Peristiwa dahsyat yang termaktub dalam Surah Al-Fil, bukan sekadar kisah sejarah, melainkan manifestasi kekuasaan Ilahi yang melindungi Ka’bah, kiblat umat Islam. Kisah ini mengisahkan ambisi Abrahah al-Asyram, Raja Yaman yang haus kekuasaan dan ingin menyaingi kejayaan Makkah. Ambisi tersebut terwujud dalam upayanya membangun gereja al-Qalis di Shan’a, sebuah bangunan megah yang diharapkan dapat menggeser status Ka’bah sebagai pusat ibadah utama di Jazirah Arab.
Abrahah, terusik oleh kepopuleran Ka’bah yang terus menarik jamaah dari berbagai penjuru, menganggapnya sebagai ancaman bagi ambisinya. Keberadaan Ka’bah yang menjadi pusat spiritual dan ekonomi Makkah, menarik perhatian dan kekayaan yang seharusnya, menurut pandangan Abrahah, mengalir ke gereja megah ciptaannya. Iri hati dan ambisi yang membutakan, mendorongnya untuk melancarkan serangan besar-besaran ke Makkah dengan tujuan menghancurkan Ka’bah.
Pasukan yang dipimpin Abrahah bukan pasukan biasa. Ia mengerahkan pasukan bergajah, simbol kekuatan dan dominasi militer pada masa itu. Bayangkan, kafilah gajah-gajah raksasa, diiringi ribuan prajurit, bergerak menuju Makkah dengan niat jahat. Keangkuhan dan kesombongan Abrahah mencapai puncaknya, ia yakin akan mampu menghancurkan Ka’bah dan menundukkan penduduk Makkah. Namun, rencana jahatnya akan berhadapan dengan kekuatan yang jauh lebih besar, kekuasaan Allah SWT yang maha dahsyat.
Perjalanan pasukan gajah menuju Makkah dikisahkan penuh dengan tanda-tanda keganjilan. Menurut berbagai riwayat, gajah-gajah yang menjadi andalan pasukan Abrahah menunjukkan keengganan yang luar biasa untuk melangkah maju ke arah Ka’bah. Mereka seakan menolak perintah, berputar-putar di lembah Muhassir, menunjukkan tanda-tanda penolakan yang tak dapat dijelaskan secara rasional.
Abrahah, yang merasa geram dan frustasi atas keengganan gajah-gajahnya, mencoba memaksa mereka dengan cambukan dan berbagai upaya paksaan lainnya. Namun, semua usaha tersebut sia-sia. Gajah-gajah itu tetap menolak untuk bergerak menuju Ka’bah, seakan ada kekuatan gaib yang menghalangi langkah mereka. Kegagalan ini semakin menambah frustasi dan amarah Abrahah. Ia tak menyadari bahwa ini adalah tanda-tanda peringatan dari Yang Maha Kuasa.
Di tengah kebuntuan dan keputusasaan pasukan Abrahah, muncullah pasukan yang tak terduga: burung-burung ababil. Surah Al-Fil ayat 3-5 menggambarkannya dengan gambaran yang sangat dramatis: "Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap pasukan bergajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka itu sia-sia? Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu dari tanah liat yang dibakar, sehingga Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat)."
Burung-burung ababil, yang digambarkan dalam berbagai tafsir sebagai burung-burung kecil yang gesit seperti walet, muncul secara tiba-tiba dalam jumlah yang sangat besar. Mereka bukan burung biasa, melainkan pasukan langit yang diutus Allah SWT untuk menghukum kesombongan dan keangkuhan Abrahah. Setiap burung ababil membawa tiga batu dari tanah liat yang dibakar, satu di paruhnya dan dua lainnya di cakarnya.
Batu-batu yang dibawa burung ababil bukanlah batu biasa. Batu-batu tersebut, yang dalam beberapa riwayat disebut sebagai sijjil, memiliki kekuatan dahsyat yang mampu menghancurkan pasukan Abrahah. Dengan kecepatan dan ketepatan yang luar biasa, burung-burung ababil menjatuhkan batu-batu tersebut ke arah pasukan gajah dan prajurit Abrahah.
Suara gemuruh jatuhnya batu-batu tersebut menggema di lembah Muhassir. Pasukan Abrahah yang semula penuh dengan kesombongan dan keyakinan diri, seketika dilanda kepanikan dan kekacauan. Mereka tak mampu melawan serangan dahsyat dari pasukan burung ababil. Satu demi satu prajurit dan gajah-gajah tumbang, tubuh mereka hancur lebur terkena lemparan batu-batu yang mematikan.
Tidak ada yang mampu bertahan dari serangan dahsyat tersebut. Daging dan tulang-tulang pasukan Abrahah berserakan di lembah Muhassir, menunjukkan betapa dahsyatnya azab Allah SWT. Abrahah sendiri, yang semula penuh dengan kesombongan, terpaksa melarikan diri dalam keadaan yang sangat mengenaskan. Ia tak mampu menyelamatkan dirinya dan pasukannya dari murka Ilahi.
Kejadian di lembah Muhassir ini menjadi pelajaran berharga bagi seluruh umat manusia. Kisah ini menunjukkan betapa kecilnya kekuatan manusia di hadapan kekuasaan Allah SWT. Kesombongan dan keangkuhan hanya akan berujung pada kehancuran. Sebaliknya, ketaatan dan keimanan akan mendapatkan perlindungan dan pertolongan dari Yang Maha Kuasa.
Peristiwa ini juga menjadi bukti nyata akan perlindungan Allah SWT terhadap Ka’bah, rumah suci umat Islam. Ka’bah, yang menjadi simbol persatuan dan kesucian umat Islam, dijaga dan dilindungi oleh Allah SWT dari segala bentuk ancaman dan kejahatan. Kisah burung ababil menjadi bagian penting dari sejarah Islam, mengingatkan kita akan kebesaran dan kekuasaan Allah SWT yang tak terbatas.
Dari sudut pandang historiografi, peristiwa ini juga menarik untuk diteliti. Meskipun sumber-sumber sejarah konvensional mungkin terbatas, kisah ini tetap hidup dan diwariskan turun-temurun melalui Al-Quran dan berbagai riwayat. Peristiwa ini menjadi bukti nyata akan kekuatan spiritual yang mampu mengalahkan kekuatan militer yang besar. Abrahah dengan pasukan bergajahnya, yang mewakili kekuatan duniawi, dikalahkan oleh pasukan burung ababil, yang mewakili kekuatan Ilahi.
Kesimpulannya, kisah burung ababil yang melindungi Ka’bah bukanlah sekadar dongeng, melainkan peristiwa bersejarah yang sarat dengan makna spiritual dan historis. Kisah ini mengajarkan kita tentang pentingnya keimanan, ketaatan, dan ketakwaan kepada Allah SWT. Ia juga mengingatkan kita akan kebesaran dan kekuasaan Allah SWT yang mampu melindungi dan menolong hamba-Nya yang beriman. Peristiwa ini tetap relevan hingga saat ini, mengingatkan kita akan pentingnya menjaga kesucian Ka’bah dan menghindarkan diri dari kesombongan dan keangkuhan. Wallahu a’lam bishawab.