Ramadan, bulan suci penuh berkah bagi umat Muslim, mewajibkan setiap muslim yang telah baligh dan berakal sehat untuk menjalankan ibadah puasa. Keutamaan puasa Ramadan begitu besar, namun tak jarang terdapat kondisi yang menghalangi seseorang untuk menunaikannya, misalnya karena sakit atau perjalanan. Dalam Islam, puasa yang ditinggalkan karena halangan tersebut wajib diganti (qadha’) setelah Ramadan berakhir. Namun, bagaimana hukumnya jika seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan utang puasa? Pertanyaan ini telah memicu beragam pendapat di kalangan ulama, menciptakan diskusi fikih yang kompleks dan memerlukan pemahaman yang mendalam.
Landasan Hukum Mengganti Puasa:
Kewajiban mengganti puasa Ramadan memiliki dasar hukum yang kuat dalam Al-Qur’an, khususnya Surat Al-Baqarah ayat 184:
"…..(yaitu) beberapa hari tertentu. Maka, siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, itu lebih baik baginya dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui."
Ayat ini dengan jelas menjelaskan kewajiban mengganti puasa yang tertinggal karena uzur syar’i (halangan yang dibenarkan syariat), baik karena sakit maupun perjalanan. Namun, ayat ini tidak secara eksplisit membahas kasus kematian. Disinilah letak kompleksitas permasalahan hukum mengganti puasa orang yang telah meninggal dunia.
Perbedaan Pendapat Ulama:
Perbedaan pendapat ulama mengenai penggantian puasa orang yang meninggal dunia muncul karena adanya penafsiran berbeda terhadap beberapa hadis dan ayat Al-Qur’an. Secara garis besar, terdapat dua pendapat utama:
1. Pendapat Pertama: Qadha’ Puasa oleh Wali/Keluarga:
Pendapat ini dianut oleh sebagian ulama, termasuk sebagian besar ulama mazhab Syafi’i, Abu Tsaur, Al-Auza’i, dan mazhab Dzahiri. Mereka berpendapat bahwa kewajiban qadha’ puasa tetap berlaku meskipun orang tersebut telah meninggal dunia, dan kewajiban tersebut dilimpahkan kepada wali atau keluarganya. Pendapat ini didasarkan pada beberapa hadis:
-
Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim dari Aisyah ra.: Hadis ini secara ringkas menyatakan, "Barangsiapa meninggal dunia sedang ia masih mempunyai utang puasa, maka dibayarkan oleh walinya." Hadis ini menjadi rujukan utama bagi pendukung pendapat ini. Keotentikan hadis ini yang shahih menjadikannya argumentasi yang kuat.
-
Hadis Riwayat Ibnu Abbas ra.: Dalam riwayat ini, diceritakan seorang yang bertanya kepada Rasulullah SAW tentang hukum qadha’ puasa untuk ibunya yang telah meninggal dunia. Rasulullah SAW menjawab, "Ya. Utang kepada Allah itu lebih berhak untuk dilunasi." Hadis ini memperkuat argumentasi bahwa utang puasa kepada Allah SWT tetap harus dipenuhi, meskipun oleh perantara (wali).
-
Hadis Riwayat Ibnu Abu Syaibah: Hadis ini menceritakan seorang wanita yang bertanya kepada Rasulullah SAW tentang kewajiban qadha’ puasa nadzar (puasa nazar) ibunya yang telah meninggal. Rasulullah SAW menanyakan kepada wanita tersebut apakah ia akan melunasi utang duniawi ibunya, dan setelah wanita tersebut menjawab iya, Rasulullah SAW memerintahkan wanita tersebut untuk berpuasa atas nama ibunya. Hadis ini memperlihatkan analogi antara utang duniawi dan utang ibadah kepada Allah SWT.
Pendukung pendapat ini berargumen bahwa kewajiban qadha’ puasa merupakan hak Allah SWT, dan kematian tidak menghapuskan kewajiban tersebut. Oleh karena itu, keluarga atau wali yang masih hidup memiliki tanggung jawab moral dan fikih untuk menggantikannya. Mereka berkeyakinan bahwa menunaikan qadha’ puasa merupakan bentuk penghormatan dan kepatuhan terhadap perintah Allah SWT, sekaligus sebagai wujud bakti kepada almarhum.
