Pernikahan merupakan ikatan suci yang dilandasi oleh kesepakatan dan keridaan kedua belah pihak. Dalam Islam, mahar atau maskawin menjadi elemen penting yang memiliki kedudukan hukum dan sekaligus simbol penghargaan bagi mempelai wanita. Kewajiban memberikan mahar tercantum jelas dalam Al-Quran Surat An-Nisa ayat 4: “(Berikanlah) mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (mahar) itu dengan senang hati, terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.” Ayat ini menekankan aspek kerelaan dan penghargaan dalam pemberian mahar, bukan semata-mata transaksi jual beli. Namun, penting bagi calon pengantin untuk memahami batasan-batasan syariat agar pemberian mahar tidak menjadi sumber permasalahan di kemudian hari. Artikel ini akan mengulas lima jenis mahar yang dilarang dalam syariat Islam, sekaligus memberikan pemahaman yang komprehensif tentang hukum dan etika pemberian mahar dalam pernikahan.
1. Mahar yang Haram: Zat dan Cara Perolehannya
Syarat utama mahar adalah kesucian dan kemanfaatannya. Mahar yang haram, baik dari segi zat maupun cara perolehannya, merupakan kategori yang dilarang tegas dalam Islam. Zat mahar yang haram merujuk pada barang-barang yang dilarang dalam syariat, seperti minuman keras (khamar), daging babi, narkoba, dan segala sesuatu yang diharamkan oleh Allah SWT. Sementara itu, mahar yang haram dari segi cara perolehannya mencakup barang-barang yang diperoleh melalui jalan yang tidak halal, seperti hasil pencurian, perampokan, penipuan, riba, dan judi. Penggunaan mahar jenis ini tidak hanya membatalkan kesucian pernikahan, tetapi juga berpotensi menimbulkan dosa bagi kedua belah pihak.
Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm menjelaskan konsekuensi pemberian mahar haram. Jika pengantin pria hendak memberikan mahar haram, namun mempelai wanita belum menerimanya, maka ia tetap berhak mendapatkan mahar yang wajar dan sesuai dengan kaidah syariat. Hal ini menegaskan bahwa perlindungan hukum bagi mempelai wanita tetap terjaga, meskipun terjadi pelanggaran dalam hal mahar. Oleh karena itu, penting bagi calon pengantin untuk memastikan kehalalan baik zat maupun asal-usul mahar yang akan diberikan. Transparansi dan kejujuran dalam hal ini sangatlah penting untuk menjaga kesucian dan keberkahan pernikahan.
2. Mahar yang Berlebihan: Mengurangi Keberkahan Pernikahan
Syariat Islam tidak menetapkan batas minimal maupun maksimal jumlah mahar. Hal ini mempertimbangkan perbedaan kondisi ekonomi dan sosial setiap individu. Jumlah mahar yang diberikan hendaknya sesuai dengan kemampuan dan kesepakatan kedua belah pihak. Namun, syariat menganjurkan agar menghindari mahar yang berlebihan. Ibnu Qayyim dalam kitab Fikih Sunnah Wanita karya Abu Malik Kamal ibn Sayyid Salim menjelaskan bahwa menentukan mahar yang berlebihan termasuk makruh (dibenci). Mahar yang berlebihan dapat mengurangi keberkahan pernikahan dan bahkan menimbulkan kesulitan ekonomi bagi pengantin pria.
Menentukan mahar yang jauh melebihi kemampuan finansial dapat mendorong pengantin pria untuk melakukan tindakan yang tidak terpuji, seperti berutang secara berlebihan, melakukan tindakan korupsi, atau bahkan melakukan tindakan kriminal untuk memenuhi tuntutan mahar. Hal ini tentu bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang menjunjung tinggi kejujuran, keadilan, dan kemudahan. Oleh karena itu, penting bagi kedua calon pengantin untuk berdiskusi dan menyepakati jumlah mahar yang realistis dan tidak memberatkan salah satu pihak. Prioritas utama adalah membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, bukan semata-mata terpaku pada nilai materi.
3. Mahar yang Tak Bernilai: Menghilangkan Makna Simbolik Mahar
Mahar haruslah sesuatu yang memiliki nilai atau manfaat, meskipun tidak ada ketentuan khusus mengenai jenisnya. Hal ini sesuai dengan prinsip syariat yang menekankan pada kemanfaatan dan kesucian. Meskipun demikian, tidak berarti mahar harus berupa barang-barang mewah atau bernilai tinggi secara materi. Sebuah cincin besi sederhana atau sekeranjang kurma, misalnya, dapat menjadi mahar yang sah selama kedua belah pihak merestui dan menerimanya.
Hadits dari Amir bin Rabiah RA yang menceritakan pernikahan seorang perempuan dari Bani Fazarah dengan mahar sepasang sandal, dan disetujui oleh Rasulullah SAW, menjadi bukti nyata akan hal ini. Begitu pula dengan kisah Ummu Sulaim RA yang menerima mahar berupa keislaman Abu Thalhah RA. Kedua kisah ini menunjukkan bahwa mahar tidak selalu berupa materi, tetapi dapat berupa sesuatu yang bernilai secara spiritual dan moral. Penting untuk dipahami bahwa mahar bukan sekadar transaksi jual beli, tetapi juga simbol penghargaan dan pengakuan atas kedudukan wanita dalam pernikahan. Oleh karena itu, nilai simbolik mahar tetap harus dijaga, meskipun nilainya secara materi mungkin tergolong sederhana.
4. Mahar yang Membebani: Bertentangan dengan Prinsip Kemudahan
Meskipun tidak ada batasan jumlah mahar, meminta mahar yang memberatkan pengantin pria adalah tindakan yang tercela. Syariat Islam menganjurkan kemudahan dan keringanan dalam segala hal, termasuk dalam pernikahan. Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya pernikahan yang paling besar berkahnya adalah pernikahan yang paling ringan maharnya.” (HR Ahmad dan Baihaqi). Hadits ini menegaskan bahwa kemudahan dalam mahar akan membawa keberkahan dalam pernikahan.
Mahar yang memberatkan dapat menimbulkan tekanan dan stres bagi pengantin pria, dan berpotensi menimbulkan konflik di awal rumah tangga. Hal ini dapat menghambat terwujudnya keluarga yang harmonis dan bahagia. Oleh karena itu, penting bagi calon pengantin wanita untuk mempertimbangkan kemampuan finansial calon suami dan menghindari tuntutan mahar yang berlebihan. Kebahagiaan dan keberkahan pernikahan jauh lebih berharga daripada nilai materi mahar yang tinggi. Prinsip kemudahan dan kesederhanaan dalam mahar akan menciptakan ikatan pernikahan yang lebih kokoh dan berkelanjutan.
5. Mahar yang Cacat: Pertimbangan Hukum dan Keadilan
Mahar yang cacat, misalnya barang yang rusak, tidak utuh, atau memiliki kekurangan, menurut jumhur ulama (mayoritas ulama) tidak membatalkan sahnya pernikahan. Namun, pendapat ulama berbeda mengenai hak istri terkait mahar yang cacat tersebut. Sebagian ulama berpendapat bahwa istri berhak meminta ganti rugi berupa harga mahar yang sesuai dengan kondisi barang tersebut, sedangkan sebagian lain berpendapat bahwa istri berhak meminta mahar mitsil (mahar yang setara dengan mahar yang diberikan kepada perempuan sebayanya).
Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid menjelaskan perbedaan pendapat ini. Imam Syafi’i, misalnya, terkadang berpendapat bahwa istri berhak meminta kembali harga mahar, dan terkadang berpendapat bahwa istri berhak atas mahar mitsil. Perbedaan pendapat ini menunjukkan kompleksitas hukum terkait mahar yang cacat. Oleh karena itu, penting bagi calon pengantin untuk berkonsultasi dengan ulama atau ahli fiqih untuk mendapatkan penjelasan yang lebih rinci dan sesuai dengan konteks masing-masing kasus. Prinsip keadilan dan keseimbangan harus tetap dijaga dalam setiap aspek pernikahan, termasuk dalam hal pemberian dan penerimaan mahar.
Kesimpulannya, pemberian mahar dalam pernikahan merupakan kewajiban yang memiliki nilai hukum dan sekaligus simbol penghargaan bagi mempelai wanita. Namun, penting untuk memahami batasan-batasan syariat agar pemberian mahar tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan tidak menimbulkan permasalahan di kemudian hari. Lima jenis mahar yang dilarang dalam syariat Islam, yaitu mahar yang haram, berlebihan, tak bernilai, memberatkan, dan cacat, harus dipahami dan dihindari oleh calon pengantin agar pernikahan dapat berjalan dengan lancar, berkah, dan penuh keberuntungan. Komunikasi yang terbuka dan jujur antara kedua calon pengantin, serta konsultasi dengan ulama atau ahli fiqih, sangat penting untuk memastikan kesesuaian mahar dengan syariat Islam dan menciptakan ikatan pernikahan yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.