Nabi Zakaria AS, sosok teladan kesabaran dan ketakwaan yang mendalam, merupakan tokoh sentral dalam sejarah Bani Israil. Ia dikenal sebagai ayahanda Nabi Yahya AS dan pemimpin yang bijaksana, namun detail mengenai akhir hayatnya masih menjadi perdebatan hingga kini. Dua versi kisah wafatnya beredar luas, mencerminkan kompleksitas riwayat keagamaan dan tantangan dalam menafsirkan sumber-sumber sejarah yang beragam.
Salah satu riwayat, seperti yang dikutip dari buku "Hikmah Kisah Nabi dan Rasul" karya Ridwan Abdullah, menggambarkan Nabi Zakaria AS sebagai seorang yang gigih berdoa memohon keturunan. Keinginan mendalam untuk memiliki anak yang kelak meneruskan kepemimpinannya di tengah Bani Israil mendorongnya bermunajat siang dan malam kepada Allah SWT. Doa dan kesabarannya yang tak kenal lelah akhirnya dijawab dengan kelahiran Nabi Yahya AS, sebuah anugerah yang melampaui harapannya.
Namun, kisah wafatnya Nabi Zakaria AS jauh lebih rumit dan menawarkan interpretasi yang berbeda. Buku "Kisah Para Nabi" karya Ibnu Katsir memaparkan dua versi yang saling kontras, berasal dari riwayat Wahab bin Munabbih. Versi pertama, diwariskan melalui jalur Abdul Mun’in bin Idris bin Sinan, mengungkapkan sebuah kematian yang tragis. Dikisahkan, Nabi Zakaria AS melarikan diri dari kaumnya yang kejam dan berlindung di dalam sebuah pohon. Kaumnya, dengan kekejaman yang tak terukur, mengejar dan menggergaji pohon tersebut hingga tubuh Nabi Zakaria AS terbelah. Riwayat ini menekankan kesabaran luar biasa Nabi Zakaria AS yang tetap teguh menghadapi rasa sakit yang luar biasa, bahkan ketika Allah SWT menawarkan untuk membalikkan bumi sebagai tanda murka atas perlakuan keji kaumnya. Keteguhan hati Nabi Zakaria AS dalam menghadapi kematian yang mengerikan menjadi pelajaran berharga tentang ketabahan dalam menghadapi cobaan hidup.
Namun, versi kedua, yang diriwayatkan oleh Ishaq bin Bisyr melalui jalur Idris bin Sinan dari Wahab bin Munabbih, menawarkan gambaran yang berbeda. Versi ini menyatakan bahwa yang meninggal dengan tubuh terbelah di dalam pohon bukanlah Nabi Zakaria AS, melainkan seorang tokoh lain bernama Sya’ya. Nabi Zakaria AS sendiri, menurut versi ini, wafat secara wajar. Perbedaan mendasar ini menunjukkan betapa pentingnya memahami konteks dan kehati-hatian dalam menafsirkan riwayat-riwayat keagamaan yang terkadang memiliki versi yang berbeda-beda. Ungkapan "Wallahu a’lam" (Allah SWT yang lebih mengetahui) menunjukkan kerendahan hati dan pengakuan akan keterbatasan pengetahuan manusia dalam memahami detail peristiwa masa lalu. Perbedaan interpretasi ini justru menunjukkan kekayaan dan kedalaman tradisi keagamaan, serta mengajak kita untuk terus menelusuri dan memahami berbagai perspektif dalam memahami sejarah.
Di luar misteri kematian Nabi Zakaria AS, warisan ajarannya tetap berpengaruh besar. Wasiat Nabi Zakaria AS, yang disampaikan melalui Nabi Yahya AS kepada Bani Israil, menekankan lima pilar penting dalam kehidupan beragama:
Pertama, Tauhid (Keesaan Allah): Wasiat ini menekankan pentingnya menyembah Allah SWT semata tanpa menyekutukan-Nya dengan apapun. Analogi yang digunakan, yaitu seorang pemilik budak yang merasa dirugikan jika budaknya mengabdi kepada orang lain, menunjukkan betapa pentingnya pengabdian total kepada Allah SWT sebagai pencipta dan pemberi rezeki. Analogi ini membuat ajaran tauhid mudah dipahami dan dihayati oleh semua kalangan.
Kedua, Salat (Sholat): Salat digambarkan sebagai bentuk komunikasi langsung dengan Allah SWT. Selama hamba tetap khusyuk dalam salat, Allah SWT akan selalu menghadap kepadanya. Ajaran ini menekankan pentingnya kekhusyukan dan keikhlasan dalam menjalankan salat sebagai bentuk ibadah yang utama.
Ketiga, Puasa: Puasa diibaratkan sebagai aroma harum yang terpancar dari mulut orang yang berpuasa, lebih harum daripada aroma misik. Analogi ini menunjukkan pahala dan dampak positif puasa bukan hanya bagi diri sendiri, tetapi juga bagi lingkungan sekitar.
Keempat, Sedekah (Zakat/Sadaqah): Sedekah dibandingkan dengan tebusan untuk membebaskan diri dari cengkeraman musuh. Analogi ini menunjukkan betapa sedekah dapat membebaskan diri dari kesulitan dan kesengsaraan, baik duniawi maupun ukhrawi.
Kelima, Zikir (Menyebut Nama Allah): Zikir diibaratkan sebagai benteng yang kokoh yang melindungi dari serangan setan. Analogi ini menunjukkan betapa pentingnya zikir sebagai perisai dari godaan dan bisikan setan.
Wasiat Nabi Zakaria AS ini bukan hanya berlaku pada masa itu, tetapi juga sangat relevan hingga saat ini. Kelima pilar tersebut merupakan pondasi kuat bagi kehidupan beragama yang sehat dan bermakna.
Selain wasiat tersebut, Hadits yang diriwayatkan juga mengungkapkan perintah Nabi Muhammad SAW mengenai lima hal penting lainnya: berjamaah, mendengarkan (nasehat), taat (kepada Allah dan Rasul-Nya), hijrah (berpindah untuk mencari ridho Allah), dan jihad di jalan Allah. Perintah ini menekankan pentingnya kebersamaan, kepatuhan, dan perjuangan dalam menjalankan agama Islam. Konsekuensi dari meninggalkan jamaah dan berdoa dengan doa jahiliyah juga ditegaskan dalam hadits ini, menunjukkan betapa pentingnya ketaatan kepada ajaran agama.
Kesimpulannya, kisah hidup dan wafatnya Nabi Zakaria AS, meski dikelilingi misteri mengenai kematiannya, memberikan pelajaran berharga tentang kesabaran, ketakwaan, dan kegigihan dalam berdoa. Wasiatnya yang abadi menekankan pentingnya tauhid, salat, puasa, sedekah, dan zikir sebagai pilar utama dalam kehidupan beragama. Perintah Nabi Muhammad SAW mengenai berjamaah, mendengarkan, taat, hijrah, dan jihad menambah dimensi lain dalam memahami ajaran Islam yang komprehensif. Riwayat yang berbeda mengenai kematian Nabi Zakaria AS mengajarkan kita untuk tetap rendah hati dan mengakui keterbatasan pengetahuan manusia, serta menghargai keragaman interpretasi dalam memahami sejarah dan ajaran agama.