Jakarta, Republika.co.id — Dana Abu Qamar, seorang mahasiswa keturunan Palestina di Inggris, merasakan pahitnya diskriminasi di negara yang selama ini dikenal sebagai pelindung hak asasi manusia (HAM). Pengalamannya ini menjadi bukti bahwa klaim Inggris sebagai mercusuar demokrasi dan HAM ternyata tak selalu sejalan dengan realitas.
"Saya Dana Abu Qamar, mahasiswa hukum di Universitas Manchester. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Inggris memutuskan untuk membatalkan visa pelajar saya," ujar Dana dalam video yang diunggah di kanal Youtube Middle East Eye lima bulan lalu. Keputusan ini diambil setelah Dana aktif dalam demonstrasi pro-Palestina, yang menjadikannya korban diskriminasi.
Dana, yang datang ke Inggris untuk menimba ilmu dan menjadi bagian dari masyarakat Inggris, merasa tertipu. Ia berharap mendapatkan hak yang sama dalam hal HAM dan kebebasan berekspresi, termasuk menyuarakan HAM dan solidaritas dengan mereka yang tertindas di Gaza, Palestina, dan sekitarnya. Namun, realita berkata lain.
"Saya mendapati kenyataan yang mengejutkan, ada diskriminasi sistemik di sini, di Inggris," ungkap Dana. "Inggris bangga dengan dirinya sendiri sebagai mercusuar HAM dan demokrasi. Saya berpikir bahwa Inggris tidak akan bertindak diskriminatif terhadap etnis minoritas dan orang kulit berwarna seperti saya. Jadi, keputusan pembatalan visa saya sangat mengejutkan dan membuat saya bingung."
Kekecewaan Dana semakin mendalam mengingat situasi keluarganya di Gaza, Palestina. "Sebanyak 15 orang anggota keluarga saya telah meninggal, terbunuh dalam serangan udara Israel yang menargetkan bangunan tempat tinggal penduduk di kota Gaza," tuturnya dengan suara bergetar.
Selain kehilangan keluarga, Dana juga merasakan dampak langsung dari penindasan dan sensor di Inggris. "Saya berdiri bersama solidaritas Palestina, bangsa saya yang menjadi korban genosida di Gaza. Itu sangat memprihatinkan saya," ujar Dana.
Namun, perjuangan Dana tak berhenti di situ. Ia mengajukan banding hak asasi manusia dan akhirnya memenangkannya. Keputusan Kemendagri Inggris yang mencabut visanya karena Dana berbicara tentang Gaza dan perlawanannya pun dicabut.
The Guardian melaporkan bahwa Kemendagri Inggris mengklaim bahwa kehadiran Dana tidak kondusif bagi kepentingan umum, namun gagal membuktikannya setelah visanya dicabut pada Desember 2023.
Perhatian pihak berwenang pertama kali tertuju pada Dana saat protes yang diselenggarakan di Universitas Manchester, di mana ia juga memimpin Friends of Palestine Society. Dalam wawancara dengan Sky News, Dana menjelaskan perlawanan historis Gaza terhadap rezim penindas bernama Israel, serta blokade selama 16 tahun yang diberlakukan oleh penjajah itu. Ia menyebut perlawanan Jalur Gaza sebagai pengalaman sekali seumur hidup.
"Kami semua takut, takut akan pembalasan Israel. Kami telah melihat bagaimana mereka membalas dalam semalam, dengan meluncurkan rudal dan serangan. Namun, kami juga penuh dengan kebanggaan. Kami sangat gembira dengan apa yang terjadi," ungkap Dana.
Keputusan untuk mencabut visa Dana menyusul intervensi dari mantan menteri imigrasi dan calon pemimpin Partai Konservatif, Robert Jenrick. Pengadilan yang menangani kasus ini menemukan bahwa keputusan Kemendagri Inggris merupakan campur tangan yang tidak proporsional terhadap hak Dana yang dilindungi atas kebebasan berbicara di bawah Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa.
Pengadilan menegaskan bahwa pernyataan-pernyataan Dana tidak dapat dikaitkan dengan dukungan terhadap Hamas. Dana sendiri menjelaskan bahwa ia telah disalahtafsirkan, dengan menyatakan bahwa ia mendukung Perlawanan Gaza melawan pendudukan.
Selain itu, pengadilan menemukan bahwa Dana bukanlah seorang ekstremis dan bahwa deskripsinya mengenai pendudukan Israel sebagai "negara apartheid" konsisten dengan beberapa organisasi hak asasi manusia. Penggunaan pernyataan seperti "secara aktif melawan" dan "membebaskan diri" dalam pidatonya juga terkait dengan tindakan perlawanan yang sah di Gaza.
Kemenangan Dana dalam banding hak asasi manusia ini menjadi bukti bahwa perjuangan melawan diskriminasi dan pembungkaman suara kritis harus terus dilakukan. Kasus ini juga menjadi pengingat bagi Inggris bahwa klaim sebagai pelindung HAM harus diwujudkan dalam tindakan nyata, bukan hanya sekedar retorika.
Berikut beberapa poin penting yang dapat disimpulkan dari kasus Dana Abu Qamar:
- Inggris, yang selama ini dikenal sebagai negara yang menjunjung tinggi HAM, ternyata masih memiliki masalah diskriminasi terhadap etnis minoritas, khususnya terhadap orang kulit berwarna.
- Kebebasan berekspresi, yang merupakan hak fundamental dalam demokrasi, dikekang di Inggris, khususnya bagi mereka yang berani menyuarakan isu-isu sensitif seperti konflik Israel-Palestina.
- Pentingnya melawan diskriminasi dan pembungkaman suara kritis, baik melalui jalur hukum maupun melalui advokasi dan kampanye publik.