Jakarta – Praktik menyusui, dianjurkan dalam Islam hingga anak berusia dua tahun, seringkali menimbulkan pertanyaan di kalangan ibu menyusui: apakah aktivitas ini membatalkan wudhu? Kecemasan ini berakar pada pentingnya wudhu sebagai syarat sah salat, ibadah fundamental dalam Islam. Artikel ini akan mengupas tuntas isu ini, merujuk pada dalil-dalil Al-Qur’an, hadis, serta pendapat para ulama dari berbagai mazhab, guna memberikan pemahaman yang komprehensif dan akurat.
ASI dan Wudhu: Sebuah Klarifikasi
Berbagai sumber keilmuan Islam, termasuk laman Arab News yang terpercaya, menegaskan bahwa pemberian ASI tidak memiliki kaitan dengan keabsahan wudhu dan salat. Keluarnya ASI secara alami untuk memenuhi kebutuhan bayi tidak termasuk dalam kategori hal-hal yang membatalkan wudhu. Pemahaman ini penting untuk menghilangkan kekhawatiran yang tidak berdasar di kalangan ibu menyusui.
Tidak semua cairan atau zat yang keluar dari tubuh manusia secara otomatis membatalkan wudhu. Keringat, air liur, lendir, dan berbagai sekresi tubuh lainnya, meskipun keluar secara alami dan berkelanjutan, tidak mempengaruhi keabsahan wudhu. Analogi ini berlaku pula pada ASI. Mazhab Syafi’i, salah satu mazhab terkemuka dalam fikih Islam, secara tegas menyatakan bahwa ASI bersifat thaahir (suci).
Lebih lanjut, Allah SWT sendiri menganjurkan para ibu untuk menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, jika menginginkan penyusuan yang sempurna. Hal ini tercantum dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 233:
“Dan ibu-ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.”
Ayat ini bukan hanya anjuran, melainkan juga penegasan akan kesucian dan kehalalan ASI, mengingat Allah SWT tidak akan memerintahkan sesuatu yang najis (tidak suci) untuk dilakukan. Anjuran menyusui selama dua tahun ini secara implisit menegaskan bahwa proses menyusui tidak menganggu kesucian wudhu dan tidak menghalangi ibadah salat.
Faktor-Faktor yang Membatalkan Wudhu: Sebuah Pengkajian Mendalam
Memahami apa yang membatalkan wudhu krusial untuk menjaga kesucian ibadah. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Maidah ayat 6 tentang pentingnya bersuci sebelum melaksanakan salat:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki…”
Ayat ini menekankan pentingnya kesucian lahir batin sebelum menunaikan salat. Berikut beberapa hal yang secara umum disepakati oleh para ulama sebagai pembatal wudhu:
-
Keluarnya sesuatu dari dua jalan (kemaluan): Kencing, buang air besar, mani, madzi, wadi, dan kentut termasuk dalam kategori ini. Hadis dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Bukhari menegaskan: “Allah tidak menerima shalat salah seorang di antara kamu jika ia berhadats hingga ia berwudhu.” Namun, perlu dicatat, ada pengecualian, seperti lendir yang keluar secara terus menerus dari kemaluan perempuan yang bukan karena junub, yang tidak membatalkan wudhu.
-
Muntah: Pendapat ulama terbagi dua terkait muntah. Mazhab Hanafi dan Hambali berpendapat muntah membatalkan wudhu jika jumlahnya mencapai satu mulut penuh, sementara Mazhab Maliki dan Syafi’i berpendapat sebaliknya, merujuk pada contoh Rasulullah SAW yang pernah muntah tanpa mengulang wudhu.
-
Hilang kesadaran: Kehilangan kesadaran, baik karena pingsan, mabuk, gila, atau pengaruh obat-obatan, membatalkan wudhu. Kondisi ini dianggap lebih berat daripada tidur biasa.
-
Tidur lelap: Tidur lelap, yang didefinisikan sebagai tidur tanpa kesadaran dan tanpa menangkap rangsangan dari lingkungan sekitar, membatalkan wudhu. Hadis dari Shafwan ibn ‘Asal menyamakan tidur lelap dengan kondisi junub (tidak suci). Namun, tidur ringan atau tidur yang masih memungkinkan seseorang menyadari lingkungan sekitarnya umumnya tidak membatalkan wudhu.
-
Menyentuh kemaluan: Menyentuh kemaluan tanpa penghalang, baik kemaluan sendiri maupun orang lain, membatalkan wudhu. Hadis dari Rasulullah SAW menegaskan kewajiban berwudhu setelah menyentuh kemaluan tanpa penghalang. Namun, bagi perempuan, menyentuh kemaluan bayi atau menyentuh kemaluan sendiri dengan penghalang seperti kain tidak membatalkan wudhu.
-
Tertawa terbahak-bahak (perbedaan pendapat): Mazhab Hanafi berpendapat tertawa terbahak-bahak saat salat membatalkan wudhu karena dianggap bertentangan dengan kesungguhan ibadah. Namun, pendapat lain menganggapnya tidak membatalkan wudhu karena lemahnya dalil. Hadis dari sahabat Nabi yang lebih kuat derajatnya menyebutkan bahwa orang yang tertawa hanya perlu mengulangi salat, bukan wudhu.
-
Makan daging unta: Makan daging unta, baik mentah maupun matang, membatalkan wudhu, berbeda dengan daging hewan lainnya. Hadis dari Jabir bin Samurah RA menjelaskan hal ini.
-
Keluarnya darah dan nanah (syarat tertentu): Darah dan nanah yang keluar dari tubuh, bukan dari dua jalan, dapat membatalkan wudhu jika memenuhi syarat tertentu, seperti mengalir ke tempat yang wajib disucikan dalam wudhu. Setetes atau dua tetes darah atau nanah umumnya tidak membatalkan wudhu.
-
Memandikan mayat: Memandikan mayat membatalkan wudhu, karena potensi kontak dengan najis dari tubuh mayat.
-
Merasa ragu: Keraguan tentang kesucian diri setelah wudhu juga dapat membatalkan wudhu, terutama menurut mazhab Maliki.
Kesimpulan: Menyusui dan Ibadah Salat
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa menyusui tidak membatalkan wudhu. ASI, sebagai anugerah Allah SWT untuk bayi, bersifat suci dan proses pemberiannya tidak termasuk dalam kategori hal-hal yang secara fikih membatalkan wudhu. Ibu menyusui dapat menjalankan ibadah salat dengan tenang tanpa perlu khawatir akan keabsahan wudhunya. Semoga penjelasan ini dapat memberikan ketenangan dan pemahaman yang lebih baik bagi para ibu menyusui dalam menjalankan ibadah mereka. Penting untuk selalu merujuk pada sumber-sumber keilmuan Islam yang terpercaya dan berkonsultasi dengan ulama jika terdapat keraguan.