Adzan, seruan suci yang menandakan datangnya waktu salat fardhu, menjadi penanda penting dalam kehidupan umat Islam. Suara merdu yang berkumandang dari menara masjid, tak hanya menuntun umat untuk menunaikan kewajiban, tetapi juga menjadi simbol penting dalam penyebaran Islam di muka bumi.
Adzan: Suara Sakral yang Menyeru Umat
Secara bahasa, adzan berarti pemberitahuan. Dalam istilah syariat, adzan merujuk pada kalimat-kalimat khusus yang digunakan untuk mengumumkan waktu salat fardhu. Adzan, bersama dengan iqamah, merupakan sunnah muakkad yang dijalankan pada setiap salat fardhu lima waktu.
Rasulullah SAW bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, "Jika kamu hadir untuk salat, maka adzanlah salah seorang dari kalian dan imamlah seorang yang lebih tua di antara kalian." Hadits ini menegaskan pentingnya adzan dalam pelaksanaan salat berjamaah.
Muadzin: Sang Penyampai Suara Ilahi
Orang yang bertugas mengumandangkan adzan disebut muadzin. Tugas mulia ini menuntut seorang muadzin memiliki suara yang merdu dan keras, agar seruannya dapat terdengar oleh banyak orang. Ketika mengumandangkan adzan, muadzin disunnahkan untuk berdiri dan menghadap kiblat.
Syarat-syarat Muadzin: Menjaga Kesucian Seruan
Agar adzan dapat diterima di sisi Allah SWT, seorang muadzin harus memenuhi beberapa syarat. Menurut M. Syukron Maksum, adzan tidak sah jika dikumandangkan oleh orang kafir, orang gila, anak kecil, atau orang yang sedang mabuk.
Mayoritas ulama, termasuk mazhab Maliki, Syafii, dan Hambali, sepakat bahwa muadzin harus seorang laki-laki. Hal ini dikarenakan hukumnya haram bagi perempuan untuk mengumandangkan adzan. Adzan yang dikumandangkan oleh waria juga dianggap tidak sah, karena status gendernya tidak jelas.
Mazhab Hanafi menambahkan syarat bahwa muadzin haruslah seorang laki-laki yang berakal, tahu, dan mengerti tentang sunnah serta waktu salat. Meskipun demikian, para ulama sepakat bahwa muadzin tidak harus baligh dan adil. Artinya, adzan yang dikumandangkan oleh anak kecil yang sudah tamyiz (mengerti akan hukum) dan orang fasik (berdosa) tetap sah. Namun, disunnahkan bagi muadzin untuk menjadi orang yang baligh, adil, dan terpercaya, mengingat tanggung jawabnya yang besar dalam menandai waktu salat dan berbuka puasa.
Jumlah Muadzin: Menjangkau Seluruh Umat
Dalam Kitab Umm Jilid 2 karya Imam Syafi’i, dijelaskan bahwa jumlah muadzin dibatasi dua orang. Hal ini merujuk pada riwayat bahwa Rasulullah SAW memiliki dua orang muadzin. Namun, tidak ada batasan untuk menambah jumlah muadzin lebih dari dua orang. Jika hanya ada satu muadzin, itu sudah cukup.
Imam Syafi’i juga menekankan pentingnya imam untuk memastikan muadzin mengumandangkan adzan di awal waktu, tidak menunggu iqamat, dan memerintahkan mereka untuk iqamat pada waktunya. Beliau juga menyarankan agar muadzin mengumandangkan adzan secara satu per satu, bukan serentak. Namun, jika masjidnya besar dan memiliki banyak muadzin, tidak ada larangan bagi mereka untuk mengumandangkan adzan di setiap menara, sehingga penduduk yang tinggal di sisi setiap menara dapat mendengar adzan secara serentak.
Adzan di Era Modern: Menjangkau Lebih Luas
Di era modern ini, muadzin dibantu oleh pengeras suara yang memungkinkan kumandang adzan terdengar dari setiap sisi menara masjid. Hal ini memungkinkan seruan suci untuk menjangkau lebih banyak orang dan mengingatkan mereka untuk menunaikan kewajiban salat.
Kesimpulan: Muadzin, Penyampai Suara Ilahi
Muadzin, dengan suara merdu dan tugas mulia, menjadi jembatan antara umat dan Allah SWT. Mereka menuntun umat untuk menunaikan kewajiban salat, mengingatkan mereka akan waktu yang suci, dan menjadi simbol penting dalam penyebaran Islam di muka bumi. Melalui kumandang adzan, umat Islam di seluruh dunia bersatu dalam menjalankan perintah Allah SWT, dan membangun ikatan spiritual yang kuat.