ERAMADANI.COM, JAKARTA – Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Republik Indonesia, Nadiem Makarim, mengeluarkan kebijakan terkait UKT untuk seluruh perguruan tinggi di Indonesia baik negeri maupun swasta.
Hal ini merespon, krisis ekonomi yang melanda Indonesia akibat dari pandemi Covid-19 dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), berimbas pada sektor pendidikan.
Hal ini, terlihat dari maraknya tuntutan mahasiswa dan dosen di beberapa perguruan tinggi yang menuntut pengurangan jumlah tagihan Uang Kuliah Tunggal (UKT).
Dilansir dari Kumparan.com, ada 3 kebijakan yang dikeluarkan Kemenetrian Pendidikan dan Kebudayaan untuk merespons tuntutan tersebut.
Pertama, perguruan tinggi diperbolehkan menyesuaikan UKT untuk mahasiswa yang mengalami kendala finansial akibat pandemi Covid-19.
“Kami keluarkan kebijakan secara eksplisit, untuk tidak mewajibkan mahasiswa membayar UKT apabila yang bersangkutan sedang cuti kuliah atau tidak mengambil kredit atau SKS,” ungkapnya.
Kedua, pemimpin perguruan tinggi dapat memberikan keringanan UKT dan dapat memberikan proposal baru untuk para mahasisiwa. Keputusan ini diambil berdasarkan hasil kesepakatan musyawarah dengan Rektor Perguruan Tinggi Negeri (PTN) tertanggal 22 April 2020.
Ketiga, mahasiswa diwajibkan untuk membayar maksimal 50% dari UKT mereka. Kebijakan ini diberikan untuk mahasiswa yang mengambil 6 SKS dan di bawah 6 SKS.
Selain itu, kebijakan tersebut juga diberikan untuk mahasiswa sarjana semester 9 dan mahasiswa diploma semester 7.
“Kebijakan ini diberikan untuk mengehemat biaya mahasiswa, walaupun mereka tidak menikmati fasilitas dan layanan pendidikan,” tuturnya.
Selain itu, ia juga menginstruksikan untuk memberikan fleksibilitas pembayaran untuk para mahasiswa tingkat akhir.
Keringanan UKT Berupa Cicilan
Kemendikbud juga memberikan keringanan kepada mahasiswa perguruan tinggi berupa cicilan pembayaran UKT, penundaan pembayaran UKT yang disesuaikan dengan kemampuan ekonomi mahasiswa.
Menurunkan jumlah tagihan UKT, pemberian beasiswa, dan pemberian infrastruktur guna proses belajar mengajar yang berupa jaringan internet dan pulsa.
“Kami memberikan kemerdekaan kepada universitas untuk menentukan berapa komposisi keringanan tersebut sesuai dengan kemampuan mereka,” pungkasnya.
“Kebijakan ini merupakan regulasi dan memiliki dasar hukum yang telah ditetapkan. Setelah sebelumnya, tidak ada regulasi yang mengatur hal tersebut,” katanya.
Hingga kini, telah ada 7 universitas yang telah menetapkan program penyesuaian dan keringanan dan penyesuaian.
Beberapa diantaranya adalah Universitas Gajah Mada, Institut Pertanian Bogor, Universitas Sebelas Maret, Universitas Negeri Surabaya, Universitas Negeri Semarang, dan Universitas Negeri Gorontalo.
“Kami merasa banyak sekali mahasiswa swasta yang juga sangat rentan tidak lulus atau tidak mampu membayar UKT mereka,” ujarnya.
Dana tersebut akan digunakan untuk mensubsidi 410 ribu mahasiswa terutama Perguruan Tinggi Swasta (PTS), di luar beasiswa bidik misi, dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) kuliah. (MYR)