Purwokerto, Jawa Tengah – Keberadaan masjid-masjid Muhammadiyah di tengah masyarakat menghadapi tantangan serius yang memerlukan respons inovatif dan strategis. Bukan sekadar soal pemeliharaan fisik bangunan, namun lebih kepada perebutan hati dan ruang publik di era modern. Sebuah fakta mengejutkan terungkap dalam Forum Group Discussion (FGD) Rapat Kerja Pimpinan (Rakerpim) Lembaga Penelitian, Pengembangan, dan Penerbitan Majelis Pendidikan Kader Pimpinan Pusat Muhammadiyah (LPCRPM) 2025 di Universitas Muhammadiyah Purwokerto: sejumlah masjid Muhammadiyah telah diambil alih oleh kelompok lain. Fenomena ini menjadi sorotan tajam dan panggilan bagi seluruh elemen Muhammadiyah untuk segera mengambil langkah konkrit.
Prof. Dr. H. Irwan Akib, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dalam paparannya yang mengejutkan peserta Rakerpim, secara gamblang mengakui tanggung jawab internal organisasi atas situasi tersebut. "Faktanya, memang kita sendiri, orang Muhammadiyah, yang tidak proaktif menghidupkan masjid," tegasnya, seperti dikutip dari laman resmi LPCR pada Senin, 6 Januari 2025. Pernyataan ini bukan sekadar kritik, melainkan pengakuan jujur atas kelemahan internal yang perlu segera diatasi. Bukan menyalahkan pihak eksternal, melainkan introspeksi mendalam atas kurangnya daya saing masjid Muhammadiyah dalam menarik minat jamaah, khususnya generasi muda.
Irwan Akib kemudian mengupas lebih dalam akar permasalahan yang mendasari sepinya masjid-masjid Muhammadiyah. Ia menyoroti perubahan perilaku dan preferensi generasi muda, khususnya Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM), yang cenderung lebih menghabiskan waktu di kafe dibandingkan di masjid. Pertanyaan retorisnya mengena dan menggugah: "Mengapa mereka lebih nyaman di kafe sementara merasa kurang nyaman di masjid?" Pertanyaan ini menjadi titik awal untuk menggali lebih dalam penyebabnya. Bukan sekadar soal tempat nongkrong, melainkan tentang bagaimana masjid mampu menciptakan suasana yang inklusif, nyaman, dan relevan dengan kebutuhan generasi milenial.
Analisis Irwan Akib lebih lanjut mengungkap sejumlah faktor yang menyebabkan masjid kurang menarik bagi kaum muda. Ia menunjuk pada rutinitas keagamaan yang terkesan kaku dan kurang fleksibel. "Di banyak masjid," paparnya, "sering kali kegiatan bersifat kaku; anak-anak yang menangis disarankan tidak dibawa ke masjid, dan anak muda tidak mendapatkan ruang yang sesuai, dengan kegiatan yang monoton dan kurang fleksibel." Gambaran ini menggambarkan bagaimana masjid, yang seharusnya menjadi ruang publik yang ramah dan inklusif, justru terkesan eksklusif dan kurang mengakomodasi kebutuhan beragam kelompok usia dan latar belakang. Kurangnya inovasi dan adaptasi terhadap perkembangan zaman menjadi penyebab utama hilangnya daya tarik masjid di mata generasi muda.
Kehilangan generasi muda sebagai jamaah masjid bukan hanya persoalan jumlah, tetapi juga menyangkut keberlangsungan dakwah dan nilai-nilai Islam yang diusung Muhammadiyah. Generasi muda merupakan agen perubahan dan pewaris estafet kepemimpinan di masa depan. Jika mereka tidak terikat dengan masjid dan kegiatan keagamaan di dalamnya, maka akan sulit bagi Muhammadiyah untuk mempertahankan eksistensi dan pengaruhnya di tengah masyarakat. Oleh karena itu, permasalahan ini memerlukan perhatian serius dan strategi yang komprehensif.
Sebagai solusi, Irwan Akib mengusulkan pendekatan inovatif dalam pengelolaan dan pengembangan masjid-masjid Muhammadiyah. Ia mendorong agar masjid didesain lebih menarik dan kekinian, menyesuaikan dengan tren dan kebutuhan zaman. Konsep kafe, dengan suasana yang lebih santai dan ramah, menjadi salah satu usulan yang layak dipertimbangkan. Selain itu, fasilitas penunjang seperti tempat penitipan anak juga perlu disediakan untuk memberikan kenyamanan bagi keluarga yang membawa anak-anak kecil. Dengan demikian, masjid dapat menjadi tempat yang nyaman dan inklusif bagi semua kalangan, tanpa terkecuali.
