Jakarta, 24 Januari 2025 – Fenomena pernikahan siri di Indonesia kembali menjadi sorotan. Bukan sekadar wacana akademis, angka pernikahan siri yang terus meningkat di lapangan menjadi bukti nyata permasalahan sosial yang kompleks dan memerlukan perhatian serius dari berbagai pihak. Alissa Wahid, Ketua PBNU Bidang Kesejahteraan Keluarga, mengungkapkan pandangannya terkait isu ini, menunjuk pada kurangnya pendidikan seks sebagai salah satu faktor utama penyebabnya.
Dalam wawancara eksklusif dengan detikHikmah di kantor pusat PBNU, Jakarta, Alissa Wahid, yang juga dikenal sebagai putri sulung Presiden Abdurrahman Wahid, menyatakan keprihatinannya atas resistensi masyarakat terhadap pendidikan seks komprehensif. "Orang Indonesia, khususnya yang dewasa, alergi terhadap pendidikan seks. Pendidikan seks dianggap sebagai sesuatu yang mengajarkan (seks) semata," ujarnya. Pernyataan ini menyoroti kesalahpahaman mendasar yang masih melekat di masyarakat, di mana pendidikan seks kerap diidentikkan dengan ajaran praktik seksual, bukan sebagai bekal pengetahuan dan keterampilan untuk menjaga kesehatan reproduksi dan mengambil keputusan yang bertanggung jawab.
Alissa Wahid, yang juga seorang lulusan magister profesi Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM), menekankan pentingnya pendidikan kesehatan reproduksi sejak dini. "Pendidikan kesehatan reproduksi adalah menjelaskan, ketika kamu sudah akil baligh, kamu punya fungsi reproduksi, jadi harus hati-hati," jelasnya. Ia mengaitkan kurangnya pemahaman ini dengan meningkatnya angka pernikahan siri. Ketiadaan pendidikan seks yang memadai, menurutnya, menyebabkan generasi muda kurang siap menghadapi realitas pergaulan dan potensi risiko kehamilan di luar nikah.
"Karena (pendidikan seks) secara umum ditolak, akhirnya anak-anak ini tidak siap. Pergaulannya ke arah sana, tapi nggak siap, nggak paham, nggak mampu mengendalikan diri karena nggak latihan mengambil keputusan. Akhirnya, ketika sedang berdua dengan temannya, akhirnya terjadi kehamilan remaja, kehamilan yang tidak diinginkan," papar Alissa Wahid. Penjelasan ini mengungkapkan sebuah siklus permasalahan yang berawal dari kurangnya pengetahuan dan pemahaman, berlanjut pada perilaku berisiko, dan akhirnya berujung pada pernikahan siri sebagai solusi instan yang kerap kali tidak didasari oleh kesiapan mental dan ekonomi.
Lebih lanjut, Alissa Wahid mengkritik pandangan sempit yang menganggap pernikahan siri sebagai solusi tunggal untuk mencegah zina. "Dan ujungnya, daripada berzina ya sudah menikah saja. Dianggap menikah itu hanya mencegah zina, padahal menikah itu membangun keluarga. Mencegah berzina ya tidak berzina, caranya apa ya pikirin gitu kan. Mencegah zina adalah tidak berzina, bukan menikah cepat walaupun tidak siap," tegasnya. Pernyataan ini menunjukkan ketidakseimbangan pemahaman tentang institusi pernikahan, yang seharusnya didasari oleh kesiapan fisik, mental, dan ekonomi, bukan sekadar sebagai jalan pintas untuk menghindari konsekuensi dari hubungan seksual di luar nikah.
Meningkatnya angka pernikahan siri memiliki implikasi luas, melampaui sekadar angka statistik. Pernikahan siri, yang tidak tercatat secara resmi, menciptakan kerentanan hukum bagi pasangan dan anak-anak mereka. Akses terhadap layanan kesehatan, pendidikan, dan perlindungan hukum menjadi terbatas, meningkatkan risiko eksploitasi dan ketidakadilan. Anak-anak yang lahir dari pernikahan siri juga berpotensi mengalami kesulitan dalam mendapatkan pengakuan hukum atas status kewarganegaraan dan hak-hak sipil lainnya.
Permasalahan ini juga beririsan dengan isu kesetaraan gender. Seringkali, perempuan menjadi pihak yang paling rentan dalam pernikahan siri. Mereka berisiko mengalami kekerasan domestik, eksploitasi ekonomi, dan kesulitan dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Kurangnya perlindungan hukum dan akses terhadap layanan dukungan membuat mereka semakin terpinggirkan.
Oleh karena itu, peningkatan angka pernikahan siri bukan hanya masalah individu, tetapi juga masalah sistemik yang membutuhkan solusi komprehensif. Pemerintah, lembaga keagamaan, organisasi masyarakat sipil, dan keluarga memiliki peran penting dalam mengatasi akar permasalahan ini. Beberapa langkah strategis yang perlu dipertimbangkan antara lain:
-
Penguatan Pendidikan Seks Komprehensif: Pendidikan seks yang komprehensif dan berbasis bukti ilmiah perlu diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan formal dan informal. Pendidikan ini harus meliputi informasi tentang kesehatan reproduksi, perencanaan keluarga, hubungan seksual yang sehat dan bertanggung jawab, serta pencegahan kekerasan seksual. Penting untuk menghilangkan stigma negatif yang melekat pada pendidikan seks dan melibatkan orang tua dalam proses pembelajaran.
-
Peningkatan Akses terhadap Layanan Kesehatan Reproduksi: Pemerintah perlu memastikan akses yang mudah dan terjangkau terhadap layanan kesehatan reproduksi, termasuk konseling pra-konsepsi, kontrasepsi, dan layanan kesehatan ibu dan anak. Layanan ini harus diberikan dengan pendekatan yang sensitif, hormat, dan tidak menghukum.
-
Penguatan Hukum dan Perlindungan bagi Perempuan: Perlu adanya peraturan yang lebih kuat untuk melindungi hak-hak perempuan dalam konteks pernikahan siri, termasuk hak atas kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Sistem peradilan juga perlu diperkuat untuk menangani kasus-kasus kekerasan domestik dan eksploitasi yang mungkin terjadi dalam konteks pernikahan siri.
-
Kampanye Kesadaran Publik: Kampanye kesadaran publik yang luas perlu dilakukan untuk mengubah persepsi masyarakat terhadap pendidikan seks dan pernikahan siri. Kampanye ini harus melibatkan pemimpin agama, tokoh masyarakat, dan media massa untuk mengarahkan narasi yang lebih positif dan berbasis fakta.
-
Penguatan Peran Keluarga: Keluarga memiliki peran penting dalam memberikan pendidikan seks dan nilai-nilai hidup kepada anak-anak mereka. Orang tua perlu diberdayakan untuk berkomunikasi terbuka dengan anak-anak mereka tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi.
Meningkatnya angka pernikahan siri merupakan cerminan dari berbagai permasalahan sosial yang kompleks. Mengatasi masalah ini membutuhkan pendekatan holistik dan kolaboratif yang melibatkan berbagai pihak. Dengan memperkuat pendidikan seks komprehensif, meningkatkan akses terhadap layanan kesehatan reproduksi, memperkuat perlindungan hukum bagi perempuan, dan melakukan kampanye kesadaran publik, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih aman dan berkelanjutan bagi generasi muda Indonesia. Pernikahan, sebagai institusi yang sakral, harus dibangun di atas pondasi kesiapan yang matang, bukan dipaksa oleh keadaan dan ketidaktahuan.