ERAMADANI.COM, JAKARTA – Jumat (08/11/2019) hari ini, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo dijadwalkan akan memberikan gelar pahlawan nasional kepada Roehana Koeddoes, asal Sumatera Barat.
Dilansir dari Kompas.com, Ia adalah wartawan Indonesia, pada tahun 1911, yang mendirikan sekolah Kerajinan Amai Setia (KAS) di Koto Gadang.
Sembari aktif di bidang pendidikan yang disenanginya, ia juga menulis di surat kabar perempuan, yaitu Poetri Hindia. Ketika dibredel pemerintah Belanda.
Ia juga berinisiatif mendirikan surat kabar, bernama Sunting Melayu, yang tercatat sebagai salah satu surat kabar perempuan pertama di Indonesia.
Selain jurnalis, ia juga tercatat sebagai pejuang dan pemberdaya perempuan di tanah kelahirannya, Kota Gadang. Bersama Dewi Santika, ia pernah mendirikan sekolah untuk perempuan.
Dengan ragam sumbangsih yang telah diberikan oleh Roehana Koeddoes di negeri ini. Maka, ia berhak mendapat gelar pahlawan nasional juga, sehingga Pemerintah Kota Padang mengusulkannya ke pusat.
Pengusulan Roehana Koeddoes sebagai pahlawan nasional sebenarnya telah dilakukan sejak 2018 lalu, tetapi baru diangkat pada tahun ini.
Jumaidi selaku Kepala Dinas Sosial Sumbar mengatakan, pihaknya telah menerima surat undangan dari Kementerian Sosial yang ditujukan kepada Gubernur Sumbar Irwan Prayitno untuk menghadiri penganugerahan tersebut.
Kehidupan Awal Roehana Koeddoes

Roehana Koeddoes dilahirkan pada 20 Desember 1884 di Kota Gadang, Kecamatan Ampek Koto, Kabupaten Agem, Sumatera Barat, dan meninggal di Jakarta, 17 Agustus 1972 pada umur 87 tahun.
Emil Salim dalam artikel, “100 Tahun Pemberdayaan Perempuan” yang dimuat di Harian Kompas, 21 April 2011 silam, menyebutkan bahwa Roehana sejak kecil tumbuh di lingkungan keluarga berpendidikan.
Ayahnya bernama Muhammad Rasyad Maharajja Sutan, merupakan seorang Hoofd Jaksa yang rumahnya dijadikan sebagai tempat sekolah, bermain, membaca buku, majalah, dan surat kabar.
Karena itulah, sejak kecil Roehana mampu berbicara dan menulis dalam bahasa Melayu dan Belanda.
Saat pergi merantau bersama ayahnya, ia mulai bersentuhan dengan dunia luar yang memperkenalkannya dengan berbagai keterampilan dan kerajinan tangan.
Menikah
Pada tahun 1908, Roehana menikah dengan Abdoel Koeddoes, seorang notaris, penulis, dan aktivis pergerakan pada masa itu.
Bersama suaminya, Roehana semakin bersemangat belajar dan mendidik kaum perempuan Kota Gadang. Namun, apa yang dilakukannya justru dianggap telah merusak budi pekerti perempuan Kota Gadang.
Kehidupan sosial Minangkabau yang memberlakukan sistem matrilineal, pewarisan dan kepala keluarga mengikuti garis keturunan ibu dan disandingkan dengan ajaran Islam menumbuhkan pola kehidupan sosial yang sangat protektif terhadap perempuan.
Oleh karena itu, ia dan suaminya terpaksa meninggalkan Kota Gadang dan merantau ke Padang Panjang dan Maninjau masih dalam kawasan Sumbar.
Di Minanjau, ia mendalami agama dan mempelajari kedudukan perempuan dalam Islam kepada Buya Hamka, dan Buya Syekh Abdul Karim bin Amrullah.
Memperjuangkan Perempuan

Saat tengah menjalani masa merantau itu, Roehana sempat pulang ke kampung halamannya untuk mendirikan perkumpulan perempuan.
Yang saat itu berusia 27 tahun memimpin sebuah pertemuan yang dihadiri oleh 60 perempuan, empat orang ninik-mamak dan ulama. Pertemuan tersebut menyepakati dibentuknya “Perkumpulan Karadjinan (PK) Amai Satia”
Didirikan pada 11 Februari 1911, Amai artinya adalah ibu dalam dialek Agam. Jadi Amai Setia adalah ibu-ibu yang setia.
Bertujuan untuk memajukan perempuan Kota Gadang dalam berbagai aspek kehidupan yang diketuai oleh Roehana Koeddoes.
PK Amai Setia pun mulai bergerak dengan membangkitkan semangat pemberdayaan perempuan Minangkabau serta membekali mereka dengan ilmu dan ketrampilan.
Roehana Koeddoes Juga Seorang Jurnalis

Selain memimpin PK Amai Satia, ia juga diminta untuk menjadi penulis tetap yang kemudian menjadi Pemimpin Redaksi Sunting Melayu, sebuah surat kabar perempuan.
Hal itu membuat namanya tercatat dalam sejarah sebagai perempuan pertama Indonesia yang memimpin surat kabar. Melalui surat kabar itu, ia dan PK Amai menarik perhatian pemuka Belanda di Batavia.
Mereka kemudian mengundang Roehana untuk ikut serta dalam Pameran Internasional di Belanda untuk menunjukkan kreativitas hasil kerajinan tangan dari perempuan Kota Gadang yang fasih berbahasa Belanda.
PK Amai pun tercatat telah mendapat sejumlah penghargaan, seperti Bronzen Ster (1941) dan Penghargaan Upakarti dari Presiden Soeharto (1987), dan Penghargaan Kebudayaan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (2007). (MYR)