Jakarta – Amarah, emosi yang meluap tanpa kendali, merupakan ancaman serius bagi individu dan lingkungan sekitarnya. Dalam ajaran Islam, Nabi Muhammad SAW menekankan pentingnya pengendalian diri, khususnya dalam menghadapi kemarahan. Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan Ath-Thabrani, "Jangan kamu marah, maka bagimu surga," merupakan penegasan akan pahala besar yang didapatkan dari kemampuan mengendalikan emosi negatif ini. Meskipun emosi merupakan bagian inheren dari fitrah manusia, kemampuan untuk mengelola dan tidak terbawa arus amarah merupakan ciri khas orang-orang beriman. Mereka tidak membiarkan diri dikuasai oleh hawa nafsu, melainkan mampu berpikir jernih dan bertindak bijak.
Imam Al-Ghazali, dalam kitab monumental Ihya Ulumuddin, sebagaimana dikutip Aabidah Ummu Aziizah dalam buku Kuliah Adab, menjelaskan bahwa kondisi emosi yang tak terkendali menjadi celah bagi setan untuk merasuki hati manusia. Akibatnya, kehilangan kendali diri yang total terjadi, menjadikan individu sepenuhnya berada di bawah pengaruh setan. Oleh karena itu, pemahaman dan penerapan adab dalam menghadapi emosi menjadi sangat krusial bagi setiap muslim. Adab-adab ini, bukan sekadar ajaran teoritis, melainkan teladan nyata yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW sepanjang hidupnya.
Berikut lima adab mengendalikan emosi dalam Islam yang perlu diperhatikan dan diimplementasikan oleh setiap muslim:
1. Amarah yang Diperkenankan: Semata-mata karena Allah SWT
Buku Pintar 50 Adab Islam karya Arfiani menjelaskan bahwa kemarahan yang dibenarkan dalam Islam adalah kemarahan yang dilandasi oleh penegakan nilai-nilai Ilahi. Melihat pelanggaran hukum Allah SWT, penghinaan terhadap agama, dan kemungkaran yang dilakukan secara sengaja, seorang muslim seyogyanya menunjukkan kemarahan. Hal ini sejalan dengan karakter Nabi Muhammad SAW. Dari Aisyah RA diriwayatkan, "Rasulullah SAW tidaklah memilih dua perkara, melainkan beliau akan memilih yang paling ringan di antara kedua pilihan tersebut, selama tidak mengandung dosa. Namun jika mengandung dosa, maka beliau adalah manusia yang paling jauh darinya. Demi Allah, beliau tidak pernah marah karena kepentingan pribadi, dan jika kehormatan Allah dilanggar maka beliau marah karena-Nya." (HR Bukhari). Kemarahan ini bukanlah kemarahan yang didorong oleh ego atau kepentingan pribadi, melainkan semata-mata karena ketidakridhoan Allah SWT terhadap perbuatan yang melanggar aturan-Nya. Ini menunjukkan bahwa kemarahan, jika diarahkan pada tujuan yang benar dan dilandasi oleh niat yang tulus, bukanlah hal yang tercela.
