Madinah, kota suci kedua dalam Islam setelah Makkah, menyimpan sejarah panjang dan kompleks sebelum kedatangan Nabi Muhammad SAW. Jauh sebelum menjadi pusat dakwah, pengajaran, dan pemerintahan Islam, kota yang kala itu bernama Yatsrib merupakan persimpangan budaya dan agama, sekaligus arena konflik antar suku yang memperebutkan kekuasaan dan sumber daya. Letaknya yang strategis di Hijaz, antara dataran tinggi Nejd dan pantai Tihamah, menjadikan Yatsrib sebagai simpul perdagangan penting yang menghubungkan Yaman di selatan dengan Syam di utara. Keberadaan kota-kota utama lainnya di Hijaz, seperti Makkah dan Thaif, turut mewarnai dinamika sosial dan politik di wilayah ini.
Sebelum Islam menyebarkan ajaran tauhidnya, masyarakat Yatsrib menampilkan mosaik keagamaan yang beragam. Keberadaan agama Yahudi, Nasrani, dan paganisme membentuk lanskap spiritual kota ini. Dominasi agama Yahudi tampak paling menonjol. Para imigran Yahudi, yang sebagian besar berasal dari wilayah utara, bermigrasi ke Yatsrib pada abad pertama dan kedua Masehi untuk menghindari penjajahan Romawi. Mereka membentuk komunitas-komunitas yang kuat, tergabung dalam suku-suku seperti Bani Qainuqa, Bani Nadhir, Bani Ghatafan, dan Bani Quraidhah. Kehadiran mereka membawa pengaruh signifikan terhadap budaya dan kehidupan sosial Yatsrib, meninggalkan jejak yang terlihat dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk sistem hukum dan tradisi lokal.
Sementara itu, komunitas Kristen di Yatsrib, khususnya Bani Najran, mempunyai akar sejarah yang berbeda. Mereka memeluk agama Nasrani sejak sekitar tahun 343 Masehi, setelah kedatangan misionaris Romawi ke wilayah tersebut. Kehadiran agama Kristen, meskipun mungkin tidak sebesar Yahudi, menambah kekayaan keragaman agama di Yatsrib. Interaksi antara komunitas Yahudi dan Kristen, meskipun mungkin tidak selalu harmonis, pastinya membentuk dinamika sosial dan budaya yang unik. Selain Yahudi dan Nasrani, keberadaan penganut paganisme, yang merupakan kepercayaan animistik dan politeistik khas Arab pra-Islam, juga turut mewarnai kehidupan spiritual masyarakat Yatsrib. Sistem kepercayaan ini, yang seringkali terjalin erat dengan tradisi dan adat istiadat suku, menunjukkan keberagaman spiritual yang kompleks di kota tersebut.
Kehidupan sosial politik Yatsrib sebelum Islam ditandai oleh konflik antar suku yang seringkali berujung pada peperangan. Persaingan perebutan sumber daya, kekuasaan, dan pengaruh menjadi pemicu utama konflik ini. Struktur sosial yang didominasi oleh sistem kesukuan menyebabkan loyalitas dan solidaritas lebih kuat terikat pada kelompok suku daripada pada identitas kota secara keseluruhan. Hal ini memperumit upaya untuk menciptakan kesatuan dan stabilitas sosial di Yatsrib. Dua budaya utama, budaya Arab dan Yahudi, berinteraksi dan bercampur aduk, menciptakan perpaduan budaya yang unik, tetapi juga potensi konflik yang signifikan. Perbedaan budaya dan agama seringkali menjadi sumber perselisihan dan pertentangan antar kelompok masyarakat.
Kedatangan Islam di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW menandai babak baru dalam sejarah Yatsrib. Nabi Muhammad SAW berhasil menyatukan berbagai suku yang sebelumnya bertikai melalui Piagam Madinah, sebuah konstitusi yang menjamin hak dan kewajiban setiap warga kota, terlepas dari agama dan latar belakang suku mereka. Piagam ini menjadi tonggak penting dalam membangun masyarakat Madinah yang lebih adil dan damai. Dengan demikian, Islam tidak hanya mengubah lanskap keagamaan Yatsrib, tetapi juga mentransformasikan struktur sosial dan politiknya. Yatsrib kemudian berganti nama menjadi Madinah, yang berarti "kota," mencerminkan identitas baru kota ini sebagai pusat peradaban Islam.
Hadits-hadits Nabi Muhammad SAW mengukuhkan status Madinah sebagai kota suci kedua dalam Islam. Hadits dari Anas RA, misalnya, menyebutkan larangan menebang pohon dan melakukan bid’ah di Madinah, menunjukkan kesucian dan kehormatan kota ini. Hadits lain dari Abu Hurairah RA menggambarkan kesucian Madinah dengan ungkapan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak akan menghardik biawak yang memakan rumput di kota tersebut. Hadits-hadits ini menunjukkan betapa pentingnya Madinah bagi perkembangan Islam dan bagaimana Nabi Muhammad SAW menekankan kesucian dan keberkahan kota ini. Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW menyucikan Madinah sebagaimana Ibrahim menyucikan Makkah, menegaskan kedudukan Madinah sebagai kota suci yang diberkahi.
Keutamaan Madinah sebagai kota suci tidak hanya terletak pada aspek keagamaan, tetapi juga pada sejarah dan perannya dalam perkembangan Islam. Masjid Nabawi, yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW, menjadi pusat ibadah, pembelajaran, dan pemerintahan Islam. Kota ini menjadi saksi bisu perjuangan Nabi Muhammad SAW dalam menyebarkan ajaran Islam dan membangun masyarakat yang adil dan beradab. Keberadaan Masjid Nabawi, sebagai pusat spiritual dan simbol persatuan umat Islam, menjadikan Madinah sebagai tempat yang sangat dihormati dan dikunjungi oleh umat Islam dari seluruh dunia.
Kesimpulannya, Madinah pra-Islam, atau Yatsrib, merupakan kota yang kompleks dan dinamis. Keberagaman agama, budaya, dan suku yang hidup berdampingan menciptakan perpaduan yang unik, tetapi juga potensi konflik yang tinggi. Kedatangan Islam dan kepemimpinan Nabi Muhammad SAW mengubah wajah Yatsrib secara dramatis, menyatukan berbagai kelompok yang bertikai dan membangun masyarakat yang lebih adil dan damai. Status Madinah sebagai kota suci kedua dalam Islam ditegaskan oleh hadits-hadits Nabi Muhammad SAW, menunjukkan pentingnya kota ini dalam sejarah dan perkembangan Islam. Madinah, dengan sejarahnya yang kaya dan kompleks, terus menjadi pusat spiritual dan simbol persatuan bagi umat Islam di seluruh dunia. Pemahaman tentang sejarah Madinah pra-Islam sangat penting untuk memahami perkembangan Islam dan perannya dalam membentuk peradaban manusia. Studi lebih lanjut tentang kehidupan sosial, ekonomi, dan politik masyarakat Yatsrib sebelum Islam akan memberikan wawasan yang lebih mendalam tentang kompleksitas sejarah dan peradaban di Semenanjung Arab.