Jakarta – Amarah, sebagai respons emosional yang universal, tak terkecuali bagi umat manusia. Namun, ajaran Islam menawarkan panduan bijak dalam pengelolaan emosi yang satu ini. Nabi Muhammad SAW, teladan utama umat Islam, menekankan pentingnya pengendalian diri dan memberikan contoh nyata bagaimana merespons amarah dengan penuh hikmah. Pemahaman yang mendalam tentang adab marah dalam Islam menjadi kunci untuk menjalani kehidupan yang harmonis dan bermartabat.
Hadis Nabi SAW tentang Kekuatan Menahan Amarah:
Beberapa hadis sahih menggarisbawahi pentingnya pengendalian amarah. Salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim berbunyi: “Orang yang paling kuat bukanlah yang pandai bergulat, tetapi orang yang mampu menahan dirinya ketika marah.” Hadis ini secara tegas menempatkan kemampuan mengendalikan amarah sebagai ukuran kekuatan sejati, melebihi kekuatan fisik semata. Kemampuan menahan diri di tengah gejolak emosi menunjukkan kedewasaan spiritual dan ketahanan mental yang luar biasa.
Hadis lain yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA memperkuat pesan tersebut. Dalam hadis ini, Nabi SAW berulang kali menjawab pertanyaan tentang nasihat terbaik dengan kalimat singkat namun penuh makna: "Jangan marah!" Pengulangan ini menekankan urgensi dan esensialitas pengendalian amarah dalam kehidupan seorang muslim. Kemampuan untuk menahan amarah bukan sekadar menghindari konfrontasi, melainkan merupakan manifestasi dari keimanan dan ketakwaan yang mendalam.
Teladan Nabi Muhammad SAW dalam Mengelola Amarah:
Nabi Muhammad SAW dikenal sebagai pribadi yang sangat jarang marah dan bahkan lebih jarang lagi menunjukkan kemarahan dengan cara yang kasar atau tidak terkendali. Beliau merupakan contoh nyata bagaimana amarah dapat dikelola dengan bijaksana. Riwayat dari Al Hasan bin Ali, yang bersumber dari pamannya, menceritakan bahwa Nabi SAW seringkali mengalihkan amarahnya dengan memalingkan wajah. Tindakan sederhana ini menunjukkan upaya sadar untuk meredakan emosi sebelum meledak menjadi kemarahan yang merusak.
Kitab Mama’ Az-Zawa’id, yang diterjemahkan oleh Ash-Shallabi & Prof. DR. Ali Muhammad, menyajikan kisah-kisah yang menggambarkan bagaimana Nabi SAW menunjukkan kemarahan yang terukur dan berorientasi pada tujuan. Salah satu contohnya adalah ketika Umar bin Khattab RA datang membawa lembaran dari Kitab Taurat. Reaksi Nabi SAW, yang awalnya tampak diam, kemudian berubah menjadi ekspresi serius saat membaca lembaran tersebut. Hal ini memicu kekhawatiran dari Abu Bakar Ash-Shiddiq RA. Namun, reaksi Umar RA yang bijak, "Aku berlindung kepada Allah dari kemarahan Allah dan Rasul-Nya," menenangkan situasi dan menunjukkan pemahaman akan batasan kemarahan yang dibenarkan. Nabi SAW kemudian menjelaskan pentingnya ketaatan kepada ajaran kenabian-Nya.
Kisah lain menunjukkan kemarahan Nabi SAW yang terpicu oleh pelanggaran terhadap ketentuan Allah SWT. Zaid bin Tsabit meriwayatkan dalam hadis Bukhari tentang bagaimana Nabi SAW, yang memiliki ruang kecil untuk salat malam, merespons sekelompok orang yang datang dan mengganggu kesunyian ibadahnya. Meskipun marah, Nabi SAW tetap menjelaskan keutamaan salat malam dengan cara yang bijak, menekankan pentingnya ibadah sunnah tersebut dilakukan dengan cara yang tertib dan tidak mengganggu orang lain. Kemarahan beliau bukan didasarkan pada emosi sesaat, melainkan pada penegakan aturan dan kesopanan dalam beribadah.
Sikap yang Dianjurkan Saat Menghadapi Amarah:
Islam mengajarkan beberapa cara efektif untuk menghadapi dan mengendalikan amarah. Salah satu yang paling penting adalah memohon perlindungan kepada Allah SWT. Berdoa dan mengingat Allah SWT dapat menenangkan hati dan pikiran, membantu individu untuk mengendalikan emosi negatif.
Selain itu, hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan at-Tirmidzi menjanjikan pahala besar bagi mereka yang mampu menahan amarah. Hadis tersebut berbunyi: "Barangsiapa yang menahan amarah sedang dia mampu melampiaskannya, maka Allah akan memanggilnya di hadapan para makhluk pada hari kiamat hingga dia disuruh memilih bidadari mana saja yang dia sukai." Janji pahala surgawi ini menjadi motivasi kuat bagi setiap muslim untuk senantiasa berusaha mengendalikan amarah.
Bahaya dan Batasan Amarah dalam Islam:
Amarah yang tidak terkendali dapat berdampak buruk bagi individu dan lingkungan sekitarnya. Dalam kondisi marah, setan dapat dengan mudah mempengaruhi pikiran dan tindakan seseorang, mendorong perilaku negatif seperti kekerasan verbal atau fisik. Hadis dalam Kitab Al Mu’jamul Ausath menekankan pentingnya menghindari amarah untuk meraih surga. Hadis ini secara singkat namun tegas menyatakan: "Jangan kamu marah, maka bagimu surga."
Meskipun Islam tidak melarang marah sepenuhnya, amarah yang dibenarkan harus memiliki sebab yang jelas dan tidak melampaui batas kewajaran. Buku "Membuka Pintu Kebahagiaan" karya Ali Ridho menjelaskan bahwa marah boleh dilakukan, tetapi harus terkendali dan tidak disertai dengan ucapan kasar atau tindakan kekerasan yang menyakiti orang lain. Penting untuk diingat bahwa memaafkan merupakan sikap yang mulia dan dianjurkan dalam Islam. Prinsip utama dalam Islam adalah kedamaian, kasih sayang, dan penghormatan terhadap sesama manusia. Kekerasan dalam segala bentuknya dihindari dan dikutuk.
Kesimpulannya, ajaran Islam memberikan panduan komprehensif tentang bagaimana mengelola amarah. Bukan sekadar menghindari amarah, melainkan mengendalikan dan mengarahkannya dengan bijak. Dengan meneladani Nabi Muhammad SAW dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam, setiap muslim dapat mengelola amarah dengan efektif, membangun hubungan yang harmonis, dan mencapai kedamaian batin. Kemampuan mengendalikan amarah bukanlah tanda kelemahan, melainkan bukti kekuatan spiritual dan kedewasaan emosional yang sejati.