Bedugul, Bali – Keindahan alam Bali, khususnya Danau Beratan dengan latar Pura Ulun Danu yang ikonik – pernah menghiasi lembaran uang pecahan Rp 50.000 – tak hanya memikat wisatawan domestik maupun mancanegara. Di lokasi yang sama, tepatnya di depan panorama danau yang memesona, berdiri megah Masjid Al Hidayah, sebuah bangunan sakral yang menjadi saksi bisu perjalanan toleransi dan perkembangan Islam di Bali. Lebih dari sekadar tempat ibadah, masjid ini telah menjelma menjadi pusat pendidikan, ekonomi, dan kebersamaan bagi masyarakat sekitar, khususnya umat muslim di kawasan Bedugul.
Dibangun pada tahun 1927 oleh Tuan Guru Alimun, seorang ulama lokal yang berjasa dalam penyebaran Islam di Bedugul, masjid ini awalnya hanya sebuah langgar sederhana berukuran 5×5 meter, berlokasi di dekat danau dengan bangunan satu lantai berwarna hijau-kuning dan kubah perak. Berdiri di atas tanah wakaf dari Bapak Awaludin dan Bapak Nurdjinah, langgar mungil ini kemudian mengalami beberapa kali renovasi dan perluasan, pada tahun 1948 dan 1978. Puncak transformasinya terjadi pada tahun 2009, dengan pembangunan masjid dua lantai yang megah seperti yang terlihat saat ini. Proses pembangunan tersebut dibiayai melalui gotong royong warga sekitar, dengan dukungan signifikan dari Presiden Soeharto kala itu sebesar Rp 7 juta.
Kini, Masjid Al Hidayah menjulang di atas bukit, dengan tiga kubah biru yang menyerupai telur raksasa, menawarkan pemandangan yang spektakuler dengan latar Gunung Agung yang gagah. Untuk mencapai area masjid, jamaah perlu menapaki sekitar 50-60 anak tangga, sebuah perjalanan simbolik menuju tempat suci yang sarat makna. Kebersihan masjid terjaga dengan sangat baik; area wudu dengan keran-keran yang tertata rapi dan kamar mandi yang bersih terbebas dari bau tak sedap, mencerminkan komitmen pengelola dalam menjaga kesucian tempat ibadah.
Arsitektur masjid memadukan unsur-unsur tradisional Bali dengan sentuhan Islami yang harmonis. Ornamen ukiran emas di fasad depan menjadi ciri khas yang mencolok, sementara ukiran floral di beranda, pintu, dan interior masjid menunjukkan akulturasi budaya yang indah. Penggunaan kaca patri warna-warni pada beberapa jendela menambah keindahan estetika bangunan. Menariknya, ukiran eksterior masjid dikerjakan oleh para perajin Hindu, sementara kaligrafi Arabnya dibuat oleh takmir masjid, menunjukkan kolaborasi antarumat beragama yang begitu erat.
Ketua Yayasan Al Hidayah, Khairil Anwar, menjelaskan bahwa saat ini terdapat sekitar 900 kepala keluarga atau kurang lebih 3.000 jiwa penduduk muslim di Bedugul. Secara administratif, mereka terkonsentrasi di Banjar Dinas Candikuning 2, Desa Candikuning, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan. Namun, kawasan ini lebih dikenal dengan nama Bedugul, sebuah nama yang merujuk pada wilayah wisata yang mencakup dua kabupaten di Bali, yaitu Tabanan dan Buleleng.
Kehidupan umat muslim di Bedugul ditandai dengan kerukunan dan toleransi yang tinggi dengan mayoritas penduduk Hindu. Semangat “Nyama Beraya” atau “semua bersaudara” begitu terasa dalam kehidupan sehari-hari, menunjukkan harmoni sosial yang terjalin erat antarumat beragama. Khairil Anwar juga menyinggung peran penting Tuan Guru Alimun dalam menyebarkan Islam di Bedugul, khususnya melalui pendidikan agama. Pada era 1970-an, tokoh-tokoh muda seperti H. Anwar Bick, H. Sadimin, H. Ali Bick, Altin, H. Said Abdillah, H. Sahrani, dan Munasrif melanjutkan estafet dakwah dan pengembangan Islam di wilayah tersebut.
Masjid Al Hidayah bukan hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai pusat pendidikan Islam yang komprehensif. Terdapat pondok pesantren yang menyelenggarakan pendidikan mulai dari tingkat Taman Kanak-Kanak hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). Santri berasal dari berbagai daerah, tidak hanya dari Bedugul, tetapi juga dari Kabupaten Karangasem dan Lombok, Nusa Tenggara Barat. Keindahan alam Bedugul yang sejuk dan kondusif untuk belajar menjadi daya tarik tersendiri bagi para orang tua yang ingin menyekolahkan anak-anak mereka di pondok pesantren ini. Selain itu, para orang tua juga dapat sekaligus berwisata saat mengunjungi anak-anak mereka.
Sejak tahun 2000, Masjid Al Hidayah juga mengembangkan usaha wakaf produktif untuk mendukung keberlangsungan operasional dan pemberdayaan masyarakat sekitar. Berbagai usaha dikelola, mulai dari area parkir, rumah makan, toilet umum, toko kelontong, kedai kopi, hingga penyewaan ruang serbaguna dan penginapan ramah muslim. Sejak tahun 2022, Masjid Al Hidayah mendapatkan bantuan dan pembinaan manajemen dari Bank Syariah Indonesia (BSI), yang difasilitasi oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Hampir semua usaha tersebut memberdayakan jamaah masjid, khususnya para pemuda.
Prestasi Masjid Al Hidayah semakin mengukuhkan posisinya sebagai lembaga yang berperan penting dalam kehidupan masyarakat. Pada 12 Desember 2016, masjid ini meraih penghargaan paripurna kedua tingkat nasional dari Kementerian Agama, setelah Masjid Sabilillah di Malang, Jawa Timur. Penghargaan tersebut diberikan atas keberhasilan Masjid Al Hidayah dalam melibatkan warga masyarakat dalam setiap aktivitas masjid, menumbuhkan rasa memiliki dan kebersamaan yang kuat di antara seluruh warga sekitar. Keikutsertaan aktif warga dalam berbagai program masjid, mulai dari kegiatan pengajian hingga penataan fisik masjid, menunjukkan sinergi yang luar biasa antara masjid dan masyarakat.
Masjid Al Hidayah Bedugul bukan hanya sebuah bangunan fisik, tetapi juga representasi dari semangat toleransi, kebersamaan, dan kemajuan yang terwujud di tengah keberagaman budaya dan agama di Bali. Kisah sukses masjid ini menjadi inspirasi bagi upaya membangun kerukunan umat beragama dan mengembangkan potensi masyarakat melalui sinergi antara lembaga keagamaan dan masyarakat sekitar. Keberadaannya di tepian Danau Beratan menjadi simbol harmoni yang indah, menunjukkan bagaimana perbedaan dapat hidup berdampingan secara damai dan saling menguatkan. Masjid Al Hidayah, lebih dari sekadar tempat ibadah, ia adalah jantung kehidupan masyarakat Bedugul, sebuah monumen hidup yang mencerminkan keindahan toleransi dan keberkahan.