Jakarta – Air mata, manifestasi emosi manusia yang kompleks, seringkali muncul sebagai respons terhadap berbagai perasaan; kesedihan, haru, sakit, bahkan kemarahan. Dalam konteks ibadah puasa, pertanyaan mengenai status hukum menangis—apakah membatalkan puasa atau tidak—seringkali muncul di kalangan umat Muslim. Artikel ini akan mengkaji secara mendalam isu tersebut, merujuk pada sumber-sumber keagamaan dan pendapat para ulama, sekaligus menjelaskan secara rinci hal-hal yang sebenarnya membatalkan puasa.
Secara tegas, tidak ada dalil dalam Al-Qur’an maupun Hadits yang menyatakan bahwa menangis membatalkan puasa. Baik air mata yang keluar karena kesedihan mendalam, haru biru yang membuncah, atau bahkan tangis akibat rasa sakit fisik, semuanya tidak berpengaruh terhadap sahnya ibadah puasa. Pendapat ini diperkuat oleh berbagai referensi keagamaan yang kredibel.
M. Quraish Shihab, ulama terkemuka dan tafsirwan Al-Qur’an yang disegani, dalam karyanya 1001 Soal Keislaman Yang Patut Anda Ketahui, secara eksplisit menyatakan bahwa menangis tidak membatalkan puasa. Pendapat serupa juga diungkapkan dalam buku Siapa Berpuasa Dimudahkan Urusannya karya Khalifa Zain Nasrullah, yang menekankan absennya dalil yang mendukung pernyataan bahwa menangis, apapun penyebabnya, membatalkan puasa.
Menangis, pada hakikatnya, merupakan ekspresi naluriah manusia. Ia merupakan bagian dari fitrah yang dianugerahkan Allah SWT. Bahkan, dalam beberapa konteks, menangis justru mendapatkan apresiasi positif dalam ajaran Islam. Rasulullah SAW sendiri telah menyinggung keutamaan menangis dalam sebuah hadits yang mulia: "Ada tiga pasang mata yang diharamkan masuk neraka, yaitu mata yang menangis karena takut kepada Allah, mata yang tidak tidur semalaman dalam perjuangan fi sabilillah, dan mata yang dipejamkan dari sesuatu yang diharamkan Allah atau mata yang dicungkil dalam perjuangan fisabilillah." Hadits ini menunjukkan bahwa menangis karena ketakwaan kepada Allah SWT, bahkan mendapatkan ganjaran yang mulia di sisi-Nya. Hal ini menunjukkan bahwa menangis sendiri bukanlah tindakan yang tercela, apalagi sampai membatalkan ibadah puasa.
Namun, penting untuk membedakan antara menangis dan tindakan-tindakan lain yang secara eksplisit dinyatakan membatalkan puasa. Agar pemahaman kita lebih komprehensif, mari kita bahas secara detail hal-hal yang memang membatalkan puasa berdasarkan referensi keagamaan yang sahih, seperti yang dirangkum dalam buku Inilah Alasan Rasulullah SAW Menganjurkan Puasa Sunah karya H. Amirulloh Syarbini:
1. Sengaja Makan dan Minum: Ini merupakan hal yang paling fundamental dan jelas membatalkan puasa. Barangsiapa yang dengan sengaja mengonsumsi makanan atau minuman, meskipun hanya sedikit, selama waktu puasa, maka puasanya batal. Lebih dari itu, menurut sebagian ulama, tindakan ini tidak hanya membatalkan puasa, tetapi juga mendatangkan dosa dan laknat Allah SWT. Namun, terdapat pengecualian. Jika makan atau minum tersebut dilakukan secara tidak sengaja, misalnya karena lupa, maka puasanya tetap sah, dengan catatan ia segera menghentikan konsumsi tersebut dan melanjutkan puasanya. Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang lupa ketika berpuasa. Lalu ia makan atau minum, maka hendaklah puasanya itu diteruskan sampai selesai. Karena sesungguhnya Allah telah memberi dia makan dan minum." Hadits ini menunjukkan rahmat dan keadilan Allah SWT dalam mempertimbangkan faktor ketidaksengajaan.
2. Bersetubuh di Siang Hari: Tindakan intim suami istri selama waktu puasa merupakan salah satu hal yang secara tegas membatalkan puasa. Ini merupakan pelanggaran yang jelas terhadap aturan puasa, dan konsekuensinya adalah batalnya ibadah tersebut.
3. Sengaja Muntah: Muntah, yaitu keluarnya isi perut melalui mulut, juga dapat membatalkan puasa jika dilakukan secara sengaja. Namun, jika muntah terjadi secara tidak sengaja, misalnya karena mual atau sakit perut, maka puasanya tetap sah. Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang terpaksa muntah maka tidak wajib qadha baginya, tetapi barangsiapa yang sengaja muntah, maka ia wajib qadha." (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Nsa’i, Ibnu Majah dan Ahmad). Perbedaan antara sengaja dan tidak sengaja ini menjadi sangat krusial dalam menentukan status hukum puasanya.
4. Haid atau Nifas: Bagi perempuan muslim, datangnya haid atau nifas selama bulan Ramadhan akan membatalkan puasanya. Ini merupakan ketentuan khusus yang mempertimbangkan kondisi fisiologis perempuan. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hal ini. Puasa wajib diganti pada hari-hari lain setelah masa haid atau nifas berakhir.
5. Murtad: Murtad, yaitu keluar dari agama Islam secara sadar dan sengaja, merupakan tindakan yang membatalkan semua ibadah, termasuk puasa. Ini merupakan pelanggaran fundamental terhadap aqidah Islam, dan konsekuensinya sangat serius, tidak hanya membatalkan puasa tetapi juga berdampak pada status keislaman seseorang. Al-Qur’an surat Al-An’am ayat 88 menegaskan hal ini: "…Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan." Ayat ini menekankan pentingnya keimanan dan ketaatan kepada Allah SWT sebagai dasar dari semua amal ibadah.
Kesimpulannya, menangis bukanlah hal yang membatalkan puasa. Hal ini didasarkan pada absennya dalil yang melarang atau menyatakan batalnya puasa karena menangis. Sebaliknya, beberapa hal seperti sengaja makan dan minum, bersetubuh, sengaja muntah, haid/nifas, dan murtad, secara jelas membatalkan puasa. Penting bagi setiap muslim untuk memahami secara benar hukum-hukum fiqih terkait puasa agar dapat menjalankan ibadah ini dengan khusyuk dan sesuai dengan tuntunan agama. Semoga penjelasan ini dapat memberikan pemahaman yang lebih komprehensif dan menghilangkan keraguan mengenai status hukum menangis selama menjalankan ibadah puasa. Konsultasi dengan ulama atau ahli fiqih yang terpercaya tetap dianjurkan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam dan sesuai dengan konteks masing-masing individu.