Jakarta, 10 Juni 2025 – Kehebohan melanda jagat maya menyusul beredarnya video berbasis kecerdasan buatan (AI) yang bertemakan "Hari Pertama di Neraka" dan "Hari Kedua di Neraka" di platform YouTube. Konten yang menampilkan visualisasi neraka secara tidak senonoh dan cenderung mempermainkan konsep keagamaan ini menuai kecaman keras dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Kedua ormas Islam terbesar di Indonesia ini sepakat menyatakan video tersebut sebagai bentuk penodaan agama yang menyesatkan dan berpotensi merusak akidah umat, khususnya generasi muda.
Video berdurasi pendek, masing-masing 9 detik dan 41 detik, menampilkan visualisasi neraka yang jauh dari gambaran teologis yang selama ini dipahami dalam ajaran Islam. Adegan-adegan yang disajikan, seperti seseorang yang "berenang" di lautan lava sambil bercanda dengan kalimat, "Liburan dulu, guys. Nyobain mandi lava, ternyata seru juga, panasnya mantul," menimbulkan reaksi negatif dan meluas di kalangan warganet. Penggunaan teknologi AI dalam menciptakan visualisasi neraka justru semakin memperkuat kritik, karena teknologi canggih tersebut disalahgunakan untuk memproduksi konten yang dinilai tidak hanya tidak sensitif, tetapi juga menghina keyakinan keagamaan.
Reaksi keras pun datang dari MUI. Dr. Utang Ranuwijaya, Ketua MUI Bidang Pengkajian, Penelitian, dan Pengembangan, dengan tegas menyatakan bahwa konten tersebut merupakan penodaan agama dan penyimpangan akidah yang serius. "Cerita dalam video itu menyederhanakan gambaran api neraka, bahkan menjadikannya sebagai bahan candaan. Ini merupakan bentuk pendangkalan akidah dan bisa menyesatkan umat, terutama generasi muda," tegas Utang dalam pernyataan resminya kepada media.
Utang lebih lanjut menjelaskan bahwa neraka, sebagai bagian dari alam gaib, tidak dapat digambarkan secara literal dan duniawi. Visualisasi dalam video tersebut, yang menampilkan aktivitas rekreatif di lingkungan yang seharusnya menggambarkan siksa api neraka, merupakan distorsi yang sangat jauh dari pemahaman teologis yang benar. Ia merujuk pada hadis Qudsi yang menyatakan, "maa laa ‘ainun ra’at wa laa udzunun sami’at wa laa khathara ‘ala qalbi basyar" – yang artinya tidak pernah dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas di hati manusia. Hal ini menunjukkan betapa sulitnya bagi manusia untuk membayangkan realitas akhirat, termasuk neraka, dan betapa tidak pantasnya konten tersebut mencoba menggambarkannya secara remeh.
Utang juga menekankan perbedaan mendasar antara api neraka dalam ajaran Islam dengan api duniawi. Api neraka, menurutnya, memiliki panas yang 70 kali lipat lebih dahsyat daripada api dunia, dan terdapat tingkatan-tingkatan neraka yang berbeda sesuai dengan kadar dosa seseorang, mulai dari neraka Jahannam hingga neraka dengan siksa yang lebih ringan. Oleh karena itu, menurutnya, konten yang beredar tersebut tidak hanya menyesatkan, tetapi juga berpotensi merusak pemahaman umat tentang kehidupan akhirat dan mengikis keimanan kepada hal-hal gaib.

MUI mendesak agar video tersebut segera ditarik dari peredaran dan meminta aparat penegak hukum untuk memproses hukum para pembuatnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. UU ITE, UU PNPS No. 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Pengerusakan Fasilitas Infrastruktur Kritis, dan KUHP Pasal 156a tentang penodaan agama menjadi landasan hukum yang relevan untuk menindak tegas para pelaku.
Senada dengan MUI, PBNU juga mengecam keras konten tersebut. KH Ahmad Fahrur Rozi (Gus Fahrur), Ketua PBNU, menyatakan bahwa surga dan neraka merupakan bagian fundamental dari keyakinan umat beragama yang tidak boleh dijadikan bahan lelucon atau penghinaan. "Tidak boleh membuat konten yang melecehkan atau menertawakan keberadaan surga dan neraka. Jika sampai menunjukkan ketidakpercayaan atau penghinaan terhadap keberadaan neraka, itu bisa jatuh pada perbuatan murtad dan termasuk dosa besar," tegas Gus Fahrur.
Gus Fahrur menekankan bahwa kepercayaan terhadap surga dan neraka merupakan bagian integral dari rukun iman dalam Islam, dan juga diyakini dalam berbagai agama lain. Surga dan neraka, menurutnya, bukanlah sekadar simbol, melainkan realitas yang menjadi bagian esensial dari ajaran keimanan. Membuat konten yang menggambarkannya sebagai tempat rekreasi atau hiburan merupakan tindakan yang sangat menyesatkan dan tidak beretika.
Baik MUI maupun PBNU menyerukan kepada para pembuat konten agar lebih bijak dan bertanggung jawab dalam berkarya. Mereka meminta agar video tersebut segera dihapus dari platform YouTube dan media sosial lainnya. Selain itu, kedua ormas tersebut juga mendesak aparat penegak hukum untuk segera bertindak tegas dan menindak para pelaku. Seruan ini juga ditujukan kepada umat Islam agar tidak menonton atau menyebarluaskan video tersebut, dan untuk lebih selektif dalam mengonsumsi informasi digital, terutama konten yang berkaitan dengan nilai-nilai keagamaan.
Kejadian ini menjadi pengingat penting tentang tanggung jawab moral dan hukum dalam menciptakan dan menyebarkan konten digital. Penggunaan teknologi AI, yang semakin canggih dan mudah diakses, menuntut kewaspadaan dan etika yang tinggi agar tidak disalahgunakan untuk tujuan yang merusak nilai-nilai agama dan sosial. Peristiwa ini juga menyoroti perlunya literasi digital yang lebih baik di kalangan masyarakat agar mampu menyaring dan mengkritisi informasi yang beredar di dunia maya, khususnya konten yang berpotensi menyesatkan dan memecah belah. Tindakan tegas dan cepat dari pihak berwenang sangat diharapkan untuk mencegah kejadian serupa dan memberikan efek jera bagi para pelaku. Lebih jauh lagi, peristiwa ini menjadi momentum untuk meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya menjaga kesucian keyakinan dan menghormati nilai-nilai keagamaan.




