Jakarta, 1 Desember 2024 – Memutuskan tali silaturahmi, tindakan yang sering dianggap sepele dalam kehidupan modern, memiliki konsekuensi yang sangat serius dalam ajaran Islam. Bukan sekadar perselisihan biasa, putusnya hubungan kekeluargaan dan persaudaraan ini dipandang sebagai pelanggaran berat yang berpotensi mengundang murka Allah SWT, mengakibatkan penolakan amal ibadah, dan bahkan berujung pada siksa neraka. Hal ini ditegaskan dalam berbagai ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW, mengingatkan umat Islam akan pentingnya menjaga dan merawat ikatan persaudaraan sebagai manifestasi keimanan yang sejati.
Ayat-ayat suci Al-Qur’an secara implisit dan eksplisit menggarisbawahi pentingnya silaturahmi. Meskipun tidak terdapat satu ayat yang secara langsung mencantumkan kalimat “putus silaturahmi” sebagai dosa besar, banyak ayat yang menekankan pentingnya berbuat baik kepada keluarga, kerabat, dan sesama manusia. Konsep ini terjalin erat dengan ajaran tentang kasih sayang, kepedulian, dan toleransi yang menjadi pilar utama ajaran Islam. Misalnya, dalam surat An-Nisa ayat 1, Allah SWT memerintahkan untuk berbuat baik kepada kedua orang tua, kerabat, dan anak yatim. Keengganan untuk menjalin hubungan baik dengan mereka, apalagi sampai memutuskannya, dapat diinterpretasikan sebagai bentuk ketidaktaatan terhadap perintah Allah SWT.
Lebih lanjut, banyak hadits Nabi Muhammad SAW yang secara eksplisit membahas tentang dosa memutus silaturahmi. Hadits-hadits ini tidak hanya menggambarkan konsekuensi duniawi, tetapi juga konsekuensi akhirat yang mengerikan. Salah satu hadits yang sering dikutip menyebutkan bahwa orang yang memutus silaturahmi akan dijauhkan dari rahmat Allah SWT dan amalnya tidak akan diterima. Ini bukan sekadar ancaman, tetapi gambaran nyata dari dampak negatif tindakan tersebut terhadap hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Putusnya silaturahmi dipandang sebagai bentuk pengingkaran terhadap anugerah Allah SWT berupa keluarga dan kerabat, yang seharusnya menjadi sumber kekuatan dan dukungan spiritual.
Hadits-hadits lain bahkan menggambarkan betapa beratnya dosa memutus silaturahmi. Ada yang menyebutkan bahwa orang yang memutus silaturahmi akan mendapatkan azab Allah SWT di dunia dan akhirat. Azab duniawi dapat berupa berbagai macam kesulitan hidup, mulai dari masalah ekonomi hingga keretakan hubungan sosial. Sementara itu, azab akhirat yang lebih mengerikan berupa siksa neraka, merupakan konsekuensi yang tak terelakkan bagi mereka yang tetap berkeras hati untuk memutus tali silaturahmi. Gambaran neraka yang mengerikan dalam hadits-hadits tersebut seharusnya menjadi pengingat bagi setiap muslim untuk senantiasa menjaga hubungan baik dengan keluarga dan kerabat.
Namun, penting untuk dipahami bahwa konsep "pemutusan silaturahmi" tidak selalu berarti putus kontak secara fisik sepenuhnya. Terkadang, perselisihan dan konflik dalam keluarga memang tak terhindarkan. Yang menjadi masalah utama bukanlah adanya perselisihan itu sendiri, melainkan sikap dan tindakan yang diambil dalam menghadapinya. Memutuskan komunikasi sepenuhnya, menghindari pertemuan, dan bahkan menyebarkan fitnah merupakan tindakan yang termasuk dalam kategori memutus silaturahmi. Sebaliknya, upaya untuk menyelesaikan konflik dengan bijak, memaafkan kesalahan, dan tetap menjaga hubungan meskipun ada perbedaan pendapat merupakan sikap yang terpuji dan sesuai dengan ajaran Islam.
Islam mengajarkan jalan tengah dalam menghadapi konflik keluarga. Umat Islam didorong untuk senantiasa berusaha memperbaiki hubungan, mencari solusi yang adil, dan berdamai. Proses ini membutuhkan kesabaran, keikhlasan, dan kebijaksanaan. Mencari pertolongan dari pihak ketiga yang bijak, seperti tokoh agama atau keluarga yang lebih senior, juga dapat menjadi solusi yang efektif. Yang terpenting adalah niat baik untuk memperbaiki hubungan dan kesediaan untuk memaafkan. Maaf bukanlah tanda kelemahan, tetapi bukti kekuatan iman dan kedewasaan spiritual.
Lebih jauh lagi, konsekuensi memutus silaturahmi tidak hanya berdampak pada individu yang memutuskannya, tetapi juga pada keluarganya dan lingkungan sekitarnya. Putusnya hubungan dalam keluarga dapat menciptakan perpecahan dan konflik yang berkelanjutan, menciptakan suasana yang tidak harmonis, dan berdampak negatif pada tumbuh kembang anak-anak. Lingkungan sosial pun akan terpengaruh, menciptakan jurang pemisah dan mengurangi rasa kebersamaan. Oleh karena itu, menjaga silaturahmi bukan hanya kewajiban individu, tetapi juga tanggung jawab sosial yang penting.
Dalam konteks masyarakat modern yang serba cepat dan individualistis, menjaga silaturahmi menjadi tantangan tersendiri. Kesibukan pekerjaan, jarak geografis, dan perbedaan pendapat seringkali menjadi penghalang dalam menjalin hubungan yang harmonis. Namun, dengan memanfaatkan teknologi komunikasi modern dan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya silaturahmi, tantangan ini dapat diatasi. Sebuah panggilan telepon, pesan singkat, atau kunjungan singkat dapat menjadi jembatan untuk mempererat hubungan yang mungkin telah renggang.
Kesimpulannya, pemutusan silaturahmi merupakan tindakan yang sangat serius dalam ajaran Islam. Konsekuensi yang ditimbulkan, baik di dunia maupun akhirat, sangat berat dan patut dihindari. Umat Islam didorong untuk senantiasa menjaga dan merawat hubungan baik dengan keluarga dan kerabat, mencari solusi yang bijak dalam menghadapi konflik, dan memaafkan kesalahan. Menjaga silaturahmi bukan hanya kewajiban agama, tetapi juga kunci untuk menciptakan kehidupan yang harmonis, bermakna, dan berkah. Semoga kita semua senantiasa diberi kekuatan dan hidayah oleh Allah SWT untuk senantiasa menjaga dan mempererat tali silaturahmi. Semoga Allah SWT melindungi kita dari dosa memutus silaturahmi dan memberikan kita kekuatan untuk selalu berbuat baik kepada sesama.