Pernikahan, sebagai ibadah dan sunnah yang dianjurkan Rasulullah SAW, memiliki aturan dan batasan yang tegas dalam Islam. Salah satu landasan hukum yang mengatur hal ini adalah Surat An-Nisa ayat 23, yang secara eksplisit melarang pernikahan dengan beberapa golongan wanita berdasarkan hubungan nasab (keturunan) dan susuan. Ayat ini menjadi pilar penting dalam memahami hukum perkawinan dalam ajaran Islam dan mencegah terjadinya percampuran hubungan yang dilarang. Rasulullah SAW sendiri menekankan pentingnya pernikahan sebagai jalan untuk menjaga pandangan dan kemaluan, sebagaimana sabdanya yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, dan Tirmidzi: "Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kalian telah mampu serta berkeinginan untuk menikah, maka hendaklah ia menikah. Karena sesungguhnya pernikahan itu dapat menundukkan pandangan mata dan memelihara kemaluan. Dan barangsiapa di antara kalian yang belum mampu maka hendaknya berpuasa. Karena puasa itu dapat menjadi penghalang untuk melawan gejolak nafsu."
Namun, anjuran menikah ini tidaklah tanpa syarat dan batasan. Surat An-Nisa ayat 23 dengan tegas menjabarkan golongan wanita yang diharamkan untuk dinikahi, menegaskan pentingnya pemahaman mendalam akan hukum-hukum ini untuk menjaga kesucian dan keharmonisan keluarga. Pemahaman yang keliru dapat berujung pada pelanggaran hukum agama dan menimbulkan berbagai permasalahan sosial.
Ayat 23 Surat An-Nisa, jika dikaji secara rinci, mengungkap larangan menikah dengan beberapa kategori wanita, yang dapat dikelompokkan berdasarkan hubungan darah dan hubungan susuan. Berikut uraian detailnya:
Hubungan Darah (Nasab):
Ayat ini secara eksplisit melarang pernikahan dengan:
-
Ibu: Larangan ini merupakan hal yang fundamental dan universal dalam semua agama dan budaya. Hubungan ibu dan anak merupakan ikatan paling suci dan sakral, sehingga pernikahan di antara keduanya merupakan hal yang tabu dan terlarang.
-
Anak perempuan: Sama halnya dengan larangan menikah dengan ibu, pernikahan dengan anak perempuan juga merupakan pelanggaran yang sangat serius. Hubungan ayah dan anak perempuan juga merupakan ikatan yang sangat kuat dan dilindungi oleh agama.
-
Saudara perempuan: Larangan ini bertujuan untuk menjaga keharmonisan dan menghindari konflik di dalam keluarga. Pernikahan sedarah antara saudara kandung dilarang karena dapat menyebabkan masalah genetik dan disfungsi sosial.
-
Saudara perempuan bapak: Larangan ini memperluas cakupan larangan pernikahan dengan wanita yang memiliki hubungan darah dekat dari pihak ayah. Mereka dianggap sebagai keluarga dekat yang memiliki hubungan darah yang sama dengan diri sendiri.
-
Saudara perempuan ibu: Mirip dengan poin sebelumnya, larangan ini mencakup saudara perempuan ibu, yang juga memiliki hubungan darah dekat dan dianggap sebagai keluarga inti.
-
Anak perempuan saudara laki-laki: Larangan ini memperluas cakupan larangan kepada generasi berikutnya. Anak perempuan dari saudara laki-laki dianggap sebagai keluarga dekat yang memiliki hubungan darah dengan diri sendiri.
-
Anak perempuan saudara perempuan: Sama halnya dengan poin sebelumnya, larangan ini mencakup anak perempuan dari saudara perempuan, yang juga memiliki hubungan darah dekat.
-
Istri ayah (ibu tiri): Ayat ini juga melarang pernikahan dengan istri ayah, yang meskipun bukan hubungan darah, namun memiliki ikatan keluarga yang erat dan dapat menimbulkan konflik emosional dan sosial. Larangan ini juga mencakup istri kakek dan seterusnya ke atas dalam garis keturunan ayah. Hal ini diperkuat oleh Surat An-Nisa ayat 22 yang berbunyi: "Dan janganlah kalian menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayah kalian."
