Jakarta – Konsep "bermental miskin" bukanlah sekadar gambaran ekonomi semata, melainkan sebuah kondisi batin yang mengakar dan berdampak luas pada kehidupan individu dan masyarakat. Artikel ini akan mengupas tuntas fenomena ini, menganalisisnya dari perspektif spiritual dan sosial, serta mengkaji bagaimana seseorang dapat melepaskan diri dari belenggu mentalitas ini dan meraih kesejahteraan sejati.
Penulis mengawali dengan premis fundamental bahwa setiap individu, terlepas dari status ekonominya, dianugerahi limpahan nikmat oleh Allah SWT. Kemampuan bernapas, menjalankan ibadah, dan menjauhi larangan-Nya merupakan kenikmatan yang tak ternilai harganya dan semestinya disyukuri. Namun, banyak yang keliru mengukur kenikmatan semata-mata dari segi materi. Kekeliruan inilah yang seringkali melahirkan mentalitas kemiskinan, di mana seseorang merasa senantiasa kekurangan, meskipun secara materi sudah cukup bahkan berlebih.
Penulis mengutip dua ayat Al-Quran, Surah Shad ayat 30 dan 44, untuk mengilustrasikan bagaimana Allah SWT memuji hamba-Nya yang sabar dan bersyukur, baik yang kaya maupun yang miskin. Ayat-ayat tersebut menonjolkan Nabi Sulaiman sebagai teladan hamba yang taat dan Nabi Ayyub sebagai contoh kesabaran yang luar biasa dalam menghadapi cobaan. Keduanya, meskipun berbeda latar belakang, dihargai karena ketaatan dan kesabaran mereka, bukan karena kekayaan materi. Hal ini menekankan bahwa kekayaan spiritual jauh lebih bernilai daripada kekayaan materi belaka.
Lebih lanjut, penulis menyoroti kontras antara individu yang merasa kekurangan meskipun secara materi cukup, dengan individu yang hidup sederhana namun dermawan dan selalu siap membantu sesama. Yang pertama terjebak dalam mentalitas kemiskinan, selalu mengeluh dan merasa kurang, sedangkan yang kedua, meskipun secara ekonomi terbatas, menunjukkan kelimpahan spiritual yang melampaui keterbatasan materi. Ironisnya, ada pula individu yang kaya secara materi namun tetap bermental miskin, terus-menerus meminta bantuan orang lain bahkan sampai menciptakan situasi (yang dilarang agama) untuk mendapatkan uang. Inilah gambaran nyata bagaimana mentalitas kemiskinan dapat menjangkiti siapa saja, terlepas dari status ekonominya.
Penulis kemudian menuturkan kisah seorang Syekh zuhud yang hidupnya sederhana, bergantung pada hasil tangkapan laut, dan seorang saudaranya yang kaya raya. Kisah ini mengilustrasikan perbedaan mendasar antara "dunia di hati" dan "dunia di tangan". Syekh zuhud, meskipun miskin secara materi, memiliki kekayaan spiritual yang luar biasa. Ia telah melepaskan ikatan duniawi dari hatinya, sementara saudaranya, meskipun kaya raya, masih terbelenggu oleh keinginan duniawi. Saudaranya yang kaya, menegur Syekh zuhud dengan pertanyaan retoris, "Hingga kapan engkau sibuk dengan dunia? Hingga kapan engkau berurusan dengan dunia? Hingga kapan engkau menginginkan dunia?". Pertanyaan ini menjadi refleksi mendalam tentang bagaimana dunia dapat menguasai hati seseorang dan membutakannya dari kekayaan spiritual yang sebenarnya.
Ibnu Atha’illah, sebagaimana dikutip penulis, menyatakan bahwa kewalian (kesucian hati) tidak dapat diukur dengan kekayaan atau kemiskinan materi. Kewalian adalah wilayah hati, yang hanya diketahui oleh Allah SWT. Siapa pun yang dianugerahi nikmat, baik materi maupun spiritual, wajib bersyukur. Kegagalan bersyukur berarti kehilangan kenikmatan tersebut. Penulis menekankan kembali bahwa mentalitas kemiskinan ditandai dengan keterikatan hati pada dunia. Kehilangan harta membuat sedih, mendapatkan harta membuat gembira. Sebaliknya, individu yang "dunia di tangannya" akan menerima segala sesuatu dengan tenang, karena menyadari bahwa semua itu hanyalah titipan.
Penulis kemudian menyimpulkan dengan dua tugas penting yang harus dilakukan ketika seseorang meraih kenikmatan: tugas hati dan tugas lisan. Tugas hati adalah mengakui bahwa segala nikmat berasal dari Allah SWT, sedangkan tugas lisan adalah mengungkapkan rasa syukur tersebut. Dengan pengakuan hati dan lisan, seseorang akan lebih terdorong untuk bersyukur melalui amal dan ketaatan kepada Allah SWT.
Secara keseluruhan, artikel ini memberikan pemahaman yang komprehensif tentang mentalitas kemiskinan. Bukan sekadar masalah ekonomi, mentalitas ini merupakan masalah spiritual dan sosial yang perlu diatasi. Penulis berhasil menghubungkan konsep ini dengan ajaran agama Islam, mengutip ayat-ayat Al-Quran dan kisah para wali untuk mengilustrasikan perbedaan antara kekayaan materi dan kekayaan spiritual. Artikel ini juga memberikan solusi praktis, yaitu bersyukur dan melepaskan ikatan hati pada duniawi, untuk meraih kesejahteraan sejati yang melampaui batas-batas materi. Pesan utama yang disampaikan adalah pentingnya memiliki mentalitas yang kaya, di mana seseorang mampu mensyukuri segala nikmat yang diterimanya dan berbagi dengan sesama, terlepas dari status ekonomi mereka. Penulis berhasil menyajikan analisis yang mendalam dan relevan dengan konteks kehidupan masyarakat saat ini. Artikel ini menjadi pengingat penting bagi kita semua untuk senantiasa mengevaluasi diri dan menumbuhkan mentalitas yang kaya, sehingga kita dapat meraih kesejahteraan sejati di dunia dan akhirat.