Jumlah pesantren di Indonesia yang mencapai angka fantastis, sekitar 42.000 lembaga menurut data Kementerian Agama, menjadi bukti nyata geliat pendidikan berbasis pesantren pasca-berlakunya Undang-Undang Pesantren tahun 2019. Lonjakan signifikan dari angka 30.000 menjadi lebih dari 42.000 dalam kurun waktu lima tahun ini, sayangnya, tidak diiringi oleh perkembangan sistem pengelolaan yang memadai. Realitas di lapangan menunjukkan mayoritas pesantren masih beroperasi secara mandiri, tanpa standar operasional baku, regulasi yang jelas, dan sistem pengelolaan terpusat. Ketiadaan governing system yang terstruktur menjadi akar permasalahan yang menghambat transformasi pesantren menuju era modern. Undang-Undang Pesantren, yang seharusnya menjadi katalis perubahan, justru lebih sering dimanfaatkan untuk pembagian anggaran ketimbang sebagai landasan pembangunan sistem pengelolaan yang terintegrasi dan efektif.
Ketiadaan Standar: Ancaman Kualitas Pendidikan Pesantren
Keberadaan governing system yang komprehensif menjadi krusial bagi pesantren. Sistem ini membutuhkan standar-standar yang jelas dan terukur dalam berbagai aspek operasional, mencakup infrastruktur, kurikulum, sumber daya manusia (SDM), dan tata kelola. Tanpa standar yang baku, kualitas pendidikan dan kehidupan di lingkungan pesantren menjadi sulit diukur dan dipertanggungjawabkan.
1. Standar Infrastruktur yang Minim: Kondisi infrastruktur pesantren yang beragam, bahkan memprihatinkan di beberapa lembaga, menjadi masalah serius. Ketiadaan regulasi yang mengatur kapasitas ideal fasilitas, seperti ukuran kamar santri dan jumlah penghuni per kamar, berdampak langsung pada kualitas hidup santri. Banyak pesantren, terutama yang berkapasitas terbatas, mengalami overcrowding yang berpotensi menimbulkan berbagai masalah kesehatan dan sosial.
2. Kurikulum: Antara Tradisi dan Modernitas: Tantangan berikutnya terletak pada kurikulum pesantren yang perlu menyeimbangkan antara tradisi keilmuan pesantren, yang kaya dengan khazanah keislaman, dengan tuntutan era modern. Lulusan pesantren dituntut tidak hanya menguasai ilmu agama, tetapi juga memiliki kompetensi yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja global yang kompetitif. Integrasi kurikulum pesantren dengan kurikulum nasional menjadi kunci keberhasilan dalam hal ini.
3. SDM Berkualitas: Investasi Jangka Panjang: Kualitas tenaga pendidik dan pengelola pesantren merupakan pilar utama keberhasilan transformasi. Standar kompetensi yang jelas, baik dalam ilmu agama maupun metode pengajaran modern, perlu diterapkan. Sertifikasi guru dan pelatihan berkelanjutan menjadi investasi jangka panjang yang krusial untuk meningkatkan kualitas SDM di lingkungan pesantren.
4. Tata Kelola Transparan dan Akuntabel: Aspek tata kelola yang transparan dan akuntabel juga menjadi hal yang tak kalah penting. Regulasi yang mengatur transparansi keuangan, administrasi yang tertib, dan mekanisme pengambilan keputusan yang demokratis sangat dibutuhkan untuk mencegah potensi penyimpangan dan memastikan pengelolaan pesantren yang efektif dan efisien.
Transformasi Pesantren: Negosiasi antara Tradisi dan Modernitas
Transformasi pesantren merupakan proses yang kompleks, memerlukan keseimbangan antara pelestarian nilai-nilai tradisional yang menjadi identitas pesantren dengan adopsi elemen modern untuk integrasi ke dalam sistem pendidikan nasional. Pola pengajaran kitab kuning, hubungan personal antara kiai dan santri, serta pendekatan pendidikan berbasis spiritualitas merupakan kekayaan yang harus tetap dijaga. Namun, elemen-elemen ini perlu dipadukan dengan akses teknologi, kurikulum yang relevan, dan sertifikasi pendidikan untuk meningkatkan daya saing lulusan pesantren.
