Jakarta, [Tanggal Publikasi] – Kisah Nabi Sulaiman AS, atau Salomo dalam bahasa Ibrani, yang dikenal sebagai raja yang sangat kaya raya, telah lama memikat imajinasi manusia. Selama berabad-abad, sumber kekayaan luar biasanya menjadi subjek spekulasi dan legenda. Namun, sebuah studi terbaru yang diterbitkan dalam Scientific Reports Nature pada 21 September 2022, menawarkan sekilas wawasan ilmiah mengenai salah satu pilar ekonomi kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah tersebut: industri tembaga Lembah Timna.
Penelitian yang dilakukan oleh tim arkeolog dari Tel Aviv University, dipimpin oleh Mark Cavanagh, seorang arkeolog dan mahasiswa doktoral, mengungkap bukti-bukti meyakinkan tentang skala operasional pertambangan tembaga di Lembah Timna selama masa pemerintahan Raja Daud dan Nabi Sulaiman, yang diperkirakan berlangsung pada akhir abad ke-11 hingga ke-10 SM. Ribuan ton gundukan terak tembaga, sisa-sisa proses peleburan, tersebar di lokasi tersebut, menjadi saksi bisu dari aktivitas pertambangan yang intensif dan skala produksi yang luar biasa pada masa itu.
Lembah Timna, yang terletak di Gurun Negev, Israel, kini terungkap sebagai salah satu situs pertambangan tertua di kawasan tersebut. Namun, studi ini juga mengungkap alasan mengapa aktivitas pertambangan tersebut akhirnya ditinggalkan sekitar 3.000 tahun yang lalu. Menurut temuan para peneliti, seperti yang dikutip oleh Live Science, penipisan sumber daya alam, khususnya kayu bakar yang dibutuhkan dalam proses peleburan tembaga, menjadi faktor utama penghentian operasi pertambangan. Kehabisan kayu untuk menghasilkan arang yang dibutuhkan dalam proses peleburan memaksa penghentian operasi pertambangan sekitar tahun 850 SM, dan wilayah tersebut terbengkalai selama hampir satu milenium.
Temuan ini memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai kompleksitas ekonomi dan logistik yang mendukung kerajaan pada masa itu. Skala operasi pertambangan yang begitu besar menuntut organisasi yang terstruktur dan tenaga kerja yang melimpah. Namun, menariknya, penelitian ini juga memunculkan nuansa yang lebih kompleks mengenai hubungan antara kekayaan tembaga Lembah Timna dan kekayaan Nabi Sulaiman.
Meskipun temuan ini mengkonfirmasi adanya aktivitas pertambangan tembaga yang signifikan pada masa pemerintahan Nabi Sulaiman, para arkeolog menekankan bahwa hal ini tidak secara otomatis berarti bahwa tambang-tambang tersebut secara langsung dimiliki atau dioperasikan oleh kerajaan Nabi Sulaiman. Seperti yang dilaporkan oleh NBC News, bukti-bukti arkeologi justru mengarah pada kesimpulan yang berbeda.
Erez Ben-Yosef, anggota tim arkeolog dari Tel Aviv University, menjelaskan kepada surat kabar Israel Haaretz bahwa kompleksitas dan luasnya situs pertambangan, khususnya di area yang dikenal sebagai "Slaves’ Hill," menunjukkan adanya organisasi sosial dan ekonomi yang sangat terstruktur dan mampu mengerahkan ribuan pekerja di lingkungan yang keras dan terpencil. Struktur ini, menurut Ben-Yosef, lebih mencerminkan organisasi masyarakat yang terorganisir dengan baik, mungkin milik kerajaan saingan, seperti orang Edom, yang dikenal memiliki kekuatan militer yang cukup untuk melindungi tambang-tambang tembaga yang berharga tersebut.
"Itu adalah masyarakat yang mayoritas tinggal di tenda-tenda, tetapi masih memiliki kekuatan militer yang mengesankan, karena diperlukan untuk melindungi tembaga," ujar Ben-Yosef. Pernyataan ini menekankan bahwa pengelolaan tambang tembaga Lembah Timna merupakan usaha yang kompleks dan membutuhkan kekuatan militer yang signifikan untuk mengamankan sumber daya dan melindungi jalur perdagangan. Hal ini menunjukkan adanya persaingan dan perebutan kekuasaan di wilayah tersebut.
Lebih lanjut, para arkeolog juga menyoroti pentingnya membedakan antara realitas sejarah dan legenda yang berkembang seputar kekayaan Nabi Sulaiman. Mereka berpendapat bahwa banyak persepsi mengenai kekayaan bawah tanah yang luar biasa dari kerajaan Nabi Sulaiman lebih banyak dipengaruhi oleh karya fiksi, seperti novel Henry Rider Haggard tahun 1885 yang berjudul King Solomon’s Mines, daripada catatan sejarah atau Alkitab.
"Tambang tembaga di dunia nyata itu jelas merupakan bagian dari Kerajaan Edom—tetapi masih ada kemungkinan Sulaiman pernah menguasai wilayah itu, berdasarkan kekuatan militernya," jelas Ben-Yosef. Pernyataan ini menunjukkan bahwa meskipun bukti arkeologi menunjukkan pengelolaan tambang oleh orang Edom, kemungkinan Nabi Sulaiman pernah menguasai wilayah tersebut dan memanfaatkan kekayaan tembaga tetap terbuka, mengingat kekuatan militer yang dimilikinya.
Studi ini, oleh karena itu, tidak hanya mengungkap aspek-aspek ekonomi kerajaan pada masa Nabi Sulaiman, tetapi juga menyoroti kompleksitas interpretasi data arkeologi dan pentingnya membedakan antara fakta sejarah dan legenda. Meskipun temuan ini tidak secara langsung membuktikan bahwa tambang-tambang tembaga Lembah Timna merupakan sumber utama kekayaan Nabi Sulaiman, studi ini memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pemahaman kita tentang aktivitas ekonomi dan geografi politik pada masa itu. Kekayaan Nabi Sulaiman, seperti yang digambarkan dalam Al-Qur’an dan berbagai sumber lain, mungkin merupakan hasil dari berbagai faktor, termasuk penguasaan wilayah yang luas, kemampuan administrasi yang efektif, dan mungkin juga akses ke sumber daya alam yang melimpah, seperti tembaga dari Lembah Timna.
Studi ini membuka jalan bagi penelitian lebih lanjut untuk mengungkap lebih banyak detail mengenai kehidupan ekonomi dan politik pada masa Nabi Sulaiman dan kerajaan-kerajaan kontemporernya. Analisis lebih lanjut terhadap artefak dan situs-situs arkeologi di Lembah Timna dan sekitarnya diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai jaringan perdagangan, organisasi sosial, dan dinamika kekuasaan yang membentuk lanskap ekonomi pada masa itu. Dengan demikian, misteri kekayaan Nabi Sulaiman tetap menjadi subjek yang menarik dan menantang bagi para sejarawan dan arkeolog untuk dikaji lebih lanjut. Temuan terbaru ini hanyalah sebuah potongan kecil dari teka-teki besar yang masih menunggu untuk dipecahkan.