Jakarta, 4 Februari 2025 – Menteri Agama Republik Indonesia (Menag), Yaqut Cholil Qoumas (Nama Menag yang benar), dalam pidato kunci Sarasehan Ulama NU 2025 di Hotel Sultan, Jakarta, hari ini, memberikan pencerahan mendalam mengenai pemahaman dan implementasi toleransi beragama di Indonesia. Menag menekankan perbedaan krusial antara toleransi dan koeksistensi, sebuah isu yang kerap kali tercampur aduk dalam wacana keagamaan nasional. Pernyataan Menag ini memicu diskusi penting tentang bagaimana membangun kerukunan antarumat beragama yang substansial dan bermakna, melampaui sekadar keberadaan bersama yang pasif.
Menag, dalam paparannya yang tajam dan lugas, menggarisbawahi bahwa koeksistensi semata-mata menggambarkan kondisi di mana berbagai kelompok agama hadir secara bersamaan, namun tanpa adanya interaksi dan sinergi yang berarti. "Jangan sampai kita hanya terjebak dalam koeksistensi," tegas Menag. "Koeksistensi berarti kita hadir di sini, mereka di sana, saling berdampingan tanpa gangguan. Namun, itu belum cukup untuk menggambarkan kerukunan yang sesungguhnya." Pernyataan ini mencerminkan kekhawatiran Menag terhadap potensi stagnasi dalam hubungan antarumat beragama, di mana perbedaan agama hanya dimaknai sebagai pembatas, bukan sebagai jembatan menuju pemahaman dan kerja sama.
Menag kemudian menguraikan makna toleransi yang lebih dalam dan substansial. Menurutnya, toleransi bukan sekadar keberadaan bersama yang pasif, melainkan ikatan cinta kasih kemanusiaan yang menyatukan seluruh umat beragama. "Toleransi diikat oleh rasa cinta sebagai sesama manusia," jelas Menag. "Di situlah letak ukhuwah basyariah, ukhuwah wathaniyah, dan bahkan ukhuwah nahdliyin kita terjalin. Ukhuwah yang berlapis inilah yang mematangkan toleransi sejati." Penjelasan ini menekankan pentingnya dimensi kemanusiaan dalam membangun toleransi, melebihi sekadar penghormatan terhadap perbedaan ritual keagamaan. Toleransi, menurut Menag, merupakan pondasi kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis, dibangun di atas rasa saling menghargai dan mengasihi, terlepas dari perbedaan keyakinan.
Lebih lanjut, Menag mengkritik praktik indoktrinasi dalam pengajaran agama yang dapat menghambat terwujudnya toleransi sejati. Ia menyerukan kepada para guru agama untuk meninggalkan metode pengajaran yang kaku dan dogmatis, dan menggantinya dengan pendekatan yang lebih inklusif dan humanis. "Kita harus menumbuhkan toleransi sejati, bukan hanya koeksistensi," tegas Menag. Seruan ini merupakan pesan penting bagi para pendidik agama untuk mempertimbangkan dampak pengajaran mereka terhadap pembentukan karakter siswa yang toleran dan berwawasan luas. Inisiatif ini menunjukkan komitmen Menag dalam membangun fondasi kehidupan beragama yang lebih harmonis dan beradab.
Sarasehan Ulama NU 2025 yang bertema "Asta Cita dalam Perspektif Ulama NU" merupakan forum strategis yang diselenggarakan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) bekerja sama dengan detikHikmah dan detikcom, dengan dukungan Bank Syariah Indonesia dan MIND ID. Forum ini menghadirkan tokoh-tokoh penting dari berbagai latar belakang, menunjukkan komitmen multi-stakeholder dalam membangun kerukunan antarumat beragama.
Selain Menag, acara ini juga dihadiri oleh Yahya Cholil Staquf selaku Ketua Umum PBNU, Chairul Tanjung selaku Chairman CT Corp, ekonom senior Burhanuddin Abdullah, serta sejumlah tokoh dan cendekiawan lainnya. Kehadiran tokoh-tokoh ini menunjukkan tingkat kepentingan dan komitmen yang tinggi terhadap tema sarasehan, yakni mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia yang berlandaskan kerukunan dan toleransi antarumat beragama. Kehadiran para tokoh ini juga menunjukkan bahwa pembahasan mengenai toleransi dan koeksistensi bukanlah sekedar wacana akademis, melainkan permasalahan yang mendesak untuk diselesaikan secara konkret dan berkelanjutan.
Pernyataan Menag mengenai perbedaan antara toleransi dan koeksistensi membuka ruang diskusi yang lebih luas mengenai implementasi nilai-nilai kebangsaan dalam konteks kehidupan beragama. Perbedaan ini bukan sekadar perbedaan terminologi, melainkan menunjukkan perbedaan yang mendasar dalam pemahaman dan praktik kerukunan antarumat beragama. Koeksistensi yang hanya menekankan keberadaan bersama tanpa interaksi yang bermakna dapat menciptakan suasana yang dingin dan tidak kondusif bagi terwujudnya kerukunan yang sesungguhnya.
Sebaliknya, toleransi yang dibangun di atas landasan cinta kasih kemanusiaan akan menciptakan iklim yang lebih hangat dan kondusif bagi terwujudnya kerukunan antarumat beragama. Hal ini menuntut semua pihak, termasuk pemerintah, lembaga keagamaan, dan masyarakat madani, untuk terus berupaya meningkatkan pemahaman dan implementasi nilai-nilai toleransi dalam kehidupan sehari-hari.
Peran para guru agama dalam membangun toleransi juga sangat penting. Mereka berperan sebagai agen sosialisasi nilai-nilai agama yang inklusif dan humanis. Oleh karena itu, penting bagi para guru agama untuk terus meningkatkan kompetensi dan kualitas pengajaran mereka, sehingga dapat menghasilkan generasi muda yang toleran dan berwawasan luas.
Sarasehan Ulama NU 2025 ini merupakan langkah konkret dalam upaya membangun kerukunan antarumat beragama di Indonesia. Forum ini memberikan ruang bagi para ulama dan tokoh agama untuk berdiskusi dan bertukar pikiran mengenai bagaimana mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia yang berlandaskan kerukunan dan toleransi. Harapannya, diskusi ini akan menghasilkan rekomendasi dan langkah-langkah konkret yang dapat diimplementasikan untuk meningkatkan kerukunan antarumat beragama di Indonesia.
Kesimpulannya, pernyataan Menag mengenai perbedaan toleransi dan koeksistensi merupakan langkah penting dalam mendorong pemahaman yang lebih mendalam mengenai kerukunan antarumat beragama. Menag tidak hanya menekankan pentingnya keberadaan bersama, tetapi juga menekankan pentingnya interaksi dan sinergi yang bermakna di antara umat beragama di Indonesia. Hal ini menuntut semua pihak untuk terus berkomitmen dalam membangun toleransi yang sesungguhnya, yaitu toleransi yang dibangun di atas landasan cinta kasih kemanusiaan. Semoga sarasehan ini dapat menjadi momentum bagi terwujudnya kerukunan antarumat beragama yang lebih kuat dan berkelanjutan di Indonesia. Peran aktif semua pihak sangat dibutuhkan untuk mewujudkan cita-cita tersebut.