Proses transformasi ini tidak dapat dilakukan secara individual oleh setiap pesantren. Pemerintah, melalui Undang-Undang Pesantren, memiliki tanggung jawab besar untuk menyediakan governing system yang memadai. Undang-Undang tersebut tidak boleh hanya menjadi simbol politik, tetapi harus diimplementasikan secara efektif untuk membangun sistem pengelolaan yang modern dan terintegrasi. Kegagalan dalam hal ini akan menjadikan Undang-Undang Pesantren sebagai sekadar gimmick politik tanpa dampak nyata bagi kemajuan pesantren.
Kelemahan Implementasi Kebijakan: Kasus Majelis Masyayikh
Pembentukan Majelis Masyayikh sebagai upaya untuk mengatur kualitas keilmuan di pesantren, misalnya, menunjukkan adanya niat baik pemerintah. Namun, ketiadaan standar yang jelas tentang kriteria anggota dan indikator keberhasilannya menunjukkan kelemahan perencanaan dan implementasi kebijakan terkait pesantren. Hal ini menggarisbawahi pentingnya perencanaan yang matang dan partisipasi berbagai pemangku kepentingan dalam proses pembangunan governing system pesantren.
Peran NU dan Organisasi Keagamaan Lainnya: Dukungan, Bukan Pengganti Pemerintah
Organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU), yang memiliki peran besar dalam pengembangan pesantren, dapat berperan sebagai pendukung dan fasilitator dalam proses transformasi. Namun, tanggung jawab utama untuk membangun governing system tetap berada di tangan pemerintah. Kerjasama yang erat antara pemerintah, parlemen, dan berbagai lembaga terkait sangat diperlukan untuk merancang dan menerapkan sistem yang terintegrasi dan efektif.
Infrastruktur yang Tidak Memadai dan Dampak Psikologis:
Masalah infrastruktur yang buruk di banyak pesantren merupakan faktor yang memperparah kondisi. Kamar tidur yang sempit dan overcrowded, dengan satu kamar dihuni puluhan santri, menciptakan lingkungan yang tidak kondusif, baik dari segi kesehatan fisik maupun mental. Kondisi ini berpotensi menimbulkan berbagai masalah, termasuk perundungan (bullying), baik fisik maupun seksual. Peningkatan laporan kasus perundungan akhir-akhir ini bukan berarti masalah baru muncul, tetapi menunjukkan semakin banyak korban yang berani bersuara. Permasalahan ini sebenarnya telah berlangsung lama, dan akar masalahnya terletak pada lemahnya governing system yang tidak mampu mencegah dan menindaklanjuti kasus-kasus tersebut.
Kondisi hidup santri yang jauh dari layak, dengan tidur di masjid atau tempat-tempat lain yang tidak memadai, berdampak serius pada psikologis mereka. Bayangkan dampak jangka panjang dari pola hidup yang tidak sehat dan penuh tekanan tersebut bagi perkembangan anak-anak remaja. Ini adalah masalah serius yang memerlukan perhatian dan solusi yang komprehensif.
Kesimpulan: Perlunya Pendekatan Sistemik dan Holistik
Tanpa governing system yang terstruktur, pesantren akan terus berjalan tanpa arah yang jelas. Standar dan regulasi yang komprehensif menjadi kunci untuk menjamin kualitas dan keberlanjutan pesantren di era modern. Pemerintah harus mengambil peran utama, bukan hanya dengan membuat undang-undang, tetapi juga memastikan implementasi yang efektif dan berkelanjutan. Pendekatan yang holistik, yang mencakup aspek akademis, infrastruktur, SDM, dan tata kelola, sangat diperlukan untuk menciptakan lingkungan pesantren yang aman, sehat, dan kondusif bagi perkembangan santri. Hanya dengan demikian, pesantren dapat terus berkontribusi pada pembangunan bangsa dan mampu menghadapi tantangan global. Permasalahan ini bukan hanya tentang pesantren sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga sebagai tempat tinggal dan pembentukan karakter generasi muda. Oleh karena itu, pembangunan governing system yang efektif dan berkelanjutan menjadi sebuah keharusan.