Lebih dari sekadar perubahan fisik, Irwan Akib menekankan pentingnya perubahan paradigma dalam pengelolaan masjid. Masjid tidak lagi sekadar tempat ibadah formal, tetapi juga pusat kegiatan sosial, edukasi, dan pemberdayaan masyarakat. Dengan menyediakan berbagai program kegiatan yang menarik dan bermanfaat, masjid dapat menjadi pusat keaktifan dan interaksi sosial bagi seluruh anggota masyarakat. Program-program tersebut perlu dirancang dengan mempertimbangkan kebutuhan dan minat beragam kelompok usia, sehingga dapat menarik minat dan partisipasi aktif dari semua kalangan.
Implementasi ide-ide inovatif ini memerlukan kolaborasi dan sinergi antar berbagai elemen di dalam Muhammadiyah. Irwan Akib berharap LPCRPM dan AMM dapat bekerja sama secara efektif untuk memakmurkan masjid-masjid Muhammadiyah. Kerjasama ini sangat krusial, karena membutuhkan keahlian dan sumber daya yang beragam. LPCRPM dapat berperan dalam memberikan dukungan riset dan pengembangan program, sementara AMM dapat menjadi ujung tombak dalam implementasi program dan menjangkau generasi muda.
Tantangan yang dihadapi Muhammadiyah dalam menghidupkan masjid-masjidnya bukanlah hal yang mudah. Persaingan dengan kafe dan tempat-tempat hiburan modern membutuhkan strategi yang cerdas dan terukur. Namun, dengan inovasi dan kolaborasi yang tepat, masjid-masjid Muhammadiyah dapat kembali menjadi pusat kegiatan keagamaan dan sosial yang hidup dan relevan bagi seluruh lapisan masyarakat. Keberhasilan ini akan berdampak positif, tidak hanya bagi internal Muhammadiyah, tetapi juga bagi masyarakat luas. Masjid yang hidup dan aktif akan menjadi pusat penyebaran nilai-nilai Islam yang moderat, toleran, dan inklusif, serta menjadi benteng pertahanan terhadap pengaruh negatif yang dapat merusak moral dan akhlak bangsa.
Ke depan, diperlukan kajian lebih mendalam untuk mengidentifikasi faktor-faktor lain yang menyebabkan sepinya masjid-masjid Muhammadiyah. Riset kualitatif dan kuantitatif perlu dilakukan untuk memahami lebih dalam persepsi dan kebutuhan jamaah, khususnya generasi muda. Hasil riset ini dapat digunakan sebagai dasar untuk merancang program dan kegiatan yang lebih efektif dan relevan. Selain itu, perlu juga dilakukan evaluasi berkala terhadap program yang telah dijalankan untuk memastikan efektivitasnya dan melakukan penyesuaian jika diperlukan.
Perlu juga diperhatikan aspek manajemen dan pengelolaan masjid. Pengelola masjid perlu memiliki kemampuan manajemen yang baik untuk mengelola sumber daya manusia, keuangan, dan program kegiatan secara efektif dan efisien. Pelatihan dan pengembangan kapasitas bagi pengelola masjid sangat penting untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam mengelola masjid secara profesional. Dengan pengelolaan yang baik, masjid dapat menjadi lembaga yang mandiri dan berkelanjutan.
Terakhir, peran pemerintah dan masyarakat juga sangat penting dalam mendukung upaya menghidupkan masjid-masjid Muhammadiyah. Pemerintah dapat memberikan dukungan berupa fasilitasi dan pendanaan untuk program-program pengembangan masjid. Masyarakat juga dapat berperan aktif dalam mendukung kegiatan-kegiatan di masjid dan menjadi bagian dari komunitas masjid. Dengan kerja sama dan kolaborasi yang baik antara Muhammadiyah, pemerintah, dan masyarakat, masjid-masjid Muhammadiyah dapat kembali menjadi pusat kegiatan keagamaan dan sosial yang hidup dan bermanfaat bagi seluruh umat. Ini bukan hanya tanggung jawab Muhammadiyah semata, tetapi juga tanggung jawab bersama seluruh komponen bangsa untuk menjaga dan melestarikan nilai-nilai agama dan budaya bangsa.