Islam, sebagai agama yang universal dan dinamis, telah melahirkan beragam interpretasi dan pemahaman ajarannya sepanjang sejarah. Perbedaan pendapat dan aliran pemikiran muncul seiring perkembangan zaman, menghasilkan kekayaan interpretatif namun juga potensi konflik. Di tengah keberagaman ini, Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) muncul sebagai sebuah pemahaman yang menekankan kemurnian ajaran Nabi Muhammad SAW dan kesepakatan para sahabat. Pemahaman ini bukan sekadar aliran, melainkan representasi dari karakteristik utama umat Islam yang menjunjung tinggi keseimbangan, toleransi, dan moderasi. Namun, siapakah sebenarnya Ahlussunnah wal Jamaah, dan siapakah tokoh-tokoh kunci yang berperan dalam merumuskan dan melestarikan pemahaman ini?
Ahlussunnah wal Jamaah: Definisi dan Landasannya
Secara etimologis, istilah "Ahlussunnah wal Jamaah" terdiri dari tiga unsur kunci. "Ahl" berarti keluarga, golongan, atau pengikut. "Sunnah" merujuk pada segala sesuatu yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, meliputi perkataan, perbuatan, dan persetujuan beliau. "Jamaah" menunjukkan kesepakatan dan konsensus para sahabat Rasulullah SAW, khususnya pada masa Khulafaur Rasyidin. Oleh karena itu, Aswaja secara sederhana dapat diartikan sebagai golongan atau kaum yang berpegang teguh pada ajaran Islam yang murni, sesuai dengan teladan Nabi Muhammad SAW dan praktik para sahabatnya.
Pemahaman ini bukan sekadar pengulangan ajaran, melainkan interpretasi yang berkembang dan diperkaya oleh ulama-ulama terdahulu (salafus shalih). Mereka berperan penting dalam menjaga kemurnian ajaran Aswaja, melindungi dari penyimpangan dan interpretasi yang menyimpang dari ajaran inti Islam. Nilai-nilai fundamental Aswaja, yakni tawasuth (moderasi), tasamuh (toleransi), dan tawazun (keseimbangan), menjadi pilar utama dalam menghadapi keragaman dan perbedaan di tengah masyarakat. Ketiga nilai ini menekankan pentingnya sikap tengah, menerima perbedaan pendapat, dan menjaga keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan.
Tokoh-Tokoh Kunci dalam Perkembangan Aswaja:
Meskipun tidak ada satu tokoh pun yang secara eksplisit mendirikan Aswaja sebagai sebuah mazhab, beberapa ulama besar telah berperan krusial dalam merumuskan dan menyebarkan pemahaman ini. Perlu dipahami bahwa Aswaja bukanlah mazhab dalam arti sempit seperti mazhab fikih (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali), melainkan sebuah pemahaman aqidah (keimanan) dan metodologi keagamaan yang komprehensif.
Kyai Hasyim Asy’ari, ulama besar Indonesia, menyatakan bahwa golongan Ahlussunnah mengikuti mazhab Abu Hasan Al-Asy’ari dalam hal aqidah dan salah satu dari empat mazhab fikih dalam hal hukum. Hal ini menunjukkan hubungan erat antara Aswaja dengan aqidah Asy’ariyah, yang dikembangkan oleh Abu Hasan Al-Asy’ari. Aqidah Asy’ariyah, yang menekankan keseimbangan antara akal dan wahyu, menjadi landasan teologi bagi banyak ulama besar sepanjang sejarah Islam.
Abu Hasan Al-Asy’ari, yang hidup di Basrah, dan Abu Mansur Al-Maturidi, yang hidup di Khurasan, merupakan dua tokoh kunci dalam perkembangan aqidah Aswaja. Meskipun geografis mereka terpisah dan hampir tidak pernah berkomunikasi, keduanya secara independen berjuang menegakkan aqidah Ahlussunnah wal Jamaah dengan melawan paham Mu’tazilah yang saat itu berkembang pesat dan didukung oleh kekuasaan politik Daulah Abbasiyah. Perjuangan mereka menunjukkan bahwa Aswaja berkembang secara organik, sebagai respon terhadap tantangan dan penyimpangan dalam pemahaman Islam.
Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, dengan pemikiran teologi mereka yang berbeda namun saling melengkapi, menawarkan alternatif terhadap Mu’tazilah yang dianggap terlalu rasional dan mengurangi peran wahyu. Mereka menekankan pentingnya teks-teks suci (Al-Qur’an dan Hadits) sebagai sumber utama ajaran Islam, serta menghindari ekstremisme baik dari sudut pandang rasionalisme maupun literalism.
Selain Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, banyak ulama terkemuka yang berkontribusi dalam mengembangkan dan melestarikan Aswaja. Nama-nama seperti Al-Baihaqi, Al-Baqillani, Al-Qusyairi, Al-Juwaini, Al-Ghazali, Fakhruddin Ar-Razi, An-Nawawi, As-Suyuthi, Izzuddin bin Abdissalam, Taqiuddin As-Subki, Ibnu Asakir, Ibnu Hajar Al-Asqalani, Ibnu Aqil Al-Hanbali, dan Ibnul Jauzi merupakan segelintir dari banyak ulama yang berasal dari berbagai mazhab fikih (Syafi’i, Maliki, Hanafi, dan Hanbali) namun bersatu dalam aqidah Aswaja. Mereka menunjukkan bahwa Aswaja bukanlah sebuah mazhab yang kaku, melainkan sebuah kerangka pemikiran yang fleksibel dan mampu beradaptasi dengan berbagai konteks.
Hadits dan Konsensus Ulama sebagai Panduan:
Hadits Nabi SAW, "Umatku tidak akan berkumpul dalam kesesatan," sering dikutip sebagai landasan Aswaja. Hadits ini diinterpretasikan sebagai bukti bahwa kesepakatan mayoritas umat Islam (ijma) mengarah pada kebenaran. Imam Suyuthi menjelaskan bahwa "as-sawad al-a’zham" (mayoritas besar) merujuk pada konsensus ulama yang berotoritas tinggi dan berasal dari berbagai mazhab. Pandangan ini menunjukkan bahwa Aswaja mengutamakan kesepakatan ulama sebagai pedoman dalam menafsirkan dan mengamalkan ajaran Islam.
Aswaja: Bukan Mazhab, Melainkan Pemahaman Komprehensif:
Penting untuk menekankan bahwa Aswaja bukanlah mazhab dalam arti sempit seperti mazhab fikih. Istilah Aswaja sebagai sebuah aliran dalam Islam baru muncul belakangan, dipopulerkan oleh ulama seperti az-Zabidi yang menyatakan bahwa "Ahlussunnah" merujuk pada penganut Asy’ari dan Maturidi. Namun, Al-Asy’ari dan Al-Maturidi sendiri tidak pernah mendirikan sebuah mazhab secara formal. Mereka lebih berperan sebagai tokoh kunci yang merumuskan kembali ajaran Islam yang murni, menjawab tantangan dan penyimpangan yang muncul pada masa mereka.
Aswaja lebih tepat dipahami sebagai sebuah pemahaman komprehensif yang mencakup aqidah, fikih, tasawuf, dan berbagai aspek kehidupan keagamaan lainnya. Aswaja menekankan pentingnya berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Sunnah, mengutamakan kesepakatan ulama, dan menjaga keseimbangan antara akal dan wahyu. Aswaja juga menekankan pentingnya toleransi, moderasi, dan keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan.
Kesimpulannya, Ahlussunnah wal Jamaah merupakan pemahaman Islam yang menekankan kemurnian ajaran Nabi Muhammad SAW dan kesepakatan para sahabat. Pemahaman ini dikembangkan oleh ulama-ulama besar sepanjang sejarah Islam, dengan Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi sebagai dua tokoh kunci dalam merumuskan aqidah Aswaja. Aswaja bukanlah sebuah mazhab yang kaku, melainkan sebuah kerangka pemikiran yang fleksibel dan mampu beradaptasi dengan berbagai konteks. Nilai-nilai moderasi, toleransi, dan keseimbangan menjadi pilar utama dalam pemahaman ini, mengarahkan umat Islam untuk hidup berdampingan dengan damai dan harmonis.