2. Emosi Terukur dan Bertujuan Jelas: Meneladani Rasulullah SAW
Ali Muhammad Ash-Shallabi dalam Edisi Indonesia: Sejarah Lengkap Rasulullah Jilid 1 (terjemahan Faesal Saleh dkk) menjelaskan bahwa Rasulullah SAW mencontohkan bagaimana mengelola emosi dengan terukur dan memiliki tujuan yang jelas. Rasulullah SAW tidak pernah melampiaskan amarah secara berlebihan atau tanpa alasan yang kuat. Salah satu contohnya adalah ketika beliau melihat Umar bin Khattab RA membawa lembaran dari Kitab Taurat. Dari Jabir bin Abdillah diriwayatkan, Umar RA datang kepada Rasulullah SAW dengan membawa lembaran dari Kitab Taurat sembari berkata, "Wahai Rasulullah ini adalah lembaran dari Kitab Taurat." Rasulullah SAW kemudian terdiam, lalu membacanya, hingga raut wajahnya pun berubah. Abu Bakar Ash Shiddiq RA bertanya, "Apakah engkau tidak melihat raut muka Rasulullah?" Umar RA pun melihat ke arah Rasulullah SAW, seraya berkata, "Aku berlindung kepada Allah dari kemarahan Allah dan rasul-Nya. Kami ridha Allah sebagai tuhan kami, Islam sebagai agama kami, Muhammad SAW sebagai nabi kami." Lalu Rasulullah SAW pun bersabda, "Demi Dzat yang menggenggam jiwa Muhammad, jika Musa hadir di hadapan kalian, kemudian kalian mengikutinya dan meninggalkanku maka kalian akan tersesat dari jalan lurus. Bahkan seandainya Musa masih hidup dan menyaksikan kenabianku, niscaya dia akan mengikutiku." Kisah ini menunjukkan bahwa kemarahan Rasulullah SAW terarah dan bertujuan untuk meluruskan pemahaman yang keliru, bukan untuk melampiaskan emosi pribadi.
3. Menahan Amarah: Keutamaan Kesabaran dan Pengendalian Diri
Ayat Al-Quran surat Ali Imran ayat 134 menekankan pentingnya menahan amarah sebagai bagian dari akhlak yang terpuji. Ayat tersebut berbunyi: "(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan." (Terjemahan bebas). Ayat ini mengaitkan menahan amarah dengan sifat-sifat terpuji lainnya seperti berinfak dan pemaaf. Badrul Munir Buchori dalam buku La Takhsya menjelaskan bahwa menahan amarah merupakan adab penting dalam mengelola emosi. Kemampuan untuk mengendalikan diri di saat emosi memuncak menunjukkan kedewasaan spiritual dan keimanan yang kuat. Ini bukan berarti meniadakan emosi, melainkan mengelola dan mengarahkannya dengan bijak.
4. Diam: Menghindari Perkataan yang Menyesal
Salah satu cara efektif untuk mengendalikan amarah adalah dengan diam. Ketika emosi memuncak, seringkali seseorang mengucapkan kata-kata yang kasar, menyakiti, dan bahkan menyesal di kemudian hari. Rasulullah SAW bersabda, "Ajarilah, permudahlah, dan jangan menyusahkan. Apabila salah seorang dari kalian marah, hendaklah ia diam." (HR Ahmad). Diam dalam kondisi marah bukan berarti pasif, melainkan strategi untuk menenangkan diri dan mencegah perkataan yang merugikan. Menahan diri dari berbicara ketika marah merupakan bentuk pengendalian diri yang sangat penting.
5. Mengubah Posisi Tubuh: Teknik Fisik untuk Mengendalikan Emosi
Selain aspek spiritual dan mental, pengendalian emosi juga dapat dilakukan melalui cara fisik. Hadits Nabi SAW menjelaskan, "Jika salah seorang di antara kalian marah ketika berdiri, maka hendaklah ia duduk. Apabila marahnya tidak hilang juga, maka hendaklah ia berbaring." (HR Ahmad). Mengubah posisi tubuh, dari berdiri ke duduk atau berbaring, dapat membantu menenangkan sistem saraf dan mengurangi intensitas emosi. Ini merupakan teknik sederhana namun efektif untuk mengendalikan amarah secara fisik.
Kesimpulannya, mengelola amarah merupakan bagian integral dari keimanan dan akhlak mulia dalam Islam. Lima adab yang telah diuraikan di atas merupakan panduan praktis yang dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan memahami dan mengamalkan adab-adab ini, setiap muslim dapat mengendalikan emosi, mencegah konflik, dan membangun hubungan yang harmonis dengan sesama. Kemampuan mengendalikan diri ini bukan hanya bermanfaat bagi individu, melainkan juga bagi masyarakat dan lingkungan sekitar. Semoga uraian ini dapat menjadi renungan dan panduan bagi kita semua dalam mengelola emosi dan membangun karakter yang lebih baik.