Jakarta – Gambaran surga dalam Al-Qur’an dan hadits telah memicu perdebatan panjang mengenai bahasa yang digunakan oleh penghuninya. Salah satu klaim yang beredar luas adalah penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa komunikasi di surga. Klaim ini, meskipun populer di kalangan umat Islam, perlu dikaji secara kritis dengan mempertimbangkan berbagai sumber dan perspektif, termasuk hadits, tafsir, dan pandangan para ulama.
Hadits yang diriwayatkan oleh Thabrani, yang menyebutkan kecintaan Nabi Muhammad SAW pada bahasa Arab karena tiga hal – beliau adalah orang Arab, Al-Qur’an berbahasa Arab, dan bahasa Arab adalah bahasa surga – seringkali dijadikan rujukan utama. Hadits ini, meskipun memiliki bobot tertentu, tidak dapat berdiri sendiri sebagai bukti mutlak. Kebenaran dan derajat sanad hadits perlu diteliti secara mendalam oleh para ahli hadits untuk memastikan keaslian dan keabsahannya. Perlu diingat bahwa hadits sendiri memiliki tingkatan sanad yang berbeda-beda, mulai dari hadits sahih hingga hadits dhaif (lemah).
Pendapat lain muncul dari buku "Inilah Surga" karya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dan Ibnu Abi Dunya, yang menukil perkataan Az Zuhri yang menyatakan bahwa bahasa penduduk surga adalah bahasa Arab. Namun, penting untuk dicatat bahwa informasi ini merupakan riwayat, bukan merupakan teks Al-Qur’an atau hadits sahih yang secara eksplisit menyatakan hal tersebut. Oleh karena itu, informasi ini membutuhkan kajian lebih lanjut untuk memverifikasi keakuratan dan kredibilitasnya. Sumber dan metode pengumpulan informasi juga perlu dipertanyakan untuk menilai tingkat kepercayaan informasi tersebut.
Sebaliknya, Ibnu Taimiyah dalam "Majmu Fatawa" menyatakan tidak ada dalil yang jelas dari Al-Qur’an maupun hadits yang secara spesifik menyebutkan bahasa surga dan neraka. Pendapat ini memberikan perspektif yang berbeda dan menunjukkan pentingnya berhati-hati dalam menyimpulkan sesuatu yang tidak secara eksplisit dijelaskan dalam sumber agama. Ketiadaan dalil yang jelas bukanlah bukti penyangkal, tetapi menunjukkan perlunya menghindari klaim yang bersifat spekulatif.
Riwayat dalam Musnad Firdaus ad-Dalimi yang menyebutkan keutamaan bahasa Arab, meskipun sampai pada tingkatan mauquf kepada Umar bin Khattab, juga perlu dikaji secara kritis. Status mauquf menunjukkan bahwa riwayat tersebut hanya sampai pada perkataan Umar bin Khattab tanpa adanya sanad yang jelas menghubungkannya dengan Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu, riwayat ini tidak memiliki kekuatan yang sama dengan hadits marfu’ (yang sampai kepada Nabi SAW).
Anjuran untuk mempelajari bahasa Arab, seperti yang tertuang dalam pernyataan "Pelajarilah Bahasa Arab karena ia adalah separuh dari agamamu," tidak dapat secara langsung diartikan sebagai bukti bahwa bahasa Arab adalah bahasa surga. Anjuran ini lebih menekankan pentingnya bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an dan sebagai sarana untuk memahami ajaran Islam secara lebih mendalam. Pemahaman yang tepat terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits sangat bergantung pada pemahaman bahasa Arab.
Lebih jauh, penelusuran asal-usul bahasa Arab sendiri menghadirkan berbagai teori yang menarik, namun juga kontroversial. Teori yang menyatakan bahasa Arab sebagai bahasa tertua di dunia, yang dituturkan oleh Nabi Adam AS, sangat sulit untuk dibuktikan secara ilmiah. Ketiadaan bukti arkeologis dan linguistik yang kuat membuat teori ini lebih bersifat spekulatif daripada fakta yang terverifikasi.
Teori lain yang menghubungkan bahasa Arab dengan rumpun bahasa Semit, berdasarkan tabel pembagian bangsa-bangsa dalam Perjanjian Lama, juga memiliki kelemahan. Perjanjian Lama, dalam konteks ini, lebih berfokus pada aspek politik dan geografis daripada linguistik. Oleh karena itu, menggunakannya sebagai dasar untuk mengklaim asal-usul bahasa Arab perlu dipertimbangkan secara kritis.
Teori yang lebih diterima secara luas di kalangan sejarawan adalah teori yang menghubungkan bahasa Arab dengan Ya’rub bin Faligh bin Qathan, dengan bahasa nenek moyangnya yang berakar pada bahasa Siryani. Teori ini, meskipun lebih masuk akal secara historis, tetap membutuhkan penelitian lebih lanjut untuk memastikan keakuratannya.
Keutamaan bahasa Arab, seperti yang dijelaskan oleh Muhammad Farih dalam "Khazanah Bahasa Arab," tidak dapat disangkal. Bahasa Arab memang memiliki kosakata yang kaya, peribahasa yang bijak, dan perannya yang penting dalam ekonomi global. Namun, keutamaan-keutamaan ini tidak secara otomatis membuktikan bahwa bahasa Arab adalah bahasa surga.
Status bahasa Arab sebagai bahasa Al-Qur’an merupakan keistimewaan yang tak terbantahkan. Al-Qur’an, sebagai kitab suci umat Islam, diwahyukan dalam bahasa Arab dan keajaibannya tetap terjaga hingga kini. Namun, ini tidak secara otomatis mengimplikasikan bahwa bahasa surga juga bahasa Arab. Al-Qur’an sendiri tidak secara eksplisit menyatakan hal tersebut.
Bahasa Arab juga merupakan bahasa Nabi Muhammad SAW, bahasa yang digunakan beliau dalam menyampaikan wahyu dan berdakwah. Ini menunjukkan kehormatan dan kemuliaan bahasa Arab, tetapi tidak secara otomatis menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa surga.
Kesimpulannya, klaim bahwa bahasa Arab adalah bahasa penduduk surga masih memerlukan kajian lebih lanjut dan bersifat spekulatif. Meskipun terdapat beberapa hadits dan riwayat yang mendukung klaim tersebut, kekurangan dalil yang jelas dari Al-Qur’an dan hadits sahih, serta adanya pendapat ulama yang berbeda, menunjukkan perlunya kehati-hatian dalam menyimpulkan hal ini. Fokus utama seharusnya tetap pada pemahaman dan pengamalan ajaran Islam yang tertuang dalam Al-Qur’an dan hadits sahih, serta menghargai keutamaan bahasa Arab sebagai bahasa wahyu dan sebagai bagian penting dari identitas umat Islam. Penelitian lebih lanjut, baik dari perspektif hadits, tafsir, dan linguistik, diperlukan untuk mengungkap misteri bahasa penduduk surga. Menghindari spekulasi dan berpegang pada dalil yang sahih merupakan pendekatan yang lebih bijak dalam memahami hal ini.