ERAMADANI.COM, DENPASAR – Program penceramah bersertifikat sampai saat ini masih menjadi polemik. Menteri Agama, Fachrul Razi akan menyelenggarakan program itu dalam waktu dekat.
Program yang akan diselenggarakan itu dikatakan bukan program sertifikasi profesi seperti guru atau dosen.
Dirjen Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Kemenag, Kamaruddin Amin, menegaskan program itu untuk meningkatkan kapasitas penceramah.
“Penceramah bersertifikat ini bukan sertifikasi profesi, seperti sertifikasi dosen dan guru. Kalau guru dan dosen itu sertifikasi profesi, sehingga jika mereka sudah tersertifikasi maka harus dibayar sesuai standar yang ditetapkan,” jelasnya Senin (7/9/20), dilansir dari Kumparan.com.
“Kalau penceramah bersertifikat, ini sebenarnya kegiatan biasa saja untuk meningkatkan kapasitas penceramah. Setelah mengikuti kegiatan, diberi sertifikat,” imbuhnya.
Program ini dikatakan sebagai bentuk mengoptimalkan layanan, penceramah secara bertahap ditingkatkan kapasitasnya di bidang literasi juga ceramah tentang zakat, wakaf, dan moderasi beragama.
Setelah mengikuti kegiatan peningkatan kapasitas, lantas penceramah mendapatkan sertifikat.
Kemenag menargetkan ada sebanyak 8.200 penceramah bersertifikat dalam tahun ini.
Kamaruddin juga menerangkan terkait penceramah yang tidak bersertifikat. Bagi penceramah yang tidak bersertifikat tetap diperbolehkan berceramah.
Kata lainnya, bukan hanya penceramah yang bersertifikat yang boleh berceramah.
Namun, Kemenag tidak akan menjamin materi-materi yang akan diberikan oleh penceramah yang tidak bersertifikat.
Tanggapan Komisi VIII dan MUI Terkait “Penceramah Bersertifikat”
Program penceramah bersertifikat memunculkan tanggapan-tanggapan dari berbagai kalangan. Program itu disebut-sebut justru dapat menimbulkan kegaduhan bahkan perpecahan.
Dalam rapat kerja dengan Menag Fachrul Razi. Yandri Susanto, selaku Ketua Komisi VIII menyampaikan bahwa sertifikasi itu diberikan oleh masyarakat, bukan dari pemerintah.
“Sertifikat dai itu yang berikan masyarakat bukan pemerintah. Apa haknya berikan sertifikat? Jangan sampai Menag yang katanya Islam jadi banyak yang benci, ini penting, kalau enggak dibereskan kita pancing kegaduhan. Dalam raker ini penting diklarifikasi,” kata Yandri membuka rapat kerja, Selasa (8/9/20).
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Ace Hasan Syadzily menilai Kemenag tidak perlu repot mengurusi sertifikat penceramah.
“Dari sejak awal, soal peningkatan kapasitas penceramah, maka sebaiknya diserahkan saja kepada ormas keagamaan. Jika dalam Islam, ada MUI, NU, Muhammadiyah, dan ormas Islam lainnya,” kata Ace, Senin (7/9/20).
Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga menolak program penceramah bersertifikat. Terkait program tersebut, MUI sampai memberikan pernyataan sikap.
Pernyataan Sikap dari MUI Terkait “Penceramah Bersertifikat”
PERNYATAAN SIKAP
MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor: Kep-1626/DP MUI/IX/2020
بسم هللا الرحمن الرحيم
Sehubungan dengan rencana program Sertifikasi Da’i/Muballigh dan/atau program
Da’i/Muballigh Bersertifikat oleh Kementerian Agama sebagaimana disampaikan
oleh Menteri Agama dan pejabat Kementerian Agama melalui media massa, maka
Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia sesuai dengan keputusan Rapat Pimpinan
MUI pada hari Selasa, 08 September 2020 M/20 Muharram 1442 H, dengan
bertawakkal kepada Allah SWT menyampaikan hal-hal sebagai berikut:
(1) Rencana sertifikasi Da’i/Muballigh dan/atau program Da’i/Muballigh bersertifikat sebagaimana direncanakan oleh Kementerian Agama telah menimbulkan kegaduhan, kesalahpahaman dan kekhawatiran akan adanya intervensi Pemerintah pada aspek keagamaan yang dalam pelaksanaannya dapat menyulitkan umat Islam dan berpotensi disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu sebagai alat untuk mengontrol kehidupan keagamaan. Oleh karena itu MUI menolak rencana program tersebut.
(2) MUI dapat memahami pentingnya program peningkatan kompetensi (upgrading) Da’i/Muballigh sebagai upaya untuk meningkatkan wawasan Da’i/Muballigh terhadap materi dakwah/tabligh, terutama materi keagamaan kontemporer seperti ekonomi Syariah, bahan produk halal, wawasan kebangsaan, dsb. Namun program tersebut diserahkan sepenuhnya kepada ormas/kelembagaan Islam termasuk MUI dan pihak-pihak yang memiliki otoritas untuk itu;
(3) Mengimbau kepada semua pihak agar tidak mudah mengaitkan masalah radikalisme dengan ulama, dai/muballigh dan hafizh serta tampilan fisik (performance) mereka, termasuk yang lantang menyuarakan amar makruf nahi munkar bagi perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Demikian pernyataan ini disampaikan agar dapat diketahui dan dipahami dengan baik oleh semua pihak.
dilansir dari Kumparan.com.
(ITM)