Konsep "ummatan wasathan" atau umat pertengahan, sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 143, merupakan pilar fundamental dalam ajaran Islam. Ayat tersebut tidak hanya mendefinisikan posisi umat Islam dalam konteks sejarah, tetapi juga memberikan panduan etis dan moral untuk menjalani kehidupan di dunia yang penuh kompleksitas. Lebih dari sekadar posisi geografis, "umat pertengahan" merujuk pada sebuah karakteristik moral dan spiritual yang ideal, sebuah jalan tengah yang menyeimbangkan aspek duniawi dan ukhrawi, serta menjadi teladan bagi kemanusiaan.
Ayat tersebut berbunyi: "Demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Nabi Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menetapkan kiblat (Baitul Maqdis) yang (dahulu) kamu berkiblat kepadanya, kecuali agar Kami mengetahui (dalam kenyataan) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sesungguhnya (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia."
Makna ayat ini jauh lebih luas daripada sekadar pemindahan kiblat. Pemindahan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah, meskipun menimbulkan kesulitan bagi sebagian sahabat, menjadi ujian keimanan. Ia menguji kesetiaan dan ketaatan kepada Rasulullah SAW, memisahkan antara mereka yang mengikuti petunjuk Ilahi dengan mereka yang terikat pada tradisi dan kebiasaan lama. Lebih jauh, ayat ini menegaskan peran umat Islam sebagai "umat pertengahan" – sebuah umat yang tidak ekstrem dalam menjalankan agamanya, tidak terjerumus dalam materialisme semata, dan tidak pula terkungkung dalam spiritualitas yang mengabaikan realitas duniawi.
Umat Wasathiyah, dalam konteks ini, bukanlah sekadar posisi netral atau pasif. Ia merupakan posisi yang aktif dan dinamis, menyeimbangkan antara tuntutan dunia dan akhirat. Mereka tidak terjebak dalam hedonisme yang mementingkan kesenangan sesaat, mengabaikan nilai-nilai spiritual dan moral. Sebaliknya, mereka juga tidak terkungkung dalam rigorisme yang mengabaikan aspek kemanusiaan dan kesejahteraan sosial. Mereka menjadi saksi yang adil, mengamati dan menilai perilaku manusia, baik yang berlebihan dalam mengejar materi maupun yang berlebihan dalam menjalankan ibadah hingga mengabaikan kehidupan duniawi yang seimbang.
Rasulullah SAW, sebagai pemimpin umat Wasathiyah, menjadi saksi atas perilaku umatnya. Beliau menjadi contoh teladan dalam menjalankan ajaran Islam secara moderat dan seimbang, mengajarkan amar makruf nahi mungkar dengan bijaksana, tanpa kekerasan dan fanatisme buta. Beliau mengajarkan keseimbangan dalam segala hal, menunjukkan jalan tengah yang membawa kebaikan bagi individu dan masyarakat.
Konsep "umat pertengahan" juga menekankan pentingnya pengetahuan dan keadilan. Umat Wasathiyah adalah umat yang berpengetahuan luas, terbuka terhadap ilmu pengetahuan, dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dalam segala aspek kehidupan. Mereka bukan umat yang jumud, eksklusif, atau pasif dalam menghadapi kemajuan zaman. Sebaliknya, mereka aktif berkontribusi dalam berbagai bidang keilmuan, mengembangkan potensi diri, dan menggunakan pengetahuannya untuk membangun masyarakat yang adil dan sejahtera.
Sikap moderat atau tengah ini tercermin dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam beribadah, bermuamalah, dan bernegara. Al-Qur’an sendiri melarang sikap berlebihan atau ekstrem dalam beragama, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah ayat 77 yang melarang berlebih-lebihan dalam agama tanpa hak. Begitu pula dalam berinfak, Allah SWT menganjurkan sikap pertengahan, tidak boros dan tidak kikir, sebagaimana tertera dalam surat Al-Furqan ayat 67.
Sikap boros, yang merupakan salah satu bentuk ekstrem, akan berdampak buruk bagi individu dan masyarakat. Ia dapat menyebabkan kemiskinan, kerusakan moral, dan ketidakstabilan sosial. Sebaliknya, sikap kikir atau bakhil juga merugikan, menciptakan kesenjangan sosial dan menghambat perkembangan masyarakat. Umat Wasathiyah menghindari kedua ekstrem tersebut, menjalankan kehidupan dengan seimbang dan proporsional.
Analogi ini dapat diterapkan pula pada berbagai aspek kehidupan bernegara. Kebijakan pemerintah yang ekstrem, misalnya pemotongan anggaran negara secara drastis atas nama efisiensi, dapat berdampak negatif bagi kesejahteraan rakyat. Reaksi masyarakat yang berlebihan sebagai bentuk perlawanan juga dapat memperburuk situasi. Di sinilah pentingnya sikap moderat dan musyawarah untuk mencapai solusi yang adil dan menyeimbangkan kepentingan semua pihak.
Oleh karena itu, menjadi umat Wasathiyah bukan sekadar slogan atau label, tetapi sebuah komitmen untuk menjalani hidup dengan seimbang, adil, dan bijaksana. Ia membutuhkan pemahaman yang mendalam terhadap ajaran Islam, kemampuan untuk berpikir kritis dan analitis, serta komitmen untuk menerapkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini membutuhkan kepemimpinan yang bijak dan adil, yang mampu mengayomi rakyatnya dengan sikap moderat, tidak otoriter dan tidak pula permisif. Rakyat pun perlu berperan aktif dalam memberikan masukan dan kritikan konstruktif kepada pemimpinnya, sehingga tercipta sinergi yang harmonis dalam membangun masyarakat yang adil dan sejahtera.
Dalam konteks Indonesia yang majemuk, konsep umat Wasathiyah menjadi sangat relevan. Ia menjadi perekat persatuan dan kesatuan bangsa, menjembatani perbedaan agama, suku, dan budaya. Dengan mengedepankan sikap toleransi, moderasi, dan keadilan, umat Wasathiyah dapat berperan sebagai agen perubahan, membangun Indonesia yang lebih baik dan lebih sejahtera bagi seluruh rakyatnya. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan petunjuk dan hidayah-Nya kepada para pemimpin dan rakyat Indonesia agar senantiasa dapat menjalankan kehidupan dengan prinsip-prinsip Wasathiyah, menuju Indonesia yang Baldatun Thoyyibatun Wa Rabbun Ghafur.