Indonesia, negara yang mengklaim kedaulatan berada di tangan rakyat, tengah menghadapi paradoks yang mengkhawatirkan. Konsep kedaulatan, yang berakar pada kata Arab "daulah" – kekuasaan tertinggi untuk membuat dan melaksanakan undang-undang – terancam erosi oleh praktik politik uang yang merajalela dan melemahnya semangat musyawarah dalam pengambilan keputusan kenegaraan. Permasalahan ini bukan sekadar isu politik sesaat, melainkan ancaman fundamental terhadap sendi-sendi demokrasi dan cita-cita negara yang adil dan makmur.
Amandemen UUD 1945 yang mengatur pemilihan langsung Presiden dan Wakil Rakyat, semestinya memperkuat kedaulatan rakyat. Namun, realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya. Data LIPI pada Pemilu 2019, yang menunjukkan 47,4% responden mengakui adanya politik uang dan 46,7% menganggapnya wajar, menjadi bukti nyata betapa lemahnya mekanisme demokrasi dalam melindungi kedaulatan rakyat. Data KPK yang lebih mengkhawatirkan, bahkan menyebutkan 72% responden menerima suap politik, dengan angka yang lebih tinggi (82%) di kalangan perempuan berusia di atas 35 tahun, mengungkapkan betapa sistematis dan meluasnya praktik ini. Pemilu legislatif dan presiden, yang kerap digambarkan sebagai kontestasi paling brutal, semakin memperkuat dugaan bahwa politik uang menjadi unsur dominan yang menentukan hasil pemilu. Di manakah letak kedaulatan rakyat dalam konteks ini?
Praktik politik uang telah melahirkan fenomena "bandar", aktor-aktor yang menyediakan dana besar untuk memenangkan calon legislatif dan kepala daerah. Sistem ini secara sistematis menggeser kedaulatan dari tangan rakyat ke tangan pemilik modal, mendistorsi proses demokrasi dan menciptakan ketidakadilan yang sistemik. Kedaulatan rakyat, yang seharusnya diwujudkan melalui partisipasi aktif dan suara yang setara, terdegradasi menjadi komoditas yang dapat diperjualbelikan.
Ironisnya, nilai-nilai luhur yang seharusnya menjadi landasan negara, seperti musyawarah, semakin terpinggirkan. Al-Quran, dalam surah asy-Syura ayat 38, menempatkan musyawarah sejajar dengan shalat dan infak sebagai indikator keimanan yang kuat dalam masyarakat. Ayat tersebut menekankan pentingnya musyawarah dalam pengambilan keputusan, menunjukkan jalan menuju kehidupan yang lebih baik dan kekal. Musyawarah bukan hanya sekadar proses pengambilan keputusan, tetapi juga sarana untuk melipatgandakan potensi dan kemampuan suatu negara, komunitas, maupun organisasi. Hasil musyawarah, yang melibatkan berbagai perspektif dan pemikiran, jauh lebih baik daripada keputusan yang diambil secara sepihak.
Namun, realitas di Indonesia menunjukkan bahwa musyawarah seringkali terabaikan. Banyak pemimpin yang merasa pemikirannya paling benar, sehingga proses musyawarah menjadi jalan buntu. Keengganan untuk mendengar pendapat lain, kekurangan transparansi, dan dominasi kepentingan pribadi, mengakibatkan musyawarah menjadi sekadar formalitas, bukan substansi. Sikap saling tolong menolong, yang seharusnya menjadi ciri khas masyarakat Indonesia, tergantikan oleh budaya menang-menangan yang semakin menguat.
Pertanyaan mendasar pun muncul: apakah sistem demokrasi saat ini masih sesuai dengan sila keempat Pancasila, yaitu "Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan"? Jawabannya, mengingat realitas politik uang dan lemahnya musyawarah, tampaknya semakin mengarah pada penolakan. Demokrasi yang seharusnya menjadi wadah kedaulatan rakyat, justru telah menjadi alat bagi pemilik modal untuk mengendalikan kekuasaan.
Lembaga-lembaga permusyawaratan yang telah dibentuk, seharusnya memiliki kewenangan dan keberanian untuk menyelesaikan masalah kenegaraan melalui musyawarah yang substansial. Mereka tidak boleh berhenti bermusyawarah hingga menemukan solusi yang tepat. Meskipun konsensus tidak selalu tercapai, prinsip mayoritas yang didasarkan pada pertimbangan matang dan argumentasi yang kuat, sebagaimana diajarkan oleh Rasulullah SAW, harus diutamakan. Sistem voting semata, tanpa dibarengi musyawarah yang mendalam, hanya akan memperkuat dominasi kekuatan ekonomi dan politik tertentu.
Oleh karena itu, perlu adanya refleksi mendalam terhadap sistem demokrasi yang sedang berjalan. Kembalilah kepada nilai-nilai konstitusi yang dapat menjadikan Indonesia negara yang benar-benar berdaulat, bukan negara yang "dijajah" oleh sekelompok pemodal. Wujudkan sila kelima Pancasila, yaitu "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia", dengan memastikan pengelolaan kekayaan negara yang adil dan transparan. Keadilan sejati hanya dapat terwujud jika diiringi dengan ketaqwaan dan keimanan, karena tanpa itu, sulit untuk bersikap adil dan melayani rakyat.
Perlu adanya komitmen bersama dari seluruh elemen bangsa untuk membenahi sistem demokrasi yang telah ternodai oleh praktik politik uang dan melemahnya musyawarah. Reformasi sistem politik, penegakan hukum yang tegas terhadap korupsi dan praktik politik uang, serta penguatan pendidikan karakter dan nilai-nilai kebangsaan, merupakan langkah-langkah krusial yang harus segera dilakukan. Hanya dengan demikian, kedaulatan rakyat dapat benar-benar terwujud dan Indonesia dapat menjadi negara yang adil, makmur, dan berdaulat sesuai cita-cita para pendiri bangsa. Doa dan harapan agar para pemimpin selalu mengingat Tuhan, bersikap adil, dan melayani rakyat dengan tulus, menjadi penutup yang penuh harap di tengah krisis kedaulatan ini.