Jakarta – Mahar atau maskawin, dalam konteks pernikahan Islam, merupakan kewajiban mempelai pria yang diberikan kepada calon istrinya. Kewajiban ini berakar pada Al-Qur’an, tepatnya Surah An-Nisa ayat 4: “Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan…” Ayat ini menjadi landasan hukum yang menegaskan pentingnya mahar sebagai bagian integral dari akad nikah. Namun, pengertian “mahar” tidak semata-mata terbatas pada nilai materiil. Ia mencakup berbagai bentuk pemberian, sesuai kesepakatan kedua belah pihak, dan selaras dengan prinsip-prinsip syariat Islam.
Para ulama telah menjabarkan berbagai bentuk mahar yang dibolehkan, merujuk pada beragam literatur fikih. Buku "Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Khamsah" karya Muhammad Jawad Mughniyah, misalnya, menjelaskan bahwa mahar dapat berupa uang, perhiasan, perabot rumah tangga, hewan ternak, jasa, barang dagangan, atau benda bernilai lainnya. Yang penting, mahar tersebut harus jelas dan terdefinisi dengan baik, misalnya, “seutas kalung emas 24 karat seberat 5 gram,” bukan sekadar “sejumlah emas.” Kejelasan ini bertujuan menghindari ambiguitas dan sengketa di kemudian hari.
Namun, di balik kewajiban memberikan mahar, Islam juga menetapkan sejumlah larangan terkait jenis mahar yang diberikan. Larangan ini bertujuan untuk menjaga kesucian dan kemuliaan pernikahan, serta mencegah praktik-praktik yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Berikut beberapa jenis mahar yang dilarang dalam ajaran Islam:
1. Mahar yang Haram: Ini merupakan kategori paling krusial. Mahar yang berasal dari sumber yang haram secara syariat Islam, sama sekali tidak sah dan tidak diperbolehkan. Buku "Fiqh Munakahat" karya Abdul Rahman Ghazaly menjelaskan dengan tegas bahwa mahar yang berupa barang haram, seperti minuman keras (khamar), daging babi, darah, atau benda-benda najis lainnya, tidak memiliki keabsahan hukum. Imam Syafi’i, salah satu imam mazhab terkemuka, menyatakan bahwa jika mahar yang diberikan adalah barang haram, dan istri belum menerimanya, maka ia berhak mendapatkan mahar pengganti yang halal dan sesuai syariat. Syarat utama mahar adalah kesucian dan kemanfaatannya.
2. Mahar yang Tidak Berharga: Syarat penting lainnya dari mahar adalah memiliki nilai dan manfaat. Mahar yang tidak memiliki nilai, baik secara materiil maupun maknawi, tidak sah menurut hukum Islam. Abu Malik Kamal ibn Sayyid Salim dalam "Fiqh as-Sunnah li an-Nisa’" menjelaskan bahwa mahar bisa berupa apa saja yang memiliki nilai, bahkan nilai maknawi sekalipun, asalkan istri menyetujuinya. Hadits shahih dari Abu Dawud dan An-Nasa’i mencatat contoh mahar berupa hafalan Al-Qur’an, sedangkan kisah pernikahan Abu Thalhah RA dan Ummu Sulaim RA menggambarkan mahar berupa keislaman Abu Thalhah. Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa nilai mahar tidak selalu diukur secara materiil.
3. Mahar yang Memberatkan: Islam tidak menetapkan jumlah mahar secara pasti, namun menekankan agar mahar tidak menjadi beban berat bagi calon suami. Mahar yang memberatkan hingga menyebabkan kesulitan ekonomi bagi suami dianggap tercela dan tidak dianjurkan. Sebaliknya, pernikahan dengan mahar yang ringan dan tidak memberatkan dianggap lebih diberkahi. Hadits dari Aisyah RA yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Baihaqi menyebutkan, "Sesungguhnya pernikahan yang paling besar berkahnya adalah pernikahan yang paling ringan maharnya." Prinsip ini menekankan pentingnya keseimbangan dan keadilan dalam pernikahan, bukan sekadar pemenuhan kewajiban formal.
4. Mahar yang Berlebihan: Berkaitan dengan poin sebelumnya, mahar yang berlebihan juga dilarang. Buku "Fiqh As-Sunnah" karya Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa syariat Islam menganjurkan agar tidak berlebihan dalam memberikan mahar. Hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Hakim menyebutkan, "Sebaik-baik mahar adalah yang paling mudah." Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah bahkan menganggap mahar yang berlebihan sebagai makruh (dibenci), karena dapat mengurangi keberkahan pernikahan dan menimbulkan kesulitan bagi pasangan. Prinsip ini menekankan pentingnya kesederhanaan dan menghindari sikap berlebih-lebihan dalam hal materi.
5. Mahar yang Cacat: Meskipun jumhur ulama berpendapat bahwa pernikahan tetap sah meskipun maharnya cacat, permasalahan muncul terkait hak istri atas mahar tersebut. Buku "Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid" karya Ibnu Rusyd membahas perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hal ini. Sebagian ulama berpendapat istri berhak meminta kembali harga mahar, sedangkan sebagian lainnya berpendapat istri berhak atas mahar mitsil (pengganti) yang nilainya setara dengan mahar yang seharusnya diberikan. Imam Syafi’i menyatakan bahwa hak istri tergantung pada konteks dan situasi yang terjadi.
Syarat-Syarat Mahar yang Sah:
Agar pernikahan tetap sah secara syariat, mahar harus memenuhi beberapa syarat. Buku "Fikih Munakahat" karya Sudarto merangkum syarat-syarat tersebut, di antaranya:
- Harus Halal: Seperti telah dijelaskan sebelumnya, mahar harus berasal dari sumber yang halal dan suci.
- Harus Milik Suami: Suami harus memiliki hak kepemilikan atas mahar yang diberikan.
- Harus Jelas dan Tertentu: Jumlah dan jenis mahar harus jelas dan tidak ambigu.
- Harus Mampu Diterima: Mahar harus berupa benda yang dapat diterima dan dimanfaatkan oleh istri.
- Harus Disepakati: Jumlah dan jenis mahar harus disepakati oleh kedua belah pihak (suami dan istri).
Kesimpulannya, mahar dalam pernikahan Islam merupakan kewajiban yang memiliki landasan hukum yang kuat, namun bukan sekadar transaksi materiil. Ia merupakan simbol penghormatan dan penghargaan suami kepada istri, serta bagian dari akad nikah yang harus dijalankan sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam. Larangan-larangan terkait jenis mahar menunjukkan bahwa Islam menekankan pentingnya keadilan, kesederhanaan, dan keberkahan dalam pernikahan, bukan sekadar mementingkan nilai materi yang berlebihan. Memahami dengan baik aturan mengenai mahar ini sangat penting untuk menciptakan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah.