Jakarta, [Tanggal Publikasi] – Pertanyaan seputar boleh tidaknya menunda salat karena makan kerap mengemuka di kalangan umat Islam. Shalat, sebagai rukun Islam yang fundamental, diwajibkan tepat waktu. Namun, realitas kehidupan seringkali menghadirkan situasi di mana seseorang menghadapi dilema antara kewajiban menjalankan salat tepat waktu dengan kebutuhan fisiologis seperti makan. Artikel ini akan mengupas tuntas hukum menunda salat karena makan, serta berbagai konteks yang perlu dipertimbangkan.
Pandangan umum yang berkembang di masyarakat seringkali mengasumsikan bahwa salat harus diutamakan di atas segala hal. Namun, pemahaman yang lebih komprehensif memerlukan pengkajian mendalam terhadap dalil-dalil agama dan konteks situasi yang dihadapi. Bukan sekadar soal urutan prioritas semata, melainkan juga tentang bagaimana menjalankan ibadah dengan khusyuk dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW.
Salah satu dalil yang sering dikutip terkait hal ini adalah hadis shahih yang diriwayatkan oleh Muslim, yang berbunyi (dengan catatan: Penulis tidak dapat mencantumkan teks Arab karena keterbatasan kemampuan sistem AI dalam menampilkan karakter Arab dengan akurat. Teks Arab yang terdapat pada sumber berita asli perlu diverifikasi dan ditransliterasi dengan teliti oleh ahli bahasa Arab untuk memastikan keakuratannya. Berikut ini adalah terjemahan yang didasarkan pada sumber berita asli, namun perlu diingat bahwa keakuratan terjemahan bergantung pada keakuratan teks Arab aslinya): "Tidak ada salat ketika makanan telah terhidang atau menahan kencing atau buang hajat." (HR. Muslim)
Hadis ini memberikan petunjuk penting bahwa terdapat kondisi-kondisi tertentu yang memungkinkan, bahkan dianjurkan, untuk menunda salat. Makan, dalam konteks ini, bukanlah sekadar mengonsumsi makanan ringan, melainkan situasi di mana hidangan telah tersedia dan siap untuk dikonsumsi. Rasulullah SAW mengajarkan kebijaksanaan dalam beribadah, di mana kondisi fisik dan mental seseorang juga perlu diperhatikan. Perut yang kenyang, dalam batas kewajaran, dapat membantu seseorang untuk lebih fokus dan khusyuk dalam menjalankan salat. Ini bukan berarti mengabaikan kewajiban salat, melainkan lebih kepada mengoptimalkan kondisi diri agar ibadah dapat dijalankan dengan lebih baik.
Lebih jauh lagi, hadis tersebut juga menyinggung tentang menahan buang air. Menahan buang air kecil atau besar dapat mengganggu konsentrasi dan ketenangan batin, sehingga dapat mengurangi kekhusyukan salat. Oleh karena itu, menyelesaikan kebutuhan fisiologis terlebih dahulu sebelum salat menjadi hal yang dianjurkan. Prinsip ini menekankan pentingnya keseimbangan antara ibadah dan menjaga kesehatan jasmani dan rohani. Ibadah yang dijalankan dalam kondisi tertekan atau tidak nyaman, belum tentu dapat menghadirkan ketenangan dan kedekatan dengan Allah SWT.
Menariknya, menunda salat tidak selalu berkonotasi negatif. Terdapat situasi-situasi di mana menunda salat justru lebih utama. Dalam konteks salat berjamaah di masjid misalnya, imam memiliki wewenang untuk mengakhirkan waktu salat, mempertimbangkan berbagai faktor yang mungkin mempengaruhi jamaah. Ini menunjukkan bahwa fleksibilitas dalam menjalankan ibadah tetap ada, selama tetap berada dalam koridor syariat Islam.
Selain karena makan, beberapa kondisi lain yang membolehkan penundaan salat antara lain:
-
Ketiadaan Air: Seperti yang dijelaskan dalam sumber referensi, kesulitan mendapatkan air untuk berwudhu merupakan alasan yang dibenarkan untuk menunda salat. Kondisi ini terutama berlaku jika masih ada harapan untuk mendapatkan air sebelum waktu salat berakhir. Para ulama menganjurkan untuk menunda salat dalam situasi ini, bahkan hingga mendekati waktu salat berakhir. Mazhab Syafi’iyah, misalnya, lebih mengutamakan menunda salat dengan tetap berwudhu menggunakan air, daripada melaksanakan salat dengan tayammum (berwudhu dengan debu) di awal waktu. Prioritas ini menunjukkan bahwa kesucian wudhu dengan air tetap lebih utama, jika memungkinkan.
-
Berbuka Puasa: Rasulullah SAW juga terkadang menunda salat Maghrib, khususnya saat berbuka puasa, meskipun waktu Maghrib sangat singkat. Beliau mengajarkan untuk menyegerakan berbuka puasa, dan hal ini menunjukkan prioritas yang diberikan terhadap berbuka puasa, terutama setelah seharian berpuasa. Hadis yang menyebutkan, "Senantiasa manusia dalam kebaikan selama ia menyegerakan berbuka." (Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim), menunjukkan anjuran untuk segera berbuka, yang dapat menjadi pertimbangan untuk menunda salat Maghrib sejenak. Namun, penting untuk diingat bahwa penundaan ini tetap harus dalam batas waktu yang wajar dan tidak sampai melewati waktu salat.
Kesimpulannya, menunda salat karena makan, atau karena alasan-alasan lain yang telah disebutkan, bukanlah sesuatu yang secara mutlak dilarang. Islam mengajarkan keseimbangan antara menjalankan kewajiban dan memperhatikan kondisi diri. Menunda salat dalam kondisi tertentu, seperti yang dijelaskan di atas, merupakan bentuk kebijaksanaan dalam beribadah. Namun, penting untuk selalu mengedepankan niat yang ikhlas dan menjaga agar penundaan tersebut tidak menjadi kebiasaan yang mengabaikan kewajiban salat tepat waktu. Konsultasi dengan ulama atau tokoh agama yang terpercaya dapat membantu dalam mengambil keputusan yang tepat dalam situasi yang dihadapi. Penting untuk memahami bahwa setiap situasi memiliki konteksnya masing-masing, dan pemahaman yang komprehensif terhadap ajaran Islam diperlukan untuk menentukan tindakan yang paling sesuai. Jangan sampai pemahaman yang sempit justru menghambat kita dalam menjalankan ibadah dengan khusyuk dan sesuai dengan tuntunan agama.