Masjid Umayyah, atau yang lebih dikenal sebagai Masjid Agung Damaskus, berdiri megah sebagai salah satu masjid tertua dan terbesar di dunia. Lebih dari sekadar tempat ibadah, bangunan monumental ini menyimpan sejarah panjang dan kompleks, merefleksikan pergeseran kekuasaan, perpaduan budaya, dan ketahanan spiritual di jantung kota Damaskus, Suriah. Sejarahnya yang kaya, terbentang sejak zaman pra-Islam hingga masa kini, menjadikannya situs bersejarah yang tak ternilai harganya, sekaligus saksi bisu perjalanan peradaban manusia.
Dari Kuil Hadad hingga Katedral Bizantium:
Jauh sebelum menjadi pusat ibadah umat Islam, lokasi Masjid Umayyah telah lama dihormati sebagai tempat suci. Jejak sejarahnya dapat ditelusuri hingga Zaman Besi, ketika bangsa Aram, penghuni Damaskus kuno, mendirikan kuil untuk Hadad, dewa hujan mereka. Kuil ini, yang mencerminkan kepercayaan dan praktik keagamaan masyarakat Aram, menjadi pusat kehidupan spiritual mereka selama berabad-abad.
Perubahan signifikan terjadi pada tahun 64 M, ketika Damaskus jatuh ke tangan Kekaisaran Romawi. Kuil Hadad, dengan signifikansi religiusnya, dialihfungsikan menjadi pusat pemujaan kekaisaran, didedikasikan untuk Yupiter, dewa hujan dalam mitologi Romawi. Transformasi ini menandai pergeseran kekuasaan dan pengaruh budaya, dengan Romawi mengganti kepercayaan lokal dengan sistem kepercayaan mereka sendiri.
Tiga abad kemudian, Kaisar Theodosius I dari Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium) melakukan perubahan besar lainnya. Ia mengubah kuil yang telah menjadi tempat pemujaan Yupiter menjadi sebuah katedral megah, yang menjadi pusat Patriarkat Antiokhia. Langkah ini mencerminkan dominasi kekuasaan Kristen di wilayah tersebut dan mengukuhkan peran Damaskus sebagai pusat penting dalam dunia Kristen. Katedral ini, dengan arsitektur dan dekorasi yang mencerminkan kekayaan dan kemegahan Kekaisaran Bizantium, menjadi simbol kekuasaan dan pengaruh agama Kristen di Damaskus selama berabad-abad.
Penaklukan Muslim dan Kelahiran Masjid Umayyah:
Penaklukan Muslim atas Damaskus pada abad ke-7 M menandai babak baru dalam sejarah situs ini. Setelah penaklukan, sebagian dari katedral Bizantium dialihfungsikan menjadi musala bagi tentara Islam, sementara sebagian lainnya tetap digunakan sebagai tempat ibadah bagi umat Kristen. Situasi ini mencerminkan kebijakan toleransi agama yang dianut oleh para pemimpin Muslim pada masa awal penaklukan, di mana kedua komunitas, Muslim dan Kristen, dapat beribadah di tempat yang sama, meskipun terpisah. Selama sekitar 70 tahun, kedua komunitas berbagi lokasi tersebut, memasuki tempat ibadah masing-masing melalui pintu yang sama, sebuah gambaran koeksistensi yang relatif damai.
Namun, pertumbuhan pesat komunitas Muslim di Damaskus menuntut ruang ibadah yang lebih luas. Pada masa pemerintahan Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik (705-715 M), keputusan penting diambil untuk mengubah seluruh kompleks katedral menjadi masjid. Khalifah Walid, yang dikenal karena ambisinya dalam pembangunan infrastruktur keagamaan, memerintahkan pembangunan sebuah masjid agung yang akan menggantikan katedral Bizantium. Keputusan ini, meskipun melibatkan pembongkaran sebagian besar struktur katedral, dilakukan dengan kompensasi yang diberikan kepada komunitas Kristen berupa properti lain di Damaskus.
Pembangunan dan Kemegahan Masjid Umayyah:
Pembangunan Masjid Umayyah, yang dimulai pada awal pemerintahan Khalifah Walid bin Abdul Malik dan selesai pada tahun 715 M, merupakan proyek monumental yang melibatkan ribuan pekerja. Proses konstruksi yang memakan waktu sekitar sembilan tahun ini menghasilkan sebuah kompleks masjid yang megah, dibangun dengan bahan-bahan mewah seperti marmer, mozaik emas, dan batu-batu indah lainnya. Luas bangunan mencapai 4.000 meter persegi, mencerminkan skala ambisius proyek ini dan kekayaan Khalifah Umayyah.
Arsitektur Masjid Umayyah mencerminkan puncak seni bangunan Islam pada masanya. Penggunaan material berkualitas tinggi, detail yang rumit, dan desain yang megah menjadikan masjid ini sebagai contoh luar biasa dari arsitektur Islam awal. Masjid ini menjadi simbol kekuasaan dan kemakmuran Dinasti Umayyah, sekaligus pusat keagamaan dan sosial bagi komunitas Muslim di Damaskus.
Kerusakan, Restorasi, dan Keberlanjutan:
Sepanjang sejarahnya, Masjid Umayyah telah mengalami beberapa kali kerusakan akibat konflik bersenjata dan perubahan kekuasaan. Gempa bumi, perang, dan berbagai peristiwa sejarah lainnya telah meninggalkan jejaknya pada bangunan ini. Namun, upaya restorasi yang berkelanjutan telah dilakukan untuk mempertahankan keaslian dan keindahan masjid ini. Proses restorasi ini tidak hanya bertujuan untuk memperbaiki kerusakan fisik, tetapi juga untuk melestarikan nilai sejarah dan budaya yang terkandung di dalamnya.
Hingga saat ini, Masjid Umayyah tetap menjadi salah satu situs bersejarah terpenting dan monumental dalam sejarah Islam. Keberadaannya sebagai tempat ibadah yang aktif, di tengah gejolak sejarah Suriah, membuktikan ketahanan spiritual dan pentingnya situs ini bagi umat Islam di seluruh dunia. Masjid Umayyah bukan hanya sekadar bangunan tua, tetapi sebuah simbol ketahanan, adaptasi, dan kelanjutan peradaban manusia. Ia merupakan warisan berharga yang harus dilindungi dan dihargai untuk generasi mendatang. Sejarahnya yang panjang dan kompleks, yang terukir dalam batu dan mozaiknya, terus bercerita tentang perpaduan budaya, pergeseran kekuasaan, dan ketahanan spiritual di jantung Suriah.