Gelombang Pilkada serentak November 2024 telah berlalu, meninggalkan riak-riak dinamika politik yang menggema di seluruh penjuru negeri. Desember 2024 menandai titik balik bagi para kontestan; sebagian merengkuh kemenangan, sebagian lainnya kembali ke kehidupan "biasa". Namun, esensi "kebiasaan" ini menawarkan renungan mendalam, khususnya bagi mereka yang terpilih. Apakah amanah kepemimpinan akan membawa mereka pada "kebiasaan" yang bersahaja, atau justru terperangkap dalam "ketidakbiasaan" yang jauh dari nilai-nilai kepemimpinan sejati?
Tulisan ini terinspirasi oleh buku Sudirman Said, "Bergerak dengan Kewajaran," khususnya bab "Menjadi Orang Biasa." Definisi "orang biasa" dalam konteks ini bukanlah tentang kemiskinan materi, melainkan tentang integritas dan kepatuhan pada norma. Orang biasa, menurut pandangan ini, adalah individu yang menghormati hak-hak orang lain, taat pada aturan, dan mengetahui batas kepuasan. Mereka mengerti arti "cukup" dan "secukupnya," jauh dari keserakahan dan keinginan berlebihan. Kesenangan mereka berasal dari kedamaian batin, bukan dari penumpukan kekayaan.
Sebaliknya, "orang tak biasa" selalu merasa kekurangan, haus akan kekuasaan dan harta. Mereka seringkali melanggar aturan, mencuri hak orang lain untuk memuaskan keinginan yang tak terpuaskan. Mereka terikat oleh ambisi dan nafsu, jauh dari kemerdekaan batin. Pilihan untuk menjadi "orang biasa" atau "orang tak biasa" merupakan tantangan besar bagi para pemimpin terpilih.
Pilkada, sebagai arena pertarungan politik, seharusnya menjadi momentum untuk mewujudkan kepemimpinan yang adil. Ajaran Islam dengan jelas menekankan pentingnya keadilan dalam kepemimpinan. Surah An-Nahl ayat 90 mengajarkan pentingnya adil, berbuat kebajikan, dan membantu kerabat, serta menghindari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Ayat ini merupakan pedoman bagi para pemimpin untuk menjalankan amanah dengan bijaksana. Allah SWT. mengajak semua hamba-Nya untuk berlaku adil dalam segala aspek kehidupan, baik kepada diri sendiri maupun orang lain. Lebih dari itu, kebajikan diharapkan melebihi keadilan dengan memberikan bantuan secara tulus dan ikhlas. Larangan terhadap perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan menegaskan pentingnya menjaga keharmonisan dan keadilan dalam masyarakat.
Kepemimpinan yang adil dan demokratis harus berakar pada iman dan takwa. Iman dan takwa menjadi landasan moral yang kuat bagi seorang pemimpin untuk selalu bertindak sesuai dengan ajaran agama. Hadits dari Nabi Muhammad SAW. menegaskan bahwa keadilan lebih utama daripada ibadah yang panjang. Bahkan, ketidakadilan sekejap pun lebih berat dosanya di sisi Allah SWT. daripada maksiat bertahun-tahun. Ini menunjukkan betapa pentingnya keadilan dalam kepemimpinan.
"Orang biasa," dengan falsafah "cukup," akan mengelola negara dengan bijaksana. Mereka akan berupaya melunasi utang negara dengan memperhatikan aspek keuangan yang syar’i, mengefektifkan sumber pendapatan negara dengan adil, dan menetapkan kebijakan perpajakan yang tidak memberatkan rakyat. Pengelolaan sumber daya alam juga akan dilakukan dengan prinsip keadilan dan keberlanjutan, misalnya dengan menerapkan pola bagi hasil pada eksploitasi sumber daya alam seperti migas. Tarif impor akan diatur untuk melindungi industri dalam negeri serta meningkatkan pendapatan negara.
Sebaliknya, sifat "orang tak biasa" yang serakah akan menimbulkan ketimpangan ekonomi, mengarah pada konflik dan kecemburuan sosial. Korupsi, seringkali dipicu oleh kebutuhan yang berlebihan. Pepatah Ali bin Abi Thalib, "Dengan sedikit kebutuhan maka engkau akan selamat," menawarkan hikmah yang mendalam.
Namun, kita juga harus akui bahwa godaan dunia, terutama kekuasaan, dapat mengoyahkan keimanan. Kekuasaan seringkali dianggap sebagai sumber kenikmatan duniawi, sehingga banyak orang berkorban besar untuk meraihnya. Ironisnya, kehormatan sejati bukan berasal dari kekayaan, kekuasaan, atau ketenaran, melainkan dari ketakwaan kepada Allah SWT.
Doa dan harapan agar para pemimpin memilih untuk menjadi "orang biasa," dan agar mereka yang terjerat dalam "ketidakbiasaan" dapat kembali ke jalan yang benar, merupakan penutup yang menguatkan tulisan ini. Semoga kepemimpinan di Indonesia selalu diarahkan pada keadilan, kesejahteraan, dan kebaikan bagi seluruh rakyat. Semoga amanah kepemimpinan dijalankan dengan bijaksana, berlandaskan iman dan takwa, menjadikan para pemimpin sebagai "orang biasa" yang berdedikasi pada rakyatnya.