Jakarta – Dalam khazanah Islam, menjaga lisan bukan sekadar anjuran etika, melainkan pilar fundamental keselamatan dunia dan akhirat. Hadits Nabi Muhammad SAW secara tegas menekankan betapa krusialnya pengendalian ucapan, mengingatkan bahwa keselamatan seseorang bergantung erat pada kemampuannya menjaga lisan. Hal ini bukan hanya sekedar ungkapan simbolik, melainkan sebuah prinsip yang dielaborasi secara mendalam oleh para ulama sepanjang sejarah Islam.
Hadits riwayat Bukhari yang berbunyi, "Keselamatan manusia tergantung pada kemampuannya menjaga lisan," (HR Bukhari) merupakan inti sari ajaran ini. Kalimat ringkas tersebut menyimpan makna yang begitu luas dan mendalam, mengindikasikan bahwa setiap kata yang terucap memiliki konsekuensi, baik secara individu maupun sosial. Kemampuan mengendalikan lisan mencerminkan tingkat kedewasaan spiritual seseorang, sekaligus menjadi indikator kemampuannya dalam menjaga hubungan harmonis dengan lingkungan sekitarnya.
Imam an-Nawawi, dalam kitabnya Riyadhus Shalihin, mengutip hadits serupa dari Uqbah bin Amir RA yang mengungkapkan pentingnya menjaga lisan dengan cara yang lebih rinci. Meskipun teks hadits tersebut tidak tercantum secara lengkap dalam pertanyaan, esensi pesan tersebut tetap relevan dan konsisten dengan hadits riwayat Bukhari. Hadits dari Uqbah bin Amir RA, yang mengajarkan pentingnya mengingat Allah, menetap di rumah, dan menyesali dosa-dosa, menunjukkan bahwa pengendalian lisan merupakan bagian integral dari proses penyucian jiwa dan pendekatan diri kepada Sang Pencipta. Menariknya, terjemahan frasa kunci dalam hadits ini bervariasi, dengan beberapa menterjemahkannya sebagai "jagalah lisanmu," menunjukkan kerumitan dan kedalaman makna yang terkandung di dalamnya. Perbedaan terjemahan ini menunjukkan perlunya pemahaman kontekstual yang mendalam untuk menangkap esensi pesan hadits tersebut.
Syarah Riyadhus Shalihin, yang diulas oleh Misbah, memberikan penafsiran yang lebih komprehensif. Hadits tersebut tidak hanya menganjurkan menjaga lisan, tetapi juga menyarankan untuk fokus pada urusan pribadi jika seseorang merasa tidak mampu memberikan manfaat bagi orang lain atau khawatir akan terjerumus dalam perbuatan yang merusak agama dan dirinya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa menjaga lisan juga berkaitan erat dengan kesadaran diri dan kemampuan untuk mengevaluasi diri sendiri.
Imam at-Tirmidzi, dalam kitab Zuhud bab Menjaga Lisan, juga mencatat hadits yang menegaskan urgensi menjaga lisan demi keselamatan. Hadits dari Abu Sa’id al-Khudri RA menggambarkan sebuah metafora yang menarik: pada waktu pagi, semua anggota badan manusia mengingatkan lidah untuk berhati-hati. Anggota badan lain menyatakan bahwa nasib mereka bergantung pada lidah. Jika lidah berucap benar dan baik, maka seluruh tubuh akan selamat. Sebaliknya, jika lidah berucap buruk dan keji, maka seluruh tubuh akan terkena dampak negatifnya. Metafora ini menunjukkan bahwa lisan memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kehidupan seseorang secara keseluruhan.
Imam an-Nawawi, dalam penjelasannya mengenai hadits-hadits tersebut, menekankan peran lisan sebagai "delegasi dan penerjemah hati." Lisan dan hati dianggap sebagai dua anggota tubuh yang paling penting dan mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap keselamatan seseorang. Kedua anggota tubuh ini dapat menentukan apakah seseorang akan selamat atau binasa. An-Nawawi juga menambahkan bahwa dosa dan maksiat yang dilakukan oleh anggota tubuh lain juga dapat mempengaruhi hati dan lisan, menunjukkan kesalingterkaitan antara semua anggota tubuh dalam menentukan keselamatan seseorang.
Hujjatul Islam Imam al-Ghazali, dalam kitabnya Afat al-Lisan (Musibah-musibah Lisan), secara khusus membahas bahaya-bahaya yang ditimbulkan oleh lisan. Al-Ghazali menjelaskan berbagai bentuk ucapan yang merupakan bentuk kebatilan, seperti bergosip tentang wanita, minuman keras, orang fasik, kemewahan orang kaya, dan perilaku negatif lainnya. Ucapan-ucapan seperti ini bukan hanya merusak diri sendiri, tetapi juga dapat menimbulkan perselisihan, permusuhan, dan kejahatan lainnya. Al-Ghazali menekankan bahwa cara paling efektif untuk mengatasi sifat buruk yang muncul dari lisan adalah dengan menghancurkan kesombongan diri dan sifat kebinatangan yang selalu ingin menjatuhkan orang lain. Ia juga menyarankan untuk menghindari sebab-sebab yang dapat menimbulkan ucapan-ucapan negatif.
Selain itu, Al-Ghazali juga menekankan pentingnya menjaga lisan sebagai bagian dari upaya menjaga keseluruhan anggota tubuh dari dosa. Mata, telinga, hati, dan perut juga harus dijaga dari hal-hal yang dapat menimbulkan dosa. Salah satu cara yang paling efektif untuk menjaga lisan adalah dengan diam. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa orang yang selamat adalah orang yang diam. Diam bukan berarti tidak berbicara sama sekali, tetapi lebih kepada kemampuan untuk memilih kata-kata yang bijak dan menghindari ucapan-ucapan yang tidak bermanfaat atau bahkan merusak.
Hadits riwayat Thabrani dan Abu Ya’la menjelaskan tiga kategori manusia berdasarkan penggunaan lisannya: orang yang menang, orang yang selamat, dan orang yang binasa. Orang yang menang adalah orang yang selalu mengingat Allah. Orang yang selamat adalah orang yang banyak diam. Sedangkan orang yang binasa adalah orang yang banyak berbicara tentang kebatilan. Klasifikasi ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga lisan dalam menentukan nasib seseorang di dunia dan akhirat.
Kesimpulannya, menjaga lisan merupakan amanah yang sangat penting dalam Islam. Hadits-hadits Nabi Muhammad SAW dan penjelasan para ulama menunjukkan bahwa keselamatan seseorang sangat tergantung pada kemampuannya mengendalikan lisan. Lisan bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga cerminan keimanan dan kedewasaan spiritual seseorang. Oleh karena itu, upaya untuk menjaga lisan harus dilakukan secara konsisten dan diiringi dengan kesadaran diri yang tinggi. Menjaga lisan bukan hanya untuk menghindari konflik dan perselisihan, tetapi juga untuk mencapai keselamatan dunia dan akhirat. Ini merupakan sebuah proses yang terus menerus dan memerlukan kesadaran dan usaha yang konsisten dari setiap individu.