2. Pendapat Kedua: Membayar Fidyah sebagai Pengganti:
Pendapat kedua, yang dianut oleh jumhur ulama (mayoritas ulama), termasuk mazhab Syafi’i (dalam qaul jadid) dan mazhab Hanbali, berpendapat bahwa cukup dengan membayar fidyah sebagai pengganti qadha’ puasa. Pendapat ini didasarkan pada beberapa pertimbangan:
-
Hadis yang melarang penggantian ibadah: Terdapat hadis yang melarang seseorang menggantikan ibadah orang lain, termasuk puasa. Rasulullah SAW bersabda, "Janganlah seseorang melaksanakan shalat untuk orang lain, dan jangan pula menggantikan puasanya. Akan tetapi, berilah makan (orang miskin) sebagai pengganti puasa, yaitu satu mud hinthah untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan." (HR. An-Nasa’i). Hadis ini menjadi landasan utama bagi pendapat ini.
-
Hadis Riwayat Tirmidzi dari Ibnu Umar ra.: Hadis ini juga menyebutkan bahwa pengganti puasa bagi orang yang meninggal dunia adalah dengan memberi makan orang miskin. Hal ini memperkuat argumentasi bahwa fidyah menjadi alternatif yang sah dalam kasus ini.
Pendukung pendapat ini berargumen bahwa ibadah puasa merupakan ibadah khusus yang bersifat personal dan tidak dapat diwakilkan. Oleh karena itu, penggantiannya dilakukan dengan cara yang paling mendekati, yaitu dengan memberikan fidyah kepada orang miskin. Mereka berpendapat bahwa fidyah merupakan bentuk pengganti yang diterima syariat, mengingat kesulitan dalam mengqadha’ puasa orang yang telah meninggal dunia.
Mazhab Hanafi dan Maliki:
Mazhab Hanafi dan Maliki memiliki pandangan yang sedikit berbeda. Mereka berpendapat bahwa fidyah hanya dapat dibayarkan jika almarhum telah meninggalkan wasiat untuk itu. Dengan kata lain, kewajiban membayar fidyah hanya berlaku jika terdapat bukti kehendak almarhum untuk menggantinya dengan fidyah. Tanpa wasiat tersebut, qadha’ puasa tetap menjadi kewajiban yang harus ditunaikan oleh keluarga.
Kesimpulan dan Rekomendasi:
Perbedaan pendapat di atas menunjukkan betapa kompleksnya permasalahan fikih dalam Islam. Tidak ada satu pendapat yang mutlak benar atau salah. Keluarga almarhum dapat memilih salah satu pendapat yang diyakini sesuai dengan pemahaman dan rujukan fikih yang mereka anut. Yang terpenting adalah niat yang ikhlas dan upaya untuk menjalankan apa yang dianggap paling mendekati syariat. Konsultasi dengan ulama atau ahli fikih yang terpercaya sangat disarankan untuk mendapatkan penjelasan yang lebih detail dan sesuai dengan konteks masing-masing kasus.
Waktu Qadha’ Puasa dan Ketentuannya:
Baik qadha’ puasa untuk diri sendiri maupun untuk almarhum, terdapat beberapa ketentuan waktu dan pelaksanaan:
-
Batas Waktu Qadha’: Ulama sepakat bahwa qadha’ puasa harus dilakukan sebelum Ramadan berikutnya. Hal ini berdasarkan Surat Al-Baqarah ayat 185 yang menyebutkan kewajiban mengganti puasa yang tertinggal pada hari-hari yang lain.
-
Pelaksanaan Berturut-turut: Jumhur ulama tidak mewajibkan qadha’ puasa dilakukan secara berturut-turut. Namun, jika memungkinkan, hal tersebut dianjurkan (mustahab) karena dianggap lebih utama. Pendapat yang mewajibkan qadha’ berturut-turut (seperti mazhab Zahiri dan pendapat Al-Hasan Al-Bashri) dianggap telah di-mansukh (dihapus) oleh syariat.
Permasalahan penggantian puasa orang yang telah meninggal dunia merupakan isu yang sensitif dan memerlukan pemahaman yang komprehensif. Penting untuk selalu berpegang pada prinsip kehati-hatian, mencari ilmu, dan bermusyawarah dengan ulama untuk menemukan solusi yang paling tepat dan sesuai dengan ajaran Islam. Semoga uraian di atas dapat memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai permasalahan ini.