-
Istri anak (menantu): Larangan ini bertujuan untuk menjaga kesucian dan kehormatan keluarga, serta menghindari konflik kepentingan dan potensi perselisihan di antara anggota keluarga.
-
Dua perempuan yang bersaudara: Ayat ini secara tegas melarang poligami dengan dua perempuan yang bersaudara, kecuali jika hal tersebut telah terjadi di masa lalu. Larangan ini bertujuan untuk menghindari konflik dan persaingan di antara istri-istri.
Hubungan Susuan (Radha’ah):
Ayat 23 Surat An-Nisa juga menjabarkan larangan pernikahan berdasarkan hubungan susuan, yang dalam Islam memiliki konsekuensi hukum yang sama dengan hubungan darah. Hubungan susuan dianggap menciptakan ikatan keluarga yang kuat dan sakral, sehingga pernikahan di antara mereka dilarang. Beberapa kategori wanita yang dilarang dinikahi karena hubungan susuan antara lain:
-
Ibu yang menyusui: Wanita yang menyusui seseorang dianggap sebagai ibu bagi anak yang disusuinya. Oleh karena itu, pernikahan dengan ibu susuan dilarang.
-
Ibu dari ibu yang menyusui (nenek susuan): Hubungan ini memperluas cakupan larangan kepada generasi sebelumnya. Nenek susuan juga dianggap sebagai keluarga dekat yang memiliki ikatan yang kuat.
-
Ibu dari suami wanita yang menyusui: Larangan ini memperluas cakupan larangan kepada keluarga dari pihak suami wanita yang menyusui.
-
Saudara perempuan ibu yang menyusui: Saudara perempuan dari ibu susuan juga dianggap sebagai keluarga dekat dan pernikahan dengan mereka dilarang.
-
Saudara perempuan dari suami yang menyusui: Larangan ini mencakup saudara perempuan dari suami wanita yang menyusui.
-
Cucu perempuan dari ibu yang menyusui: Larangan ini mencakup generasi berikutnya dari ibu susuan.
-
Saudara perempuan dari bapak dan ibu yang menyusui: Larangan ini mencakup saudara perempuan dari pihak ayah dan ibu dari wanita yang menyusui.
Penjelasan Lebih Lanjut Berdasarkan Referensi Kitab Fiqih:
Berbagai kitab fiqih memberikan penjelasan lebih rinci mengenai larangan-larangan tersebut. Mengutip buku "Fiqih Wanita: Edisi Lengkap" karya Syaikh Kamil Muhammad, Imam Ali menjelaskan bahwa larangan menikah dengan nenek mencakup berbagai jenis nenek, baik dari pihak ayah maupun ibu. Semua ibu yang dimaksud dalam konteks ini merujuk pada hubungan yang menciptakan ikatan keluarga yang kuat dan sakral, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS Al-A’raf:27: "Sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapak kalian dari surga."
Buku "Pintar Fiqih Wanita: Mengupas Tuntas Berbagai Permasalahan Seputar Hukum Fiqih Setiap Muslimah Dalam Kehidupan Sehari-Hari" karya Muhammad Fadlun memberikan penjelasan lebih detail mengenai hubungan susuan. Buku ini mengklasifikasikan wanita yang dilarang dinikahi karena faktor susuan, menjelaskan alasan di balik setiap larangan, dan menekankan pentingnya memahami hukum ini untuk menghindari pelanggaran.
Kesimpulannya, Surat An-Nisa ayat 23 merupakan landasan hukum yang sangat penting dalam memahami larangan pernikahan dalam Islam. Ayat ini mengatur larangan pernikahan berdasarkan hubungan darah (nasab) dan hubungan susuan (radha’ah), dengan tujuan untuk menjaga kesucian keluarga, menghindari konflik, dan memelihara keharmonisan sosial. Pemahaman yang komprehensif dan mendalam terhadap ayat ini, dibarengi dengan rujukan pada kitab-kitab fiqih yang terpercaya, sangat penting bagi setiap muslim untuk menjalankan kehidupan berkeluarga sesuai dengan ajaran Islam. Ketegasan larangan ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga kesucian dan moralitas dalam kehidupan berumah tangga dalam perspektif Islam. Pemahaman yang benar akan ayat ini akan membantu umat Islam dalam membangun keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah.