bahkan empat—lokasi yang diklaim sebagai makam Sunan Bonang menunjukkan kompleksitas sejarah dan budaya yang melingkupi sosok ini. Misteri ini bukan hanya sekadar perdebatan geografis, tetapi juga mencerminkan kekayaan interpretasi dan transmisi sejarah lisan dalam masyarakat Jawa. Ketiadaan bukti arkeologis yang kuat dan ketergantungan pada cerita rakyat membuat misteri ini tetap menjadi perdebatan yang tak kunjung usai.
Untuk mengungkap kebenaran di balik misteri ini, diperlukan penelitian interdisipliner yang lebih komprehensif. Penelitian arkeologis yang sistematis, kajian historiografis yang mendalam, dan analisis antropologis yang cermat sangat diperlukan untuk mengkaji berbagai sumber sejarah, baik tertulis maupun lisan, dengan pendekatan yang kritis dan objektif. Hanya dengan demikian, kita dapat mendekati kebenaran dan memahami secara lebih utuh sejarah dan warisan Sunan Bonang, salah satu tokoh kunci dalam perjalanan Islam di Nusantara. Sampai saat itu tiba, misteri lokasi makam Sunan Bonang akan tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari kisah perjalanan dakwah dan sejarah Islam di Indonesia, sebuah misteri yang menyimpan pesona dan tantangan tersendiri bagi para peneliti dan pecinta